Oleh: Arafik A Rahman
Penulis Buku
_________
DI tengah gemuruh zaman yang dipenuhi layar dan sinyal, manusia berdiri di persimpangan antara cahaya dan bayang-bayang. Teknologi telah menjadi dewa baru; ia memberi berkah dalam bentuk kecepatan, kemudahan dan konektivitas. Namun di balik kemilau layar sentuh dan algoritma yang tak tampak, mengendap satu pertanyaan penting: ke manakah perginya etika dan moralitas ketika kita tak lagi bertatap?
Kata, Immanuel Kant, “Etika bukan soal hasil, tapi tentang maksud.” Maka pertanyaan pertama dalam dunia digital “mengapa kita mengunggah? Bukan apa yang kita dapat dari unggahan atau monetisasi. Pada lanskap digital, niat menjadi samar. Kita mengetik tanpa berpikir, membagikan tanpa memahami, dan menghukum tanpa pengadilan.
Media sosial berubah menjadi ruang penghakiman, penikaman dan perkamuflasian bukan lagi ruang dialektika, seperti yang dilakukan Socrates dimasanya. Facebook, WhatsApp, Instagram dan tiktok telah mampu mempertemukan kita meski tanpa kehadiran tubuh, berbicara tanpa suara, dan menilai tanpa mengenal. Michel Foucault, filsuf Prancis, dalam Surveiller et punir menegaskan bahwa kekuasaan hari ini tak lagi hanya hadir dalam bentuk tongkat dan senjata, tapi melalui pengawasan.
Dunia digital menjadikan kita semua pengawas dan diawasi. Dalam sistem ini, moralitas bukan lagi milik hati nurani tetapi dikurasi oleh algoritma dan ‘like’ and dislike. Namun benarkah dunia digital membunuh moralitas? Atau justru ia memperlihatkan wajah aslinya yang selama ini tersembunyi dalam sopan santun di atas meja kopi, di kantor dan di ruang-ruang publik lainnya?
Zygmunt Bauman, sosiolog kontemporer, menyebut era kita sebagai “liquid modernity” segalanya cair, berpindah dan tak berakar. Moralitas pun menjadi cair. Hari ini kita bisa menjadi aktivis lingkungan lewat satu klik, esoknya menyebarkan ujaran kebencian dengan jempol yang sama. Identitas etis berubah menjadi topeng, digonta-ganti sesuai suasana hati dan kepentingan semu.
Tetapi harapan kita belum punah. Dalam setiap keheningan layar, masih ada ruang untuk merenung. Kita bisa memilih untuk menjadi manusia yang pembohong saat online, tetapi juga bisa conscious. Kita bisa membangun kembali jembatan empati dengan kata yang jujur dan niat yang bersih. Kita bisa menuliskan status yang mengangkat bukan menjatuhkan dan memilih diam di saat yang tepat lebih berharga daripada seribu komentar kosong yang saling spekulasi.
Etika dan moralitas di era digital bukanlah warisan, melainkan pilihan harian. Ia bukanlah sebuah aturan mati, tetapi kompas hidup yang terus menyesuaikan arah. Sebab, seperti kata, Albert Schweitzer, “Etika adalah penghormatan terhadap kehidupan.” Dan kehidupan, meski kini banyak berpindah ke ruang maya, tetaplah suci, tetaplah layak untuk dihormati.
Maka marilah kita menjadi manusia digital yang tetap beradab, bukan sekadar cerdas. Yang tetap memiliki hati di balik setiap klik. Yang tidak sekadar terhubung, tetapi sungguh hadir dengan etika, dengan moral dan dengan ketulusan. Karena hanya dengan etika dan Moralitas kita akan bertemu dengan kebijaksanaan.
Jadilah seorang yang baik meskipun berada di tengah-tengah ribuan pendusta. Jika tidak kita akan terjebak dalam riuhnya dan kecanggihan digitalisasi. Sebab surga tak menjanjikan banyak orang yang bersamamu tetapi banyak kebenaran dan kebaikan bersamamu. (*)
Tinggalkan Balasan