Muammar Jafril, SH.,MH
(Koordinator Bidang Pidana pada IM Law Firm and Partners Legal Corporate and Consultant)

Hampir setiap saat jagat maya diwarnai pemberitaan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Umumnya para predator kekerasan seksual menggunakan beragam cara agar bisa memuluskan rencana bejatnya. Baik membujuk menggunakan sesuatu hal, menjanjikan fasilitas tertentu, memanfaatkan jabatan yang diemban bahkan tak jarang menggunakan cara-cara paksa berupa intimidasi atau menakut-nakuti.

Satu hal pasti anak korban kekerasan seksual akan mengalami trauma berkepanjangan bahkan tak jarang memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara keji; bunuh diri. Di belahan dunia manapun akan bersepakat menolak perbuatan serta akibat seperti ini.

Menjadi rumit membayangkan arah generasi dan cita-cita bangsa apabila, kejahatan seksual berupa pelecehan dilakukan oleh oknum kepala sekolah. Selain sebagai pimpinan para guru-guru di sekolah, kepala sekolah pada dasarnya merupakan tenaga pendidik yang memproduk, melahirkan, dan menumbuh-kembangkan generasi bangsa. Lebih jauh, menjalankan misi pembentukan karakter.

Pundak seorang kepala sekolah tergantung puluhan nasib siswa, di mata kepala seolah terlihat sejuta harapan siswa dan di tangan kepala sekolah tergenggam secercah harap meraih kesuksesan.

Sekali lagi, kepala sekolah (guru) merupakan pionir episentrum suatu peradaban. Jauh panggang dari api, sebagaimana diberitakan tandaseru.com tertanggal 31 Juli 2025 pukul 15:25 WIT, seorang kepala sekolah SMA berinisial AU (37) diduga melakukan pelecehan terhadap lima siswanya. Dugaan kasus ini sangat dikecam dan dikutuk keras.

Saat ini rezim hukum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak meletakkan ancaman sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang fantastis dan menyediakan saluran hukum penyelesaian perkara yang melibatkan anak dan anak korban. Artinya, negara mempersepsikan kedudukan anak secara tersendiri atau dengan perkataan lain, di mata negara justifikasi yuridis memperlakukan anak secara baik dan benar diakomodasi secara intensif.

Andaikata kita membaca bagian penjelasan UU 35/2014 akan dijumpai kalimat, “Setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial”. Apabila logika ini saya teruskan maka, kekerasan seksual berupa pencabulan secara tidak langsung meruntuhkan dan meluluh-lantahkan seluruh hak-hak yang wajib dinikmati setiap anak.

Sesungguhnya ini ironi, ini petaka, saya katakan guru (baca;kepsek) adalah roda penggerak generasi malah bertransformasi menjadi mesin perusak bangsa. Aparat penegak hukum usut tuntas peristiwa ini. Dugaan saya bukan hanya satu orang pelakunya. Lantaran lokus delicti peristiwa ini terjadi di ruang kelas dan di rumah dinas guru.

Di samping itu, tempus delicti dimulai pertama pada bulan April 2025, peristiwa kedua terjadi Juni 2025 dan peristiwa ketiga terjadi bulan Juli 2025. Karena lokus delicti-nya juga terjadi di rumah dinas maka, kemungkinan terdapat kontribusi pihak ketiga.

Wujud kontribusi atas terjadinya perbuatan tersebut entah sebagai orang yang menyuruh lakukan (Doen Pleger), orang yang turut serta (Medepleger) atau orang yang menganjurkan atau menggerakan (Uitlokker) ada atau tidak peran pihak lain seluruhnya bergantung pengembangan yang dilakukan penyelidik dan penyidik.

Saya bersama rekan IM Law Firm and Partners Legal Corporate and Consultant senantiasa menjadi mitra dalam mengawal tegaknya hukum perlindungan anak.

Di atas semua itu, saya pikir ini harus menjadi atensi bersama seluruh lapisan masyarakat terutama stakeholder Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai. Terlebih dugaan perbuatan pidana ini terjadi dalam domain Pemkab Pulau Morotai. Seharusnya, pemerintah kabupaten sedikit berpikir lebih keras mengambil langkah-langkah solutif.

Kendati kejahatan tidak bisa sepenuhnya dihilangkan akan tetapi upaya penanggulangan dan langkah meminimalisir angka kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan. Dengan demikian, besar harapan kami dengan adanya peristiwa ini menjadi alat pukul efektif untuk menekan laju kejahatan khususnya kekerasan seksual terhadap anak.