Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
______
“Fungsi sosiologi pada setiap pengetahuan adalah mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi”.
(Pierre F. Bourdieu, 1930-2002)
SOCIOLOGY Fest atau disingkat SocFest merupakan sebuah kegundahan. Manakala relasi antara individu dan masyarakat saling berdialektika dengan dinamika perubahan yang demikian cepat, dan masing-masing: individu berlari sendiri, masyarakat juga mengalami bentuknya sendiri. Lalu, sebagai ilmu yang “seharusnya” dapat menangkap “ruh” perubahan itu, sosiologi tengah “asyik” sendiri dalam ruang-ruang kelas. Dipelajari, didiskusikan, diteoritisasikan, dan diperdebatkan dengan satu referensi dengan referensi lain, teori satu dengan teori lain. Saling memperlihatkan dominasi kuasa pengetahuannya.
Tahun 2015, SocFest digagas. Dengan maksud menganyam cerita, pengalaman, dan keperluan yang berkaitan dengan mahasiswa, alumni sebagai representasi masyarakat ilmiah, dan individu Maluku Utara dalam bentuk format kegiatan yang ringan, menyenangkan, tidak kaku, apalagi formal. Tidak hanya mengelaborasi urusan “keilmiahan” sosiologi, tetapi lebih menitik-beratkan bagaimana mahasiswa, dosen, alumni, dan masyarakat direkatkan, tidak dibuat jarak. Dikuatkan kesadaran dan integrasinya. Lahirlah program untuk menyambung dan menautkan relasi itu dalam agenda SocFest. Memang terlalu ideal.
Alhasil, rencana menggelar kegiatan SocFest kala itu tak berbalas, tak ada respon dari institusi di atas departemen/program studi. Merasa mungkin hanya akan menguras biaya, karena pasti tak akan mendatangkan manfaat. Lalu diacuhkan. Atau mungkin saja, terlalu menampilkan narasi-narasi besar tak menguntungkan. Yang pasti, bukan itu. Perlahan, semangat menggelar SocFest tahun 2015 pun memudar. Terpendam lama. SocFest tenggelam. Hilang dalam wacana warga sosiologi UMMU.
Sosiologi memang bukanlah pilihan studi yang diandalkan. Setiap tahun jumlah mahasiswa baru dan lulusan dapat dihitung dengan sepuluh jari tangan tak lebih. Di satu sisi, departemen ini memiliki kualifikasi pengajar yang relatif baik dari segi penjenjangan pendidikan. Begitulah, sosiologi, selalu berada pada stratifikasi struktur birokrasi kampus yang ter(di)sudutkan. Namun, alhamdulillah, Sosiologi yang diinstitusikan melalui Surat Izin Kementerian Pendidikan Nasional, No. 1177/D/T, tertanggal 10 Juni 2003, dalam tiga kali proses akreditasi memperoleh Nilai B, hanya sekali memperoleh Nilai C pada tahap Akreditasi Program Studi pertama, tahun 2006/2007.
Pembukaan Departemen Sosiologi UMMU tahun 2003, tak banyak peminat yang meliriknya. Bahkan, ada yang mempertanyakan jenis ilmu apa ini. Namun dalam pusaran waktu kemudian, perlahan sosiologi mulai dikenal. Dengan usia teramat muda, 19 tahun, kehadiran sosiologi di Maluku Utara membutuhkan tak sekadar kerja keras, tetapi juga dukungan semua pihak, terutama institusi kampus untuk memberi ruang lebih leluasa bagi pengembangan Sosiologi. Bukan dalam hitungan ekonomi: makin banyak mahasiswa mendaftar makin menambah kas institusi, tetapi substansi kehadiran sebuah program studi kurang terasa di tengah masyarakat. Kita masih mempertimbangkan kehadiran sebuah program studi dengan hitungan ekonomi. Upaya mengkapitalisasi nilai pendidikan?
Terus terang, sosiologi masih dilihat dengan sebelah mata, walau memang ada upaya sedikit peduli. Padahal, harus diakui, tanpa harus mendaku, sebagian besar ilmu sosial membutuhkan peran strategi sosiologi. Sosiologi memiliki perangkat untuk memberi pemahaman (pengetahuan) tentang perubahan sosial. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Pierre F. Bourdieu (1930-2002) yang menyatakan bahwa fungsi sosiologi pada setiap pengetahuan adalah mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi.
Peran-peran kognisi ini sepertinya belum menjadi perhatian pemangku kepentingan di kampus. Karena itulah, Departemen Sosiologi sedapat mungkin secara kreatif mengelola agar program studi ini tetap berjalan dengan jumlah peminatan yang syukur-syukur dapat bertambah dan sadar mau kuliah di sosiologi. Dan alhamdulillah bila tetap konstan atau stabil.
Tantangan terberat bagi pengembangan sosiologi adalah makin dinamisnya perubahan sosial dengan sejumlah persoalan yang terjadi di luar dirinya. Sementara secara ke dalam, sosiologi (di Maluku Utara) masih berjalan penuh rikuh, acapkali ringkih. Akibatnya, mengharapkan peran-peran strategis yang dapat dimainkan dalam panggung yang makin luas bagi kiprah sosiologi, hanyalah narasi dan cita-cita besar. Sebuah utopia.
Secara ke dalam, institusi belum sanggup mendorong dan menyiapkan “kebutuhan” besar bagi gerak leluasa sosiologi. Tetapi, syukurlah, hal itu dapat dijawab dengan makin banyaknya mahasiswa sosiologi yang rajin menulis melalui media cetak maupun online. Bahkan sebagian lulusan sosiologi UMMU bekerja di dunia tulis menulis. Secara tidak langsung, para alumni yang tersebar bekerja di berbagai media (cetak dan online) merupakan modal yang memberi keuntungan langsung, karena mensosialisasikan keberadaan sosiologi sekaligus UMMU. Ini belum menjadi bahan pertimbangan untuk dimaksimalkan pihak Program Studi Sosiologi.
Sekarang dunia tengah berubah, masyarakat tak lagi terbentuk secara konvensional. Melalui media sosial, masyarakat virtual dapat terbentuk tanpa harus berinteraksi secara nyata. Di mana tindakan sosial telah beringsut menjadi tindakan virtual, lalu fakta sosial, bergeser menjadi fakta virtual. Berbagai konsep-konsep besar sosiologi saat ini tengah diuji ketajamannya di era yang serba disruptif. Inilah dibutuhkan sebuah imajinasi, yang tak lekang oleh waktu dan situasi apapun. Membangun imajinasi merupakan modal besar untuk memahami dunia sosial dan dunia virtual.
Empat tahun setelah SocFest pertama digelar, tepatnya Mei 2018 lalu, kini SocFest kedua mulai digelar, bergeliat, diperkenalkan, dan mulai mencari tempat. Berbagai jejaring yang selama ini dibangun dan dirawat ikut memperkenalkan SocFest. Melalui SocFest, kita diajak merayakan imajinasi bersama-sama. (*)
Tinggalkan Balasan