Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

“Kepala daerah yang hanya fokus pada citra, melalui media sosial, tanpa substansi kebijakan, bisa berakhir dalam jebakan populisme visual.”

DALAM era digital, branding politik menjadi salah satu strategi kunci yang digunakan oleh kepala daerah untuk membentuk citra, membangun legitimasi, dan memperkuat daya tarik politiknya di tengah masyarakat.

Branding politik tidak hanya berkaitan dengan pencitraan, tetapi juga bagaimana simbol, narasi, dan gaya kepemimpinan dikomunikasikan secara konsisten melalui berbagai platform, terutama media sosial.

Branding politik merupakan proses membentuk persepsi publik terhadap figur politik melalui narasi yang terencana.

Menurut Scammell (2007:176), branding politik merupakan usaha membangun hubungan emosional dengan publik melalui simbol-simbol, nilai, dan janji politik yang konsisten.

Branding bukan hanya menciptakan identitas, tetapi juga diferensiasi dalam kompetisi politik lokal yang kian ketat.

Beberapa kepala daerah mencoba melakukan branding dengan membangun citra sebagai pemimpin yang inovatif dan dekat dengan warganya melalui pendekatan visual dan narasi yang menarik perhatian masyarakat. Branding ini dikelola secara strategis dalam berbagai platform media sosial.

Media sosial telah merevolusi cara kepala daerah berkomunikasi dengan publik. Platform seperti Instagram, Twitter (X), TikTok, dan Threads memungkinkan komunikasi dua arah dan memperkuat kesan personalisasi kekuasaan.

Dalam suatu penelitian yang dilalukan Ross Tapsell, menyatakan, media sosial disebut memperpendek jarak antara politisi dan warga, menjadikan pemimpin lebih “terjangkau” dan “dekat secara emosional”
(Tapsell, 2015:20).

Kepala daerah kini tidak lagi hanya dilihat melalui media massa arus utama, melainkan bisa langsung membentuk narasi mereka sendiri melalui konten visual, story-telling, dan interaksi langsung dengan netizen. Ini telah merubah model kampanye konvensional ke model yang lebih menguatkan persepsi masyarakat melalui media sosial.

Dalam konteks ini, media sosial menjadi arena pembentukan wibawa dan kontrol atas narasi publik.

Branding politik yang efektif dapat berkontribusi pada kepercayaan publik, partisipasi warga, dan bahkan stabilitas politik.

Namun, branding juga bisa menjadi alat manipulasi jika tidak dibarengi dengan kinerja nyata. Kepala daerah yang hanya fokus pada citra melalui media sosial, tanpa substansi kebijakan, bisa berakhir dalam jebakan populisme visual.

Dalam studi yang dilakukan Henry Jenkins, menyebutkan, bahwa “branding dapat menyamarkan kegagalan kebijakan publik dengan lapisan-lapisan simbolik yang menenangkan publik” (Jenkins, 2008:11).

Hal ini menjadi tantangan serius dalam demokrasi lokal, ketika kinerja diukur dari likes, subscribes, dan followers alih-alih kebijakan dan dampaknya.

Beberapa studi kasus di Indonesia pernah menunjukkan keberhasilan branding politik kepala daerah melalui media sosial. Dapat disebut, di antaranya: Tri Rismaharini di Surabaya, Joko Widodo di Solo dan Jakarta, dan Ridwan Kamil di Jawa Barat, di mana dapat mereka membangun branding kepemimpinan yang “tegas, humanis, sederhana, dan sebagainya.”

Kini, Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, dan Sherly Tjoanda Laos Gubernur Maluku Utara, melakukan hal yang sama dengan memanfaatkan media sosial untuk menganyam tali temali branding politik mereka.

Namun demikian, branding ini harus diuji dalam konteks kebijakan yang berpihak pada masyarakat kecil.

Implikasi etis dari branding politik ini menyangkut pertanyaan: Apakah branding memperkuat demokrasi substantif, atau hanya memperhalus dominasi politik?

Di sinilah pentingnya literasi media dan partisipasi warga dalam mengkritisi setiap narasi visual yang dibentuk oleh kekuasaan lokal. (*)