Tandaseru — Penangkapan dan penetapan tersangka 11 warga desa Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara, usai menolak aktivitas tambang PT Position memantik perhatian banyak pihak.
Penangkapan itu tak sekadar menyakitkan, tapi juga membingungkan. Warga yang selama ini hidup dari tanah, air, dan hutan kini justru dijerat pasal-pasal pidana.
Mereka dikenai Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam, Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan karena dianggap merintangi operasi tambang berizin, serta Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.
“Mereka bukan kriminal. Mereka hanya membela tanah, hutan, dan air bersih yang diwariskan leluhur mereka,” tegas Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Sabtu (26/7/2025).
Menurut Usman, apa yang terjadi di Halmahera Timur adalah contoh nyata bagaimana hukum digunakan sebagai alat represi terhadap masyarakat adat.
“Menolak tambang bukan kriminal. Itu adalah hak dasar yang dijamin Konstitusi dan hukum internasional,” tegasnya.
Usman juga mengecam keras pendekatan represif aparat terhadap aksi damai yang dilakukan oleh warga Maba Sangaji. Alih-alih membuka dialog, aparat justru membubarkan aksi dengan kekuatan berlebihan, termasuk penembakan gas air mata.
“Penggunaan kekuatan berlebihan terhadap masyarakat adat yang sedang melakukan aksi damai tidak bisa dibenarkan. Aparat harusnya mendengarkan, bukan membungkam,” kata Usman.
Dalam laporan Amnesty International, selama Januari hingga Mei 2025, terdapat 88 pembela HAM yang menjadi korban serangan di Indonesia, dan 40 di antaranya adalah masyarakat adat. Jumlah ini sudah hampir dua kali lipat dari total korban masyarakat adat sepanjang tahun 2024, yang tercatat sebanyak 22 orang.
Selain kriminalisasi, Amnesty juga mencatat bahwa warga Maba Sangaji tidak pernah diajak berkonsultasi sejak awal oleh negara maupun korporasi terkait proyek tambang ini. Mereka hanya mendengar kabar bahwa lahan mereka telah berizin untuk dikeruk.
Sejak tambang mulai beroperasi pada 2024, warga mengeluhkan pencemaran air sungai, hilangnya sumber air bersih, kerusakan pertanian, dan hutan adat yang dibabat untuk tambang.
“Kami tidak pernah tanda tangan. Kami tidak pernah setuju. Tapi tiba-tiba hutan kami digusur,” ujar seorang tokoh adat Maba Sangaji yang menyembunyikan identitasnya karena takut ditangkap.
Usman pun menyerukan kepada Polda Maluku Utara untuk segera membebaskan seluruh warga yang ditahan tanpa syarat. Ia menegaskan bahwa konflik-konflik seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan cara kekerasan, intimidasi, atau paksaan.
“Negara harus menyelesaikan konflik yang melibatkan korporasi secara adil, partisipatif, dan tuntas – tanpa kekerasan,” ujarnya.
Kini, dari balik jeruji dan di tengah suara-suara yang mulai dibungkam, harapan masih menyala di Maba Sangaji. Para mahasiswa di Ternate dan Jakarta menduduki kantor polisi dan kampus, menuntut pembebasan warga yang ditangkap. Koalisi masyarakat sipil mengirim surat ke Komnas HAM dan PBB. Dan para komika, seniman, hingga publik figur mulai bersuara.
“Aneh zaman sekarang. Tanah dirampas, alam dirusak, kok warga dibungkam?” kata komika Gianluigi Christoikov, menanggapi kasus ini.
Suara-suara seperti Gianluigi dan Usman Hamid kini menjadi gema dari jerit sunyi warga Maba Sangaji, yang tetap percaya bahwa mereka bukan penjahat, bukan pelanggar hukum. Mereka hanya manusia – yang mencoba mempertahankan kehidupan dan warisan dari leluhur mereka.
Tinggalkan Balasan