Kolaborasi Lokal: Dari Musik, Brand, sampai Komunitas

Sore itu Ternate agak muram. Hujan kecil turun, tapi hal itu tidak menjadi pemadam semangat kolektif.

Host dari Studio Nia Universe memantik obrolan seru, dari cerita awal berdiri, jatuh bangun, sampai rahasia di balik kolaborasi lintas musik dan brand dari Elcabron, Collaboratte dan Inkubator.

Pesannya jelas: perbedaan dulu, baru persatuan. Kolaborasi bukan cuma jualan produk, tapi bikin ruang, kasih panggung, dan ciptakan ekosistem kreatif yang hidup.: gimana caranya brand lokal, musik, dan komunitas bisa ketemu di titik yang sama? Talkshow ini judulnya agak serius,“Menelisik Kolaborasi Local Brand ke Dalam Skena Musik”. Tapi isinya jauh lebih liar ketimbang nama panjangnya.

Elcabron: Dari Telepon Iseng Jadi Brand

Ari, orang di balik Elcabron, nggak sok-sokan ngasih teori bisnis. Dia jujur aja:

“Awalnya cuma teleponan iseng sama teman. Nggak pernah kepikiran bikin brand. Tapi ternyata dari iseng itu lahir Elcabron, dan bisa bertahan sampai sekarang.”

Ceritanya sederhana, tapi justru di situlah poinnya. Banyak brand lahir bukan dari presentasi di co-working space, tapi dari obrolan asal yang kemudian jadi konsistensi. Elcabron jadi bukti kalau kadang “iseng” lebih jujur daripada strategi.

Collaborate: Kolaborasi Bukan Cuma Buat Branding

Andi dari Collaboratte. Nada suaranya lebih ke “gua muak sama definisi kolaborasi yang dipakai brand gede buat jualan.” Dia bilang: “Kolaborasi itu ruang belajar. Di situ orang bisa tahu gimana produksi, gimana distribusi, sampai gimana ngebangun komunitas.”

Jadi bukan sekadar nyantumin logo di poster atau bikin kaos bareng. Kolaborasi, dalam kacamata ini, adalah kelas gratis. Tempat di mana pelaku baru bisa nyicipin proses nyata tanpa harus bayar kuliah mahal.

Inkubator: Bikin Ruang, Bukan Jualan Barang

Iksan dari Inkubator bawa vibes yang agak beda. Dia nggak jualan apapun, dan justru itu yang bikin Inkubator relevan.

“Inkubator itu bukan toko. Kita bukan jual barang. Kita bikin ruang. Tempat anak-anak muda bisa berkembang bareng.”

Kedengarannya sederhana, tapi coba cari di Ternate: berapa banyak ruang netral buat orang kreatif yang nggak berbasis dagangan? Hampir nggak ada. Inkubator jadi semacam “markas bawah tanah” yang fungsinya bukan profit, tapi ekosistem.

Konsistensi, Tantangan, dan Kenyataan Pahit

Obrolan makin dalam. Dari menjaga konsistensi sampai gimana caranya bertahan di tengah publik yang masih nganggep brand lokal sekadar “anak-anak main mainin market”. Padahal bikin brand itu juga serius: ada desain, ada produksi, ada distribusi, dan ada ideologi yang ditaruh di dalamnya.

Di titik ini, kolaborasi bukan hanya pilihan manis, tapi jalan satu-satunya. Kalau jalan sendirian, cepat atau lambat pasti tumbang. Tapi kalau bareng, beban bisa lebih ringan, suara bisa lebih keras, dan orang-orang di luar skena bisa lebih nyadar kalau gerakan ini nyata.

“Prestasi hari ini hanyalah satu tanjung. Di depan masih banyak tanjung lain yang menanti.”

jalan masih panjang. Skena lokal di Ternate baru mulai, belum selesai.

Skena Nggak Pernah Berdiri Sendiri

Ruang ini nggak mungkin jadi kalau nggak ada dukungan kolektif lain: Kong,

Timur Bersuara Locatun, Music Corner, Mark East, Yellow Production, Corner

Studio, Maskeam Crew, Ankam, Studio Nia, TCS, dan Siahsat. Semua nama itu

nunjukkin satu hal: Skena ini nggak pernah berdiri sendiri.

Yang bikin seru adalah: semuanya organik. Nggak ada yang datang buat

kepentingan korporat atau nyari spotlight semata. Semua hadir karena

percaya satu hal: musik, brand, dan komunitas bisa tumbuh bareng kalau lo

berani bikin ruang kolaboratif.