Oleh: Abdurahman Hoda
Ketua STPK Banau Halbar

________

ORANG akan bertanya, di mana relevansinya antara El-Nino dan istri-istri wali kota. Memang sengaja saya memilih judul di atas karena kedua peristiwa ini terjadi bersamaan. El-Nino merupakan peristiwa alam yang sudah berlangsung sejak Juli dan masyarakat di-warning untuk mengantisipasinya di bulan Oktober dan November. Sedangkan sarasehan istri-istri wali kota dilaksanakan pada tanggal 2-4 Oktober 2023 di Kota Ternate, Maluku Utara.

Pada momen bersamaan ini, sebuah pertanyaan perlu dikedepankan adalah apakah ada agenda dalam sarasehan membahas tentang peristiwa alam dengan siklus 2-7 tahunan ini. Terbesitkah dalam catatan panitia bahwa istri-isri wali kota yang turut andil dalam perannya untuk penentu kebijakan di daerah masing-masing, merasa tersentuh untuk memasukan topik dampak El-Nino terhadap ketersediaan pangan dan air di wilayah masing-masing.

Sebagai istri yang tak bisa dipisahkan dengan ketersediaan pangan dan air bersih dalam rumah tangga, sangatlah ironis jika dampak El-Nino tidak tersentuh dalam pertemuan penting para istri wali kota. Paling tidak, beberapa informasi tentang dampak dan langkah kebijakan yang telah ditempuh masing-masing wilayah menjadi agenda yang harus di-share saat sarasehan. Tidak sekadar kegiatan yang nuansa “pamer” dan “plesir” sehingga hanya memberikan manfaat sesaat.

Dalam catatan saya bahwa beberapa wilayah di Indonesia sudah merasakan dampak dari El-Nino, salah satu contoh adalah waduk terbesar di Lamongan (Jawa Timur) sudah kering. Kondisi ini berefek pada pengairan sawah terganggu. Ujung-ujungnya adalah berhadapan dengan paceklik padi sawah.

Kota Ternate sendiri, sebagai tuan rumah berkumpulnya para istri wali kota, adalah small city yang bermasalah dengan ketersediaan air bersih, jangan memandang remeh El-Nino. Potensi ini masih berlangsung dan menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut Indonesia perlu lebih mewaspadai potensi terjadinya El-Nino. Selain memicu kekeringan, minimnya curah hujan yang terjadi, juga akan berpotensi meningkatkan jumlah titik api, sehingga makin meningkatkan kondisi kerawanan untuk terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Diperkirakan sebanyak 220 peserta yang notabenenya adalah orang “penting” penentu kebijakan di daerah akan berkumpul di Kota dengan jargon Kota Rempah. Sangat naif jika melupakan persoalan terkini yang dihadapi bangsa kita. Janganlah orang yang turut berpartisipasi dan punya peranan besar dicap tidak memiliki sense of belonging. Tidak memiliki empati yang kuat terhadap persoalan bangsa.