Oleh: M. Jain Amrin
________
PENDIDIKAN selama ini seringkali dipahami secara sempit sebagai aktivitas menghafal, mengulang, dan mengikuti perintah. Di banyak ruang kelas, guru menjadi satu-satunya sumber kebenaran, sementara peserta didik sekadar mendengarkan dan mencatat. Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brasil, menggugat keras cara pandang semacam itu. Melalui pemikiran dan karya-karyanya yang revolusioner, Freire menawarkan konsep pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan penjinakan.
Dalam konteks sosial politik Amerika Latin yang dipenuhi ketimpangan dan ketertindasan, Freire menulis buku legendarisnya Pedagogy of the Oppressed (1970). Buku ini tidak hanya menjadi referensi di dunia pendidikan, tetapi juga menjadi bacaan wajib dalam studi sosial, filsafat, hingga gerakan masyarakat sipil. Freire menolak pendidikan yang hanya menjadikan siswa sebagai objek pembelajaran yang pasif. Ia menyebut sistem seperti itu sebagai “pendidikan gaya bank”.
“Pendidikan yang tidak membebaskan, hanya akan membentuk manusia yang patuh, bukan manusia yang berpikir,” Paulo Freire.
Pendidikan Gaya Bank: Mengikis Kemanusiaan Dalam pendidikan gaya bank, guru dianggap sebagai pemilik penuh pengetahuan, sedangkan peserta didik diposisikan sebagai “wadah kosong” yang harus diisi. Relasi ini membentuk struktur vertikal dan dominatif. Freire mengkritik pendekatan ini sebagai bentuk kekerasan simbolik yang menumpulkan daya kritis manusia.
Ia menilai bahwa pendidikan semacam itu tidak bertujuan untuk membangun manusia merdeka, melainkan justru mereproduksi struktur sosial yang menindas. Oleh karena itu, Freire menawarkan pendekatan dialogis, di mana guru dan murid berdiri dalam posisi yang setara sebagai subjek yang sama-sama belajar, berbagi, dan tumbuh.
Conscientizacao: Kesadaran Kritis sebagai Inti Pendidikan Salah satu konsep utama yang diperkenalkan oleh Freire adalah conscientizacao, yang diterjemahkan sebagai kesadaran kritis. Dalam kerangka ini, pendidikan tidak cukup hanya mengajarkan “apa” dan “bagaimana”, tetapi juga “mengapa” dan “untuk siapa”. Tujuan akhirnya adalah menumbuhkan keberanian peserta didik untuk membaca dunia, mengidentifikasi ketidakadilan, dan kemudian bertindak untuk mengubahnya.
Proses ini menjadi inti dari pendidikan sebagai praktik kebebasan. Kesadaran kritis tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun kepekaan sosial dan keberpihakan moral. Pendidikan, menurut Freire, harus menggugah pertanyaan-pertanyaan tajam: Mengapa kemiskinan terus berlangsung? Siapa yang diuntungkan dari sistem pendidikan saat ini? Apa peran kita dalam mengubahnya?
Praxis: Refleksi dan Aksi dalam Pendidikan
Freire tidak berhenti pada kesadaran semata. Ia memperkenalkan konsep praxis yaitu gabungan antara refleksi dan aksi. Pendidikan yang hanya mengajak merenung tanpa tindakan adalah kosong. Sebaliknya, tindakan tanpa refleksi pun berisiko buta arah. Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi ruang hidup untuk menganalisis realitas dan bergerak mengubahnya.
Dalam praktiknya, ini berarti peserta didik harus dilibatkan dalam persoalan nyata, seperti ketimpangan ekonomi, kekerasan struktural, hingga isu lingkungan. Pendidikan tidak boleh lepas dari konteks sosial, karena manusia adalah makhluk historis yang hidup dalam realitas tertentu.
Pendidikan Adalah Tindakan Politik Salah satu gagasan paling radikal Freire adalah bahwa pendidikan selalu bersifat politis. Tidak ada pendidikan yang netral. Setiap keputusan pendidikan baik dalam kurikulum, metode, maupun pendekatan pembelajaran selalu mengandung nilai, keberpihakan, dan dampak sosial.
Jika pendidikan diam terhadap ketimpangan, maka ia sebenarnya sedang memperkuat ketimpangan itu. Maka dalam perspektif Freire, pendidik harus menjadi agen perubahan, bukan hanya penyampai materi pelajaran. Guru ideal bukanlah penguasa kelas, melainkan teman seperjalanan yang membimbing dengan hati dan kesadaran.
Relevansi Pemikiran Freire di Era Modern
Dalam era digital dan industri 4.0, ketika pendidikan semakin berorientasi pada sertifikat, nilai ujian, dan kompetisi pasar kerja, pemikiran Freire kembali menggema. Banyak yang mempertanyakan: Apakah pendidikan masih memanusiakan? Ataukah kini berubah menjadi alat produksi kapital?
Freire mengajak kita untuk tidak melupakan bahwa peserta didik adalah manusia, bukan mesin. Pendidikan harus kembali pada tujuannya: membentuk manusia merdeka, berpikir kritis, dan peduli terhadap masyarakat. Dalam situasi sosial Indonesia di mana kesenjangan pendidikan antara kota dan desa masih tinggi, kurikulum kerap berubah mengikuti kepentingan politik, dan guru seringkali dibatasi oleh administrasi birokratis pendekatan Freire menjadi sangat relevan untuk dipertimbangkan ulang.
Penutup: Pendidikan sebagai Cinta yang Berani
Bagi Freire, pendidikan sejati adalah tindakan cinta. Namun cinta dalam pendidikan bukanlah sesuatu yang lembek dan manis, melainkan cinta yang radikal cinta yang mendorong keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan membebaskan manusia dari ketertindasan.
“Jika kita mengajarkan hari ini seperti cara kita mengajarkan kemarin, maka kita mencuri masa depan anak-anak kita,” Paulo Freire.
Melalui pemikiran-pemikirannya, Freire tidak hanya mengubah cara kita mengajar, tetapi juga cara kita memaknai manusia dalam pendidikan.
Ia tidak hanya mewariskan teori, melainkan mengobarkan semangat bahwa pendidikan adalah hak, perjuangan, dan harapan. (*)
Tinggalkan Balasan