Refleksi Ekologis dan Kemanusiaan atas Tewasnya Babi Hutan di Ternate

Oleh: Asmar Hi. Daud

Sore tadi, di Kelurahan Tafure, Kecamatan Kota Ternate Utara, seekor babi hutan tiba-tiba muncul di permukiman warga. Ia berlarian panik di sekitar pom bensin, tak tentu arah, dikejar puluhan orang yang riuh dengan teriakan. Tak lama, tubuhnya rebah di tanah. Tapi yang membuat hati tercekat—bahkan setelah ia mati, pukulan demi pukulan masih terus mendarat. Benturan kayu, lemparan batu, dan amarah yang tak juga reda.

Seorang teman yang menyaksikan video kejadian itu hanya berujar lirih, namun membekas: “Ternyata banyak manusia yang lebih jahat dari binatang. Babi itu sudah mati, tapi kita masih saja memukulnya.”

Saya terdiam. Kalimat itu menampar kesadaran kita. Di tengah kerumunan, kita seakan lupa bahwa yang dikejar itu bukan monster, bukan musuh, melainkan makhluk hidup yang tersesat—atau lebih tepatnya, terusir dari rumahnya sendiri.

Di habitat alaminya, babi hutan bukanlah hama. Ia adalah insinyur ekosistem—penggembur tanah yang membuka jalan bagi regenerasi hutan. Babi menyebarkan benih melalui kotorannya, memangsa larva dan serangga kecil, dan menjadi bagian penting dari rantai makanan alamiah. Kehadirannya menjaga keseimbangan, bukan mengganggu.

Namun semua itu hanya mungkin terjadi jika habitatnya masih utuh. Ketika hutan dibuka, jalan dibangun, dan lahan ditimbun demi ekspansi kota, maka ekosistem runtuh. Dan ketika ruang hidup babi hutan menyempit, ia pun terdorong keluar—terpaksa memasuki dunia manusia, bukan karena ingin, tapi karena tidak punya pilihan lain.

Kejadian di Tafure bukanlah peristiwa tunggal. Beberapa bulan sebelumnya, hal serupa terjadi di Kelurahan Rua. Bahkan ada warga yang dilaporkan diseruduk babi hutan. Polanya berulang: hewan panik masuk kota, manusia panik membalas, dan akhirnya kematian yang sia-sia.

Sayangnya, respons kita cenderung instingtif dan emosional. Padahal yang dibutuhkan adalah pendekatan berbasis ilmu dan kebijakan. Dan yang paling penting adalah perencanaan ruang yang berpihak pada keseimbangan ekologi.

Kita sering mengeluh ketika satwa liar “masuk kota”. Tapi kita jarang bertanya, mengapa mereka datang?

Babi hutan bukan makhluk iseng yang mendadak ingin bersosialisasi. Ia datang karena hutan tempatnya berlindung telah dipotong, tempat makannya digusur, tempat hidupnya direbut. Ia datang karena manusialah yang lebih dulu menyeberangi batas wilayah.

Babi hutan bukan binatang buas. Yang kita saksikan sore itu bukan aksi penyerangan, tapi bentuk paling murni dari ketakutan:
Ia berlari karena panik, ia tersesat karena lapar, ia sendirian karena terusir. Ia mencari jalan keluar, bukan mencari korban. Tapi yang ia temui hanyalah kerumunan yang siap melampiaskan kemarahan.

Yang menyedihkan, bahkan setelah ia mati, kemarahan itu belum cukup.

Kita bisa membangun kota dengan jalan lebar, taman indah, dan gedung tinggi. Tapi jika kita kehilangan empati, kehilangan kepekaan terhadap makhluk yang tak bersuara, yang tak bisa membela diri, maka semua itu tak lebih dari peradaban kosong.

Tewasnya babi hutan sore itu bukan sekadar berita “hewan masuk kota”. Ia adalah cermin buram yang memantulkan wajah kita sendiri—tentang bagaimana kita memperlakukan alam, tentang nilai-nilai yang mulai pudar, dan tentang kegagalan kita menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kehidupan.

> Mungkin benar kata teman saya: ada manusia yang lebih jahat dari binatang. Dan mungkin hari ini, di Ternate, kita semua menyaksikan kenyataan itu.

Babi hutan itu tak bisa membela diri. Ia tak bisa bicara. Tapi kehadirannya sore tadi—dan cara ia diperlakukan—adalah pesan diam yang berteriak keras.
Tentang kepekaan yang hilang, tentang empati yang terkikis,
dan tentang siapa sebenarnya yang lebih liar.