Oleh: Samsuria Buamona
Anggota Forum Studi Independensia dan Mahasiswa Antropologi Unkhair

_______
ADA kisah yang berabad-abad oleh penduduk India dengan gerakan melidungi pohon-pohon dari penebangan. Protes atas kebijakan hutan, yang bertentangan dengan kepentingan lokal, berlanjut setelah kemerdekaan. Mereka menyediakan makanan, bahan bakar, pakan ternak, pakan ternak, serta menjaga kelangsungan sumber daya tanah dan air. Atau ditulis MF Mukthi dalam Majalah Historia, puncaknya terjadi pada 1970-an dengan Gerakan Chipko.

Pelopornya adalah Chandi Prasad Bhatt, pekerja sosial yang menganut ajaran Mahatma Gandhi. Tentunya gerakan Chipko dimulai pada April 1973 di distrik Chamoli. Penduduk desa Mandal, dipimpin Bhatt dan Sunderlal Bahaguna menghalangi Symonds, perusahaan alat-alat olahraga yang berkantor di Allahabad, untuk menebang pohon guna keperluan pembuatan raket tenis.

Tanah kita, air kita, hutan-hutan kita. Nenek moyang kita membesarkan mereka, kita yang harus melindungi mereka. Bahkan Hastuti N Kilwouw menyebut, ekofeminisme (ecofeminism), berasal dari bahasa Yunani, yaitu ekologi (ecology) dan latin feminisme (feminism). Sementara terminologi ekofeminisme merupakan teori dan gerakan sosial yang menyoal relasi ketertindasan perempuan dengan tindakan destruktif terhadap alam oleh sistem peradaban manusia.

Hastuti pun mengingatkan kita, seperti yang dirasakan mama Yani, pejuang ekofeminisme di Desa Gane Dalam, Halmahera Selatan, dalam menolak perusahan kelapa sawit. “Saya sudah tua, jadi saya tidak melepaskan tanah dan kebun untuk Korindo itu bukan untuk saya. Melainkan demi anak cucu saya.”

Pernyataan mama Yani itu memberi penegasan kepada perempuan bahwa demi mempertahakan ruang hidup mereka menolak secara tegas untuk menjual tanah kepada perusahaan. Hidup bukan sekedar hari ini, besok, atau lusa, tetapi siklus kehidupan terus berlanjut, di mana martabat dan harga diri atas keberlangsungan sumber daya alam salah satu pilar manusia.

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menilai, perempuan adalah pemangku kepentingan dalam pelestarian sumber daya alam, di mana hutan menjadi ruang hidup sumber penghidupan dan pengetahuan dan hutan adalah akar budaya perempuan. Akan tetapi perempuan kelompok yang paling menderita akibat kerusakan lingkungan dan hutan.