Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

“…sampah dan sanitasi mengingatkan kita bahwa masalah kebersihan tidak hanya persoalan teknis, tetapi juga fenomena sosial yang mencerminkan struktur kekuasaan, ketimpangan, dan budaya…”

29-30 Agustus 2025, Kota Ternate dihadapkan pada kegiatan strategis, City Sanitation Summit (CSS). Kegiatan ini menjadi ukuran bagi Pemerintah Kota Ternate untuk mengelola event demikian penting. Salah satu isu penting yang didorong dalam CSS XXIII adalah soal sampah dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Isu sampah bukan hanya persoalan teknis kebersihan, melainkan juga persoalan sosial yang kompleks. Dalam perspektif sosiologi, sampah merupakan representasi dari gaya hidup, struktur sosial, relasi kuasa, serta paradigma pembangunan. Anthony Giddens menegaskan, modernitas membawa konsekuensi ambivalen: di satu sisi menciptakan kemajuan, di sisi lain menghasilkan risiko baru, termasuk persoalan limbah dan polusi (Giddens, 1991: 35). Dengan demikian, kajian tentang sosiologi sampah penting untuk memahami bagaimana sampah diproduksi, dikelola, dan dimaknai dalam kehidupan masyarakat.

Dalam konteks inilah, tanggal 26 Agustus lalu, bertempat di aula Kantor Walikota Ternate, dilakukan Lomba Duta Sanitasi dengan pelibatan siswa SMP Se-Kota Ternate, sebagai bagian memperkenalkan konsep dan praktik tentang sanitasi dan juga sampah. Suatu kegiatan yang patut diapresiasi sebagai bagian memberi warna CSS XXIII.

Dalam masyarakat konsumtif, sampah merupakan jejak material dari pola hidup sehari-hari. Konsumsi bukan sekadar pemenuhan kebutuhan, melainkan juga penciptaan makna sosial (Baudrillard, 1998: 25). Produk-produk yang dibeli, digunakan, dan kemudian dibuang, tidak hanya merepresentasikan fungsi praktis, tetapi juga simbol status dan identitas. Dari perspektif ini, sampah menjadi “sisa” dari konstruksi sosial atas kebutuhan yang terus diperluas. Misalnya, meningkatnya penggunaan plastik sekali pakai dalam industri makanan cepat saji bukan hanya mencerminkan perubahan pola makan, tetapi juga relasi kapitalisme global yang mendorong efisiensi, kecepatan, dan profit.

Sampah dan sanitasi merupakan dua persoalan mendasar dalam kehidupan masyarakat modern. Keduanya tidak hanya menyangkut aspek teknis pengelolaan limbah dan penyediaan fasilitas kebersihan, tetapi juga erat berkaitan dengan dimensi sosial, budaya, dan politik. Dalam perspektif sosiologi, sampah dan sanitasi dapat dipahami sebagai fenomena sosial yang melibatkan relasi antara masyarakat, negara, dan lingkungan. Persoalan ini mencerminkan struktur sosial, kesenjangan kelas, serta bentuk-bentuk ketidakadilan yang dialami masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan dan daerah miskin.

Disinilah, sosiologi memandang sampah bukan sekadar residu aktivitas manusia, melainkan masalah sosial yang lahir dari interaksi kompleks antara perilaku, struktur sosial, dan kebijakan publik. Dengan kata lain, sampah juga memproduksi masalah sosial. Masalah sosial muncul tatkala norma kolektif tidak mampu mengendalikan perilaku individu, sehingga menimbulkan disfungsi sosial (Durkheim, 1895/1982: 67). Dalam konteks ini, kebiasaan membuang sampah sembarangan dapat dilihat sebagai bentuk lemahnya kesadaran kolektif tentang kebersihan lingkungan. Lingkungan yang kotor, akan menyumbang pada sanitasi yang buruk. Sanitasi merupakan aspek penting dalam kesehatan publik. Menurut WHO (2021), akses sanitasi yang layak berhubungan langsung dengan menurunnya angka penyakit berbasis lingkungan seperti diare, kolera, dan tifus. Namun, di Indonesia masih terdapat kesenjangan besar. Data Bappenas (2022: 32) menyebutkan, hanya sekitar 80% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses sanitasi layak, dengan disparitas yang tajam antara kota (91%) dan desa (71%). Bagaimana dengan Kota Ternate?

Dalam perspektif sosiologi pembangunan, masalah sanitasi menunjukkan keterkaitan antara infrastruktur, budaya, dan kebijakan. Sanitasi tidak hanya soal penyediaan jamban, tetapi juga soal norma sosial, stigma, dan relasi gender. Lagi-lagi, soal sanitasi ini, sangat terkait dengan perempuan yang kerap menjadi pihak paling terdampak dari buruknya sanitasi, karena merekalah yang bertanggung jawab atas urusan domestik dan kesehatan anak. Karena itu, persoalan sanitasi dan sampah harus menjadi perhatian dan habit sejak dari keluarga.

Hal lain yang paling menentukan adalah berkaitan dengan persepsi. Persepsi masyarakat tentang kotor dan bersih sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya. Pada beberapa daerah, misalnya, praktik gotong royong membersihkan kampung (kerja bakti) menjadi tradisi sosial yang menjaga kebersihan lingkungan sekaligus memperkuat kohesi sosial. Namun, urbanisasi dan individualisasi cenderung melemahkan praktik kolektif tersebut.

Karena itu, banyak ahli mendorong pendekatan partisipatif dalam program pengelolaan sampah dan sanitasi, yang menekankan perubahan perilaku berbasis komunitas yang terbukti efektif pada beberapa daerah, meskipun menghadapi tantangan dalam hal konsistensi dan kelembagaan

Sampah dan sanitasi mengingatkan kita bahwa masalah kebersihan tidak hanya persoalan teknis, tetapi juga fenomena sosial yang mencerminkan struktur kekuasaan, ketimpangan, dan budaya. Sampah bukan sekadar residu material, melainkan representasi dari logika sosial-ekonomi yang eksploitatif. Sanitasi bukan hanya infrastruktur, tetapi juga hak sosial yang seharusnya merata bagi semua warga. Dengan memandang persoalan ini secara sosiologis, kita dapat merumuskan kebijakan yang lebih adil, partisipatif, dan berkelanjutan. Sukses untuk CSS XXIII di Kota Ternate. []