Oleh: Dafrin Muksin
Dosen Ilmu Pemerintahan UNA’IM Yapis Wamena
_______
MENJELANG pesta demokrasi (Pemilu, Pileg, dan Pilkada), momen yang sangat dinantikan yaitu masa kampanye. Sebab, di saat itulah para kontestan kekuasaan akan beradu ide dan gagasan, memaparkan program kerja lima tahun ke depan. Selain itu, kampanye dilakukan untuk mempengaruhi opini publik, melakukan mobilisasi, dan manuver politik untuk merebut hati pemilih supaya memberikan suara di saat pencoblosan demi mendapatkan kekuasaan.
Secara ideal kampanye dimaksudkan untuk membangun interaksi politik yaitu bagaimana seorang kandidat dapat dikenal di tengah-tengah masyarakat. Kampanye dimaksudkan sebagai komunikasi politik yaitu bagaimana membangun kesamaan paham antara kandidat dengan masyarakat. Dan kampanye sebagai edukasi politik, yakni kampanye menjadi sarana memberikan pemahaman akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam urusan politik dan pemerintahan. Itulah sebabnya, kampanye menjadi urgen pada setiap momentum pesta demokrasi.
Sayangnya, realitas pelaksanaan kampanye berbanding terbalik. Masa kampanye justru menimbulkan banyak polemik di dalam masyarakat. Misalnya, kampanye hitam (black campaign) yang dilakukan oleh salah satu kandidat atau tim kampanye untuk menjatuhkan kandidat lainnya yang dikemas dengan isu politik identitas dan SARA, sehingga menimbulkan konflik. Terlebih di era digital, black campaign dan berita hoaks semakin mencapai titik ekstrem pemicu konflik. Di sisi lain nentralitas ASN dan pnyelenggara juga menjadi penyumbang terjadinya konflik pemilu.
Masa kampanye yang telah ditentukan waktunya oleh penyelenggara, menyebabkan para kandidat harus berpikir keras untuk mengatur strategi juga siasat. Cara-cara yang halal bahkan menghalkan segala cara memungkinkan untuk dipakai. Bahkan ada yang sudah mencuri start kampanye dengan memasang atribut kampanye sebelum masa kampanye. Sialnya, hal itu luput dari pengawasan. Ada juga yang melaksanakan kampanye dengan cara yang curang seperti melakukan politik uang, pemberian hadiah, dan lelang jabatan untuk mempengaruhi para pemilih.
Kampanye diperlukan untuk menyakinkan hati dan memantapkan pilihan rakyat. Kampanye biasanya dilakukan dengan ragam bentuk: pertemuan tertutup, pertemuan terbuka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga kampanye, kampanye media sosial-cetak, rapat umum, debat, dan kegiatan lainya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, kampanye memerlukan pembiayaan yang besar untuk mencapai target kemenangan. Pembiayaan yang besar inilah yang sering kali para kandidat yang kalah akan depresi, stres, bahkan bunuh diri akibat kecewa atas kekalahan. Biaya yang besar jumlahnya dikeluarkan, hasilnya tidak sesuai harapan.
Di masa kampanye juga banyak kandidat yang sering mengunakan janji manis sebagai siasat untuk mencuri kekuasaan dari rakyat. Targetnya mendapatkan kursi kekuaasaan tanpa mempedulikan aspirasi masyarakat. Setelah pesta demokrasi berakhir dan kekuasaan telah dicapai, maka janji politik hanya tinggal janji. Selamat tinggal para pemilih, sampai jumpa lima tahun lagi. Bagi elite politik semacam itu, kekuasaan mejadi jembatan untuk meperkaya diri dan memperluas akses kesejahteraan keluarga. Pemilu melahirkan korupsi, dinasti politik, dan oligarki.
Tinggalkan Balasan