Oleh: Muhammad Gibran
Alumni Sosiologi Fisip Unsrat
_________
DEMONSTRASI di depan DPRD Kota Ternate pada 1 September 2025 mengindikasikan rapuhnya demokrasi lokal. Dari pagi hingga sore, DPRD seolah memperlihatkan standar ganda penerimaan aspirasi. Bagaimana tidak, Ojek Online disambut, sementara mahasiswa dihadang dengan tameng dan gas air mata. Ironinya, DPRD yang mestinya berdiri di depan rakyat justru memilih bersembunyi. Alhasil, panggung aspirasi menjadi milik eksekutif.
Rombongan massa pertama kali yang datang di DPRD Kota Ternate adalah massa Ojek Online (Ojol). Mereka datang dengan tujuan aksi damai dan bersolidaritas atas kematian Affan Kurniawan, ojol yang menjadi korban brutalitas aparat di Jakarta. Mereka diterima dengan baik, anggota DPRD keluar untuk mendengarkan aspirasi. Suasananya relatif tenang, rakyat menyampaikan tujuannya, dewan berperan sebagai pendengar dan penampung. Dari titik ini, DPRD terlihat hadir sebagai representasi rakyat.
Siang harinya, giliran massa Aliansi Mahasiswa Maluku Utara Menggugat. Mereka terdiri dari beberapa organisasi cipayung dan organisasi kerakyatan. Datang dengan spanduk bertuliskan “Bubarkan DPR dan Hancurkan Kapitalisme”. Aliansi ini mengambil tempat paling depan, ingin merangsek masuk ke gedung DPRD. Namun dihadapkan dengan barikade aparat kepolisian.
Tak lama, massa BEM Unkhair juga sampai di titik aksi, masing-masing orator dari Aliansi Bebas maupun BEM Unkhair berorasi silih berganti. Hingga sore hari, massa aksi tak kunjung diperkenankan masuk ke gedung DPRD. Ricuh pun terjadi. Di barisan depan, tameng-tameng polisi berusaha didobrak. Dari belakang, hujan batu melayang ke arah barikade polisi. Mobil water canon dikerahkan guna memecah konsentrasi massa. Situasi ini memaksa massa lari berhamburan. Ricuh pertama mengakibatkan korban berjatuhan di antara pihak massa aksi dan aparat kepolisian.
Di salah satu postingan publik, terekam Kapolres Ternate berhadapan dengan pimpinan massa aksi dari BEM Unkhair. Dialog terjadi setelah ricuh pertama. Dari percakapan tersebut, menduduki kantor DPRD adalah kemauan dari BEM Unkhair. Lebih jauh lagi, mereka menyatakan tidak ingin bertemu siapa pun dengan alasan sudah tidak percaya dengan wakil rakyat.
Menurut hemat saya, kemauan dari BEM Unkhair kurang tepat, sehingga membuat mereka kehilangan ruang legitimasi. Kapolres tentu khawatir atas pendudukan kantor DPRD yang bakal dilakukan oleh massa aksi. Sebab, di beberapa kota besar, telah terjadi pembakaran gedung DPRD dan fasilitas umum lainnya. Tujuan massa aksi dari BEM guna menduduki gedung DPRD membuat aparat lebih mudah menjustifikasi bahwa agenda mereka cukup berisiko. Atas alasan keamanan inilah, barikade diperketat. Massa aksi tidak dibiarkan melangkah lebih dekat dengan kantor DPRD.
Setelah Ba’da Ashar, massa aksi kembali berkumpul dan berorasi. Sekitar satu jam, skema bertahan dari polisi belum mampu ditembus oleh massa aksi. Akhirnya, ricuh kembali pecah. Massa dipaksa mundur lebih jauh, ada yang ke arah utara, lalu sebagian menyebar ke timur. Tembakan gas air mata kerap menyasar lorong dan atap rumah warga. Akibatnya, seorang lansia sesak napas karena dampak dari gas air mata yang jatuh tepat di atap rumahnya (detik.com).
Setelah massa aksi dipukul mundur, Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara serta Walikota Ternate bersama pejabat lainnya (termasuk beberapa anggota DPRD) keluar menemui massa aksi dari HMI. Massa dari HMI berlindung di zona aman ketika kericuhan kedua terjadi. Sehingga mereka bisa gelar hearing dengan para pejabat.
Dari rangkaian itu, setidaknya ada tiga hal saya catat sebagai keresahan pribadi. Pertama, anggota DPRD Ternate sulit ditemui mahasiswa. Mereka hanya terlihat ketika menerima ojol, tetapi absen ketika berhadapan dengan massa dari mahasiswa. Ketika Gubernur datang, barulah mereka nampak batang hidungnya. Acuhnya DPRD menandakan bahwa mereka lemah dan lambat sebagai wakil rakyat yang peduli pada aspirasi masyarakat.
Kedua, massa aksi terjebak dalam fragmentasi kelompok yang rumit. Padahal, tuntutan yang mereka bawa tidak jauh berbeda. Belum lagi ego kelompok lebih menonjol dibanding kepentingan bersama. Akibatnya, energi besar yang terkumpul di jalan luruh menjadi fragmen-fragmen kecil yang mudah dipatahkan. Aparat pun lebih mudah memilah siapa yang layak diajak bicara dan siapa yang cukup dihadapi dengan gas air mata.
Ketiga, praktik pemilahan aspirasi ini tidak sehat. Demokrasi seharusnya memberi ruang setara bagi semua kelompok warga, bukan hanya bagi mereka yang dianggap “dekat” dengan kekuasaan. Ketika pemerintah mulai memilih siapa yang berhak bicara dan siapa yang hanya pantas dihadang maka demokrasi lokal seperti ajang seleksi, bukan arena partisipasi.
Standar ganda dalam menerima aspirasi rakyat, ketidakhadiran DPRD di tengah massa aksi, serta keberanian yang justru ditampilkan eksekutif, menegaskan buramnya wajah demokrasi kita hari ini. Demokrasi seharusnya menjadi ruang partisipasi setara, namun yang terlihat hanyalah seleksi siapa yang layak didengar dan siapa yang pantas menghadap tameng aparat.
Dan apabila DPRD kerap bersembunyi di balik tembok saat didatangi mahasiswa, maka publik semakin ragu, lantas bertanya: Adakah wakil mereka dalam gedung itu, atau yang tersisa hanya kursi empuk kosong tanpa suara, tanpa keberanian? (*)