Oleh: Asmar Hi. Daud

Di tengah semangat perubahan pasca-pemilihan, rakyat Maluku Utara menyimpan harapan baru: bahwa pembangunan akan benar-benar menjangkau mereka, dari pesisir Bacan hingga kampung-kampung kecil di Pulau Taliabu dan Morotai. Bukan lagi janji yang hanya tinggal janji, tetapi kerja nyata yang bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemerintah Provinsi Maluku Utara di bawah kepemimpinan Gubernur Sherly Tjoandra telah menetapkan enam prioritas utama dalam RKPD 2026: tata kelola pemerintahan, peningkatan SDM, daya saing ekonomi, konektivitas wilayah, ketahanan sosial-budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Ini bukan sekadar daftar harapan. Ia adalah janji arah baru.

Namun, sejarah perencanaan di banyak daerah, termasuk Maluku Utara, seringkali terjebak dalam rumusan normatif dan bahasa birokrasi yang abstrak. Maka pertanyaannya adalah bagaimana agar enam prioritas ini benar-benar terasa manfaatnya bagi rakyat di Pulau Bacan, Morotai, Pulau Taliabu, Kepulauan Sanana, Halmahera, hingga pulau-pulau kecil yang jarang disentuh pembangunan?

Di sinilah pendekatan SMART menjadi penting. SMART—Specific (spesifik), Measurable (terukur), Achievable (tercapai), Relevant (relevan), dan Time-bound (batas waktu)—adalah prinsip dasar yang menjadikan rencana kerja tidak sekadar retorika, tapi dapat dieksekusi dan diawasi secara nyata. Seperti kata Peter Drucker, “What gets measured gets managed”—apa yang diukur, itulah yang dapat dikelola.

Misalnya, dalam hal tata kelola pemerintahan, tidak cukup menyatakan “akan melakukan reformasi birokrasi.” Harus jelas dan terukur: berapa persen jabatan akan diisi melalui seleksi terbuka? Berapa layanan publik yang ditargetkan digitalisasi? Kapan target ini dicapai?

Demikian pula soal SDM berkualitas—apakah kita punya target penurunan angka stunting yang spesifik? Apakah tersedia pelatihan vokasi yang bisa langsung menghubungkan anak muda dengan peluang kerja nyata? Lebih jauh lagi, apakah kita sudah menetapkan target menurunkan angka anak putus sekolah, terutama di daerah terpencil? Tanpa pendidikan yang berkelanjutan, upaya peningkatan SDM hanya akan menjadi mimpi di atas kertas.

Dalam konteks daya saing ekonomi, SMART menuntut kita tidak hanya bicara “hilirisasi dan UMKM,” tapi menyebut angka: berapa produk lokal akan masuk pasar ekspor? Berapa koperasi rakyat yang didampingi untuk naik kelas? Bagaimana skema pembiayaan inklusif dijalankan untuk memberdayakan pelaku usaha mikro di desa-desa?

Soal infrastruktur wilayah, kita butuh target konektivitas yang adil: jalan dan transportasi bukan hanya ke kota kabupaten, tapi ke desa-desa terluar yang selama ini menjadi “anak tiri pembangunan.”

Begitu juga ketahanan sosial dan budaya: apakah kita bisa ukur partisipasi perempuan, anak muda, dan lembaga adat dalam proses pembangunan? Apakah pelestarian budaya dan toleransi masuk dalam indikator evaluasi?

Dan tentu saja, keberlanjutan lingkungan tidak cukup didekati dengan kalimat indah. Kita perlu tahu: berapa hektar kawasan kritis akan direhabilitasi? Berapa desa yang memiliki rencana kontinjensi bencana? Berapa besar luas areal penambangan yang merusak ekosistem dan bagaimana perusahaan menindaklanjuti program rehabilitasi?

Tidak kalah penting, persoalan mendasar seperti kemiskinan harus menjadi sorotan utama. SMART harus mendorong kita untuk menetapkan target konkret: berapa persen penurunan angka kemiskinan ekstrem yang harus dicapai dalam setahun? Berapa jumlah keluarga yang akan didorong keluar dari garis kemiskinan melalui program pemberdayaan berbasis data?

SMART bukan hanya alat ukur. Ia adalah filosofi baru dalam tata kelola pembangunan: bahwa janji harus bisa dihitung, bahwa kerja pemerintah harus bisa diuji capaian dan akuntabilitasnya.

Karena itu, untuk memastikan enam prioritas RKPD 2026 benar-benar berjalan, sudah saatnya Pemprov Maluku Utara mengembangkan dashboard publik berbasis SMART. Sebuah sistem yang tidak hanya mengukur indikator capaian, tetapi juga membuka akses masyarakat untuk memantau, mengevaluasi, dan memberikan masukan. Transparansi ini akan memperkuat kepercayaan publik sekaligus menjadi rem terhadap potensi deviasi dari arah pembangunan yang telah dijanjikan.

Kalau SMART tidak menjadi budaya kerja birokrasi, maka RKPD akan kembali menjadi dokumen indah yang dilupakan begitu APBD diketuk. Tapi jika SMART menjadi pegangan, kita bisa menjemput arah baru Maluku Utara yang lebih adil, merata, dan berkelanjutan.

Kini saatnya bertanya: sudahkah kita cukup SMART untuk menepati janji pembangunan?