Oleh: Asterlita T Raha
Founder Ngaje-Ngaje Pustaka
______
‘Peralatan sang tuan tidak akan dapat membongkar milik rumah sang tuan’
-Audre Lorde-
UNTUK kembali pulang pada sejarah yang telah sepuh, kita perlu menggeser lembaran, menyambangi kata-kata yang berserakan di dinding gawai atau berziarah pada berbagai lisan yang jatuh dari bibir penuh rona pinang bahkan di balik mimbar-mimbar cendekiawan. Meski itu tidak cukup untuk kembali memanggil jiwanya, sebab sesuatu yang demikian hanya akan mentahbiskan Nukila sebagai nama taman. Parasnya hanya menjadi simbol keindahan kota, bukan semerbak perlawanan lalu kokoh menjadi tumpuan penyokong Gamalama.
Keberpihakan itulah yang menyumbang gelisah, setidaknya berkali-kali saya melewati taman itu melihat tawa dan sukaria berseliweran di atasnya. Ada yang sedang memetik kasih, hingga anak-anak berlarian. Selayaknya taman, pemandangan itu tak lazim. Beberapa kali juga saya menepi di bahu jalan, merenung dan memungut berbagai keresahan yang tersimpan di kepala. Apakah memang semua adalah pendatang? Para turis yang membuang kepenatan kota, atau sekadar singgah tanpa sedikit menguliti rekam sejarah? Atau memang rindang dan sepoinya angin menidurkan kita dalam lupa yang panjang?
Sekelumit pertanyaan di atas, bukan sebagai hakim yang mendakwa pantas atau tidaknya. Ini hanya kontemplasi dengan diri sendiri, lalu saya upayakan untuk berbuah dalam kata-kata yang sedang dibaca.
Saya akan memulai dengan menghantamkan sebuah kritik kepada para peneliti dan akademisi di berbagai iniversitas di Maluku Utara, bagaimana tidak saya yang biasa-biasa ini kemiskinan catatan bahkan informasi untuk sekadar membayangkan perawakan ratu satu-satunya di tanah raja-raja. Jika diperbolehkan dengan dangkal dan lancang saya membandingkan kekayaan literatur berbagai sultan yang berkuasa khususnya di Kesultanan Ternate, sebut saja Sultan Baabullah. Berbagai seminar, buku hingga jurnal memuat segala yang bertalian dengannya, menjadikannya melimpah dalam perdebatan dan memenuhi imajinasi orang-orang Maluku Utara.
Apakah karena Nukila adalah perempuan?
Tirto.id dan Mubadalah.id setidaknya memberikan sketsa wajah nyai Boki Cili, dengan sedikit memberi ulasan. Lainnya saya bertemu dengan Nukila dalam bukunya Toety Herati Noerhadi : Rainha Boki Raja (sixteenth century queen of Ternate), “seorang perempuan lahir di kesultanan Tidore, tahun tak diketahui pasti, sebelum 1500 masehi barangkali, dan namanya dilupakan oleh sejarah-siapa yang mencatat sejarah kalau tidak pendatang bule (Portugis) yang menaklukan Goa dan Malaka tahun 1511….”.
Berdasarkan kekurangan berbagai catatan dari kita dan hanya dari penjajah, untuk itu sejak awal Toety Herati sudah mewanti-wanti agar berhati-hati dalam memaknai kisahnya, mengingat Ternate waktu itu dipenuhi banyak intrik, propaganda dan fitnah yang didalangi oleh Portugis untuk memecah belah Ternate. Dan atas dasar kehati-hatian, saya menggunakan optik perempuan untuk membedah setiap babak diskriminasi dan ketidakadilan yang kemudian saya sebut sebagai pembantaian, membaginya dalam 4 bagian.
Tinggalkan Balasan