Oleh: Arafik A Rahman (Bung Opickh)

____________

KENAPA Douglas Mac Arthur memilih Morotai sebagai salah satu pangkalan utama militer sekutu dalam perang Pasifik? Pertanyaan pembuka inilah yang akan membawa kita ke lereng-lereng sejarah perang dunia ke II, sekaligus memahami pentingnya Pulau Morotai dalam kajian geopolitik dan geostrategis.

Coba anda bayangkan kala itu, ada banyak tempat yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik: Biak di Papua, Manado di Sulawesi Utara, Borneo di Kalimantan Utara. Tetapi Jenderal Douglas Mac Arthur lebih memilih Pulau Morotai untuk menempatkan kekuatan besarnya dalam misi Tradewind untuk meluluhlantakkan negeri Sakura. Karena letak Morotai lebih menguntungkan dari aspek geopolitik dan geostrategis daripada yang lain.

Artinya berdasarkan analisis Pentagon dengan dataran alam yang luas, deretan bukit, pulau-pulau kecil yang membentang bagaikan perisai dan sumber makanan yang bisa membantu logistik. Juga aksesibilitas; jarak tempuh untuk menyerang dan bertahan Pulau Morotai lebih selaras dengan strategi dan taktik perang yang diterapkan sekutu kala itu tahun 1944.

Dari lintasan sejarah dan letaknya yang strategis itulah, Morotai mungkin saja ditetapkan oleh Kemenhan RI sebagai salah satu titik pertahanan nasional yang berada di bibir Pasifik. Untuk itu, berbagai upaya dilakukan: menempatkan tiga matras TNI yaitu angkatan darat, laut dan udara di Pulau Morotai. Upaya pembebasan lahanpun rencana dilakukan beberapa titik vital; di desa Dehegila, Morotai Selatan, di desa Sangowo, Morotai Timur, dan di desa Pangeo, Morotai Jaya.

Kesemua itu dalam rangka membangun infrastruktur militer yang kuat. Karena itu, hemat saya jika Morotai dipilih sebagai tempat Latihan Gabungan Militer Indonesia adalah sesuatu yang “pantas”, bukan petaka, karena TNI bukan ekskavator yang merusak lingkungan dan juga bukan perampok yang menembak siapa saja. Tetapi TNI adalah pelindung rakyat dan penjaga keutuhan negara Republik Indonesia.

Artinya dengan latihan itu, TNI akan lebih dekat mengenal karakteristik Pulau Morotai, lebih dekat dengan rakyat dan ada efek ekonomi sepanjang mereka berada di Morotai. Jika sewaktu-waktu ada keadaan darurat maka sudah siap dihadapi dan berjuang bersama rakyat. Meski rakyat direlokasi darurat tapi pasti ada dukungan dengan cara wajib militer.

Jadi sekali lagi, memilih Morotai itu bukan dengan cara tutup mata, buka mata atau Bim Salabim Abrakadabra langsung ditetapkan. Tetapi sebelum menetapkan tempat latihannya pasti sudah ada kajian yang matang. Baik secara geografis, geostrategis, geopolitik dan demografi; penduduk, Sosial, ekonomi dan lingkungan. Baca, Dr. Cabral Abel Couto (1988). Elementos de Estratégia. Vol I. Instituto Altos Estudos Militares, Lisboa.

Di sisi lain, isu tentang latihan militer adalah bagian dari intervensi atau pilihan gubernur Sherly Tjoanda, saya kira tidak begitu. Beliau bisa saja hanya sebatas koordinasi sebagai pemimpin di daerah. Tetapi ada keputusan yang lebih tinggi di atasnya yaitu Kemenhan RI dan Markas Besar TNI, bahkan adalah hasil konsultasi para jenderal dengan presiden Prabowo Subianto.

Terlepas dari itu, penetapan Morotai sebagai tempat latihan militer sebetulnya bukan baru kali ini. Kalau tidak keliru, di tahun 2015 latihan militer yang disebut Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) yang dipusatkan di lokasi Sail desa Juanga dan Latihan militer tahun 2018 dipusatkan di Morotai Utara desa Bere-bere.

Jadi soal penolakan terhadap rencana latihan Militer oleh beberapa elemen masyarakat, saya kira itu bagian dari dinamika publik untuk mengevalusi seberapa siap TNI dalam melaksanakan latihan dimaksud. Juga perlu adanya sosialisasi dan kolaborasi untuk menjelaskan seberapa pentingnya posisi Morotai dari sejarah, kini dan nanti. (*)