Oleh: Rama Chaerudin
Pegiat Sosial dan Politik
_______
DEMONSTRASI nasional mahasiswa pada 25–28 Agustus 2025 menjadi salah satu peristiwa politik jalanan terbesar setelah pandemi dan krisis multidimensi yang melanda negeri. Selama empat hari, ribuan mahasiswa di berbagai kota besar turun ke jalan, membawa suara keresahan kolektif terkait melemahnya demokrasi, turunnya kualitas representasi politik, hingga beban ekonomi rakyat yang semakin menyesakkan. Aksi tersebut bukan sekadar protes biasa, melainkan refleksi atas krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara, khususnya pemerintah dan parlemen, yang dinilai gagal menjadi saluran aspirasi masyarakat.
Pasca aksi besar itu, gelombang protes tidak langsung surut. Justru terlihat adanya eskalasi baru, muncul aksi solidaritas dari kalangan buruh, komunitas sipil, aktivis lingkungan, dan kelompok masyarakat adat yang merasa isu yang diangkat mahasiswa juga merepresentasikan penderitaan mereka. Keresahan atas kebijakan ekonomi yang semakin pro-korporasi, lemahnya penegakan hukum, dan ruang demokrasi yang kian menyempit menjadi alasan mengapa gerakan ini dengan cepat mendapat resonansi lintas kelompok.
Fenomena ini memperlihatkan transformasi dari gerakan mahasiswa yang semula bersifat sektoral menuju gerakan sosial yang lebih luas dan berpotensi membentuk konsolidasi baru. Dari sisi politik, demonstrasi Agustus 2025 menjadi cermin betapa retaknya legitimasi institusi formal. Ketika mahasiswa dengan lantang menyoroti dominasi oligarki dalam kebijakan nasional, ketika publik mempertanyakan independensi lembaga legislatif, dan ketika aparat dipandang lebih mengedepankan pendekatan represif ketimbang dialogis, semua itu menandakan adanya krisis representasi. Demokrasi yang semestinya menjadi ruang partisipasi rakyat kini dianggap semakin tertutup, sehingga jalanan kembali dipilih sebagai ruang ekspresi politik yang paling efektif.
Namun, gerakan pasca demonstrasi Agustus 2025 menghadapi dilema klasik yang selalu membayangi setiap protes besar. Pertama, masalah kesinambungan agenda. Sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia mencatat, banyak gerakan besar kehilangan arah ketika tuntutan tidak diformulasikan secara jelas dan terukur. Tanpa strategi jangka panjang, gerakan cenderung meredup setelah energi awal habis. Kedua, persoalan aliansi. Mahasiswa memang berhasil menggaet simpati dari kelompok lain, tetapi tantangan berikutnya adalah menjaga independensi moral agar tidak ditarik ke dalam kepentingan politik praktis jangka pendek. Kekuatan moral mahasiswa selama ini terletak pada posisinya yang relatif netral, sehingga jika kehilangan independensi, gerakan bisa cepat kehilangan legitimasi di mata publik.
Selain itu, ada pula tantangan struktural yang tidak bisa diabaikan. Dinamika digital dan media sosial memainkan peran ganda: di satu sisi memperkuat resonansi gerakan karena pesan protes cepat tersebar, tetapi di sisi lain menciptakan fragmentasi narasi dan mudah dimanfaatkan untuk disinformasi. Pemerintah dan pihak berwenang pun tampak mulai memainkan narasi tandingan, menggambarkan demonstrasi sebagai ancaman stabilitas, sehingga membentuk opini publik yang tidak selalu berpihak pada mahasiswa.
Meski begitu, demonstrasi 25–28 Agustus 2025 tetap menegaskan satu hal penting yakni suara jalanan masih relevan dalam demokrasi Indonesia. Aksi itu mengingatkan publik bahwa dalam situasi ketika kanal formal politik tertutup, gerakan kolektif tetap bisa menjadi koreksi terhadap jalannya kekuasaan. Pertanyaannya kemudian, apakah energi protes ini bisa diubah menjadi energi konstruktif? Apakah gerakan mahasiswa mampu merumuskan agenda perubahan yang lebih konkret, membangun komunikasi dengan kekuatan sipil lain, dan pada akhirnya mendorong lahirnya arah baru demokrasi yang lebih sehat?
Jika momentum ini dapat dijaga dan dikelola dengan baik, demonstrasi Agustus 2025 bisa tercatat sebagai titik balik penting dalam sejarah gerakan sipil Indonesia. Namun jika gagal, ia akan hanya menjadi catatan protes yang bergaung sesaat, sebelum akhirnya dilupakan seperti banyak gelombang demonstrasi sebelumnya. Sejarah memberi pelajaran bahwa keberhasilan gerakan tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar massa yang turun ke jalan, tetapi juga oleh seberapa jauh ia mampu mentransformasikan energi kolektif menjadi arah politik baru yang lebih berpihak pada rakyat. (*)
Tinggalkan Balasan