Tandaseru — Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menyoroti penonaktifan 23 kepala desa oleh Pemda Pulau Morotai, Maluku Utara. Pemberhentian sementara para kades dinilai cacat prosedur dan syarat tendensi pasca Pilkada.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Apdesi, Yoram Uang. Ia menyatakan, DPP merasa heran dengan perilaku kepala daerah yang dinilai sewenang-wenang menyalahgunakan kekusaaan (abuse of power).
Yoram memaparkan, para kades diberhentikan dengan dasar sidang kode etik internal Pemda Pulau Morotai. Hal tersebut jelas-jelas bertentangan dengan UU Nomor 3 Tahun 2024 maupun Permendagri. Sebab syarat pemberhentian kades jelas diatur, yakni karena meninggal dunia, permintaan sendiri/mengundurkan diri dan diberhentikan.
“DPP Apdesi menyoroti maraknya pemberhentian kepala desa berjamaah oleh bupati. Setelah beberapa waktu lalu bupati Halsel, kini terbaru bupati Pulau Morotai memberhentikan kurang lebih 23 kepala desa yang tersebar di berbagai kecamatan,” ungkapnya, Senin (16/6/2025).
Yoram yang punya rekam jejak mumpuni berjuang dan berinteraksi dengan sejumlah kementerian maupun DPR RI ini menyampaikan, penting untuk diperhatikan soal pemberhentian kades antara lain karena berakhir masa jabatan, berhalangan tetap dan tidak dapat menjalankan tugas selama 6 bulan secara bertutut-turut, dan ditetapkan sebagai terdakwa dalam satu masalah hukum yang berat.
“Dasar inilah yang mesti dipahami oleh pemda setempat bahwa Indonesia adalah negara hukum yang harus menghargai mekanisme hukum yang berlaku. Kita semua tentu sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama semua anak bangsa,” ujarnya.
Ketua Pemenangan Prabowo-Gibran Halbar ini mengungkapkan, di balik itu kita juga harus menghormati asas hukum equality before the law (prinsip penting yang menjamin keadilan dan kesetaraan bagi semua individu di depan hukum).
“Dan pemerintahan tidak bisa pemberhentian kepala desa atas selera temuan administrasi. Kacau pengelolaan tata negara seperti ini. Saya berani tantang bupati dan kepala DPMPD, jika Inspektorat audit sekretariat bupati dan DPMPD, jika ada temuan administrasi maka Gubernur selaku perwakilan Pempus bisa memberhentikan sementara bupati Pulau Morotai, dan kepala DPMPD juga dicopot oleh bupati dengan dasar yang sama seperti kades,” tegasnya.
Yoram yang juga Ketua Komisi I DPRD Halbar ini meminta pengurus DPD Apdesi Malut untuk menempuh jalur komunikasi dengan gubernur agar bisa memberi punishment kepada pemda.
“Jangan bahwa bupati dan kades sama dilegitimasi oleh rakyat. DPD Apdesi bergegas untuk melawan ketidakadilan ini, silakan DPD dengan ibu gubernur dan kami DPP akan melaporkan juga ke Kementerian Desa dan Mendagri,” ucapnya.
Ia menambahkan, langkah awal yang harus ditempuh DPD Apdesi adalah bertandang ke Pulau Morotai.
“Bangun konsolidasi yang solid, lawan kezaliman. Tidak perlu takut, kita punya jejaring yang kuat hingga ke pusat, karena berlakunya revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 menjadi UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa dan ini adalah hasil perjuangan yang solid. Dan itu bagian dari kami DPP yang motori semua pergerakan yang akomidir kekuatan dari Sabang sampai Merauke, yang pernah geruduk Senayan dengan jumah masa kurang lebih 60.000 orang. Masak Morotai yang dekat DPD tidak bisa konsolidasi kabupaten/kota se-Malut geruduk kantor bupati Morotai?” papar Yoram.
“Langkah selanjutnya adalah jalur konstitusi dengan gugat SK cacat hukum ke PTUN oleh tim hukum DPD Apdesi Malut. Hentikan kepentingan Pilkada dicampuradukkan dengan dendam politik karena kades tidak bisa dipaksa untuk timsus di salah satu paslon karena berkonsekuensi hukum,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan