Oleh: Rama Chaerudin

Pegiat Sosial dan Politik

________

PEMIKIRAN politik modern mengalami titik balik penting pada abad ke-18 melalui karya monumental Montesquieu, De l’Esprit des Lois (1748). Dalam karya tersebut, ia merumuskan prinsip pemisahan kekuasaan (trias politica), yakni pembagian kekuasaan negara ke dalam tiga cabang utama yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurut Montesquieu, kebebasan politik hanya dapat terjamin apabila kekuasaan negara tidak terpusat pada satu otoritas, melainkan tersebar dan saling mengawasi (checks and balances). Teori ini lahir dari refleksi terhadap absolutisme monarki Prancis serta pengamatan atas praktik konstitusional di Inggris pasca Glorious Revolution.

Indonesia, sebagai negara demokrasi konstitusional, secara normatif mengadopsi prinsip trias politica dalam UUD 1945 pasca-amandemen. Lembaga legislatif, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diberikan mandat untuk melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran. Secara konseptual, keberadaan DPR dimaksudkan sebagai instrumen representasi rakyat sekaligus penyeimbang terhadap kekuasaan eksekutif. Namun, praktik politik menunjukkan bahwa DPR kerap menghadapi krisis legitimasi. Maraknya kasus korupsi, lemahnya kinerja legislasi, serta dominasi kepentingan oligarki telah menimbulkan persepsi publik bahwa DPR gagal menjalankan mandat konstitusionalnya. Dari titik ini, muncul narasi ekstrem berupa tuntutan “pembubaran DPR” sebagai bentuk ekspresi kekecewaan kolektif masyarakat.

Jika dianalisis dalam kerangka Montesquieu, gagasan pembubaran DPR justru menimbulkan kontradiksi konseptual. DPR, betapapun lemah kinerjanya, tetap merupakan salah satu pilar utama sistem trias politica. Penghapusan lembaga legislatif akan berimplikasi pada konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif, sehingga meniadakan prinsip checks and balances. Bagi Montesquieu, keadaan demikian merupakan jalan menuju tirani, karena tidak ada lagi mekanisme kelembagaan yang mampu membatasi potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian, secara teoretis, wacana pembubaran DPR bertentangan dengan fondasi demokrasi konstitusional itu sendiri.

Krisis yang dialami DPR lebih tepat dipahami bukan sebagai kegagalan institusi secara struktural, melainkan sebagai masalah kualitas representasi politik. Struktur kepartaian yang oligarkis, praktik politik transaksional, serta lemahnya akuntabilitas publik telah membuat fungsi representasi kehilangan substansi. Dengan meminjam kerangka Montesquieu, solusi yang lebih konsisten adalah melakukan reformasi kelembagaan dan memperkuat mekanisme akuntabilitas, bukan menghapus salah satu cabang kekuasaan. Reformasi ini dapat berupa perbaikan sistem pemilu, transparansi dalam pembiayaan politik, serta peningkatan kapasitas masyarakat sipil untuk mengawasi parlemen secara berkelanjutan.

Narasi pembubaran DPR dapat dipandang sebagai gejala dari menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga representasi politik. Dalam perspektif filsafat politik, kondisi ini mencerminkan krisis kontrak sosial antara rakyat dan wakilnya. Rousseau mungkin akan mengusulkan demokrasi langsung sebagai jalan keluar dari krisis representasi, tetapi Montesquieu tetap menekankan perlunya sistem representasi yang sehat dengan prinsip pembatasan kekuasaan yang tegas. Oleh karena itu, dilema yang dihadapi Indonesia bukanlah apakah DPR harus dibubarkan atau tidak, melainkan bagaimana mengembalikan legitimasi representasi politik agar sesuai dengan amanat konstitusi dan prinsip demokrasi substantif.

Dengan demikian, refleksi atas pemikiran Montesquieu menunjukkan bahwa wacana pembubaran DPR merupakan respons emosional atas kegagalan fungsi representasi, tetapi tidak dapat dibenarkan secara teoritis maupun konstitusional. Solusi yang lebih rasional adalah melakukan reformasi kelembagaan agar DPR benar-benar mampu menjalankan fungsinya sebagai perwakilan rakyat sekaligus pengawas kekuasaan eksekutif. Prinsip trias politica mengingatkan bahwa kebebasan politik hanya dapat dipertahankan apabila terdapat distribusi kekuasaan yang seimbang, bukan melalui konsentrasi pada satu otoritas. Oleh karena itu, menghidupkan kembali cita-cita Montesquieu berarti mengembalikan peran DPR dalam kerangka demokrasi konstitusional Indonesia, bukan membubarkannya. (*)