Oleh: Rama Chaerudin

Pegiat Sosial dan Politik

_______

DEMONSTRASI besar-besaran yang berlangsung pada 25–28 Agustus 2025 adalah tanda bahwa jalanan kembali mengambil alih fungsi parlemen. Empat hari penuh, ribuan mahasiswa, buruh, petani, dan elemen masyarakat lain tumpah ruah ke ruang publik, membawa suara yang selama ini diabaikan. Mereka tidak hanya menolak kebijakan tertentu, tetapi menggugat arah bangsa secara keseluruhan. Apa yang terjadi bukan sekadar letupan, melainkan akumulasi panjang dari kekecewaan yang terus dipendam.

Rakyat telah terlalu lama diminta bersabar. Harga kebutuhan pokok meroket, lapangan kerja semakin sempit, dan angka pengangguran terus membengkak. Sementara itu, wakil rakyat di Senayan lebih sibuk memperjuangkan kepentingan oligarki ketimbang aspirasi konstituennya. Pemerintah pun terlihat lebih gemar menampilkan jargon stabilitas ketimbang menghadirkan solusi konkret. Lama-kelamaan, kesabaran itu runtuh, dan jalanan pun kembali menjadi ruang artikulasi politik yang paling efektif.

Demonstrasi Agustus 2025 menunjukkan wajah baru perlawanan rakyat. Mahasiswa memang menjadi motor penggerak, seperti dalam tradisi 1966, 1974, dan 1998, tetapi kali ini mereka tidak berdiri sendiri. Buruh turun dengan kekuatan serikatnya, petani membawa tuntutan soal keadilan agraria, sementara komunitas digital ikut menyebarkan narasi perlawanan melalui media sosial dan jaringan terenkripsi. Solidaritas lintas sektor ini menjadikan gerakan lebih sulit dipatahkan, lebih cair, dan lebih adaptif. Ini bukan lagi aksi mahasiswa semata, melainkan cermin dari krisis nasional yang dirasakan lintas kelas sosial.

Yang membedakan demonstrasi ini dengan gelombang sebelumnya adalah orientasinya. Tuntutan yang diusung tidak hanya berhenti pada isu ekonomi atau harga bahan pokok, melainkan menembus ke inti persoalan politik krisis legitimasi. Publik mempertanyakan otoritas parlemen, meragukan keberpihakan pemerintah, dan menggugat sistem politik yang kian dikuasai segelintir elite. Dengan kata lain, rakyat tidak sekadar mengeluhkan kebijakan, tetapi juga meragukan fondasi demokrasi yang seharusnya melindungi mereka.

Sejarah Indonesia mencatat bahwa jalanan selalu menjadi ruang koreksi ketika mekanisme formal lumpuh. Pada 1966, mahasiswa menggugat kekuasaan Orde Lama yang kehilangan legitimasi. Pada 1974, mahasiswa menolak praktik kolusi yang menguat di masa Orde Baru. Pada 1998, rakyat mengguncang rezim yang tak lagi bisa membendung krisis. Tahun 2025, pola itu kembali terulang. Ketika institusi politik terjebak dalam permainan oligarki, rakyat memutuskan mengambil alih panggung politik dengan tubuh dan suara mereka sendiri.

Pemerintah tentu tidak tinggal diam. Aparat diturunkan, pengamanan diperketat, bahkan retorika dialog sempat dilontarkan. Namun, respons semacam itu terlalu dangkal jika tidak diikuti keseriusan. Gas air mata bisa membubarkan massa, tapi tidak bisa membungkam gagasan. Tindakan represif justru mempertebal delegitimasi, membuat publik semakin yakin bahwa pemerintah tak lagi berpihak pada rakyatnya. Setiap langkah represif akan dicatat sebagai bukti pengkhianatan negara terhadap demokrasi.

Demonstrasi Agustus 2025 seharusnya dibaca sebagai alarm keras, bukan sekadar gangguan ketertiban. Ia adalah penanda bahwa demokrasi Indonesia masih hidup, meski terengah-engah. Bahwa rakyat masih bersedia turun ke jalan, mempertaruhkan waktu, tenaga, bahkan keselamatan, demi menuntut janji yang berulang kali dikhianati. Bila elite menganggap ini sekadar rutinitas politik lima tahunan, mereka salah besar. Gelombang ini lahir dari luka yang nyata dan mendalam, luka yang tidak bisa disembuhkan dengan pidato manis atau propaganda murahan.

Yang dipertaruhkan kini bukan hanya stabilitas politik, tetapi masa depan demokrasi itu sendiri. Jika tuntutan rakyat diabaikan, krisis bisa berubah menjadi badai yang lebih besar. Legitimasi negara dapat runtuh lebih cepat daripada yang dibayangkan, dan sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa ketika rakyat bergerak, rezim sebesar apa pun bisa tumbang. Namun, jika pemerintah berani membuka ruang dialog sejati, berani melakukan koreksi, dan berani berpihak pada rakyat di atas kepentingan oligarki, maka demonstrasi ini bisa menjadi momentum lahirnya demokrasi yang lebih matang.

Agustus 2025 adalah ujian moral bagi elite politik Indonesia. Apakah mereka masih memiliki keberanian untuk mendengar rakyat, atau memilih menutup telinga dan menunggu sejarah menuliskan akhir yang pahit? Jalanan telah berbicara. Suara rakyat telah menggema. Kini, bola ada di tangan penguasa. Dan satu hal pasti: demokrasi tidak akan mati, ia hanya menagih janji. Jika janji itu terus dikhianati, rakyat akan selalu menemukan jalan untuk menagihnya kembali, bahkan dengan harga yang jauh lebih mahal. (*)