Oleh: Arafik A Rahman
Penulis buku
________
PEMBANGUNAN selalu menyimpan cerita tentang bagaimana manusia menata ruang hidupnya. Dari lorong-lorong kota besar hingga jalan setapak di pedalaman, pembangunan hadir sebagai tanda bahwa manusia tidak pernah berhenti mencari cara untuk mempertemukan jarak. Di Maluku Utara, upaya itu kini mengambil bentuk baru: membuka jalur segitiga ekonomi yang menghubungkan Sofifi, ke Buli di Halmahera Timur, tembus Desa Kobe di Halmahera Tengah.
Jalan baru yang direncanakan ini bukan sekadar proyek fisik. Ia adalah janji yang lahir dari keinginan memperpendek jarak, memecah isolasi dan menjahit kembali ruang-ruang ekonomi yang selama ini tercerai oleh hutan lebat, bukit dan jarak laut. Dengan adanya jalur baru, bukan hanya pasar yang akan bertemu, melainkan juga harapan yang saling menyapa.
Program ini sudah tercatat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Maluku Utara 2025–2029. Artinya, ia bukan sekadar wacana, melainkan langkah konkret pemerintah daerah untuk membawa Maluku Utara keluar dari paradigma pembangunan parsial menuju pembangunan terintegrasi.
Namun, pembangunan tidak bisa hanya dilihat dari kacamata ekonomi semata. Ia juga harus peka terhadap manusia dan kebudayaan yang hidup di sepanjang jalur yang hendak dibangun. Di pedalaman Halmahera, ada suku Tugutil: sebagian hidup nomaden, sebagian sudah menetap. Mereka adalah bagian dari wajah Maluku Utara yang selama ini berjalan dengan ritme sendiri, jauh dari hiruk-pikuk kota dan industri.
Kehadiran jalan baru tidak boleh dimaknai sebagai ancaman bagi kehidupan Tugutil, melainkan sebagai jembatan yang bisa mempermudah mobilisasi hasil pertanian mereka. Dengan akses yang lebih baik, sagu, umbi-umbian, hingga hasil kebun lain yang mereka tanam bisa sampai ke pasar lebih cepat, tanpa merampas ritme kehidupan mereka yang sederhana.
Penting ditegaskan: jalan ini bukan tambang. Jalan ini bukan mesin penghancur lingkungan. Jalan ini adalah urat nadi yang bisa membantu masyarakat, tanpa harus merusak hutan dan tanah yang selama ini menjadi ruang hidup manusia dan satwa. Di titik inilah, kita perlu membedakan pembangunan yang menghidupkan dengan pembangunan yang melukai.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa kota-kota besar bisa lahir karena keterhubungan. Jalan, jembatan dan rel kereta bukan hanya benda mati, melainkan simbol peradaban. Di Inggris, misalnya, keterhubungan antara Liverpool dan Manchester di abad ke-19 menjadi penentu tumbuhnya revolusi industri. Jalur rel dan jalan raya mempertemukan pelabuhan dengan pusat industri, sehingga roda ekonomi berputar lebih cepat.
Peter Hall dalam bukunya Cities of Tomorrow: An Intellectual History of Urban Planning and Design Since 1880 (1988) menyebut bahwa “konektivitas adalah nadi kehidupan kota.” Tanpa keterhubungan, kota hanya menjadi pulau terisolasi yang tidak memberi daya hidup bagi warganya. Hal yang sama berlaku untuk wilayah: tanpa akses, sebuah desa akan terjebak dalam lingkaran keterisolasian.
Di sisi lain, Anthony Giddens dalam The Consequences of Modernity (1990) menegaskan bahwa modernitas membawa konsekuensi besar terhadap ruang dan waktu. Bagi Giddens, manusia modern dituntut untuk membangun sistem yang memperluas interaksi sosial-ekonomi lintas batas. Kota seperti London dan Manchester menjadi bukti nyata: mereka tumbuh karena mampu menghadirkan akses lintas wilayah, yang pada akhirnya mempertemukan manusia dengan kesempatan.
Apa yang disampaikan Hall dan Giddens memberi kita cermin untuk melihat Maluku Utara. Jalan Sofifi–Ekor–Buli–Kobe adalah ikhtiar untuk menghadirkan “ruang keterhubungan” itu. Ia bukan hanya mempersingkat jarak secara fisik, tetapi juga memperluas ruang sosial, ekonomi dan bahkan kultural bagi masyarakat Halmahera.
Jalan itu akan menjadi jembatan bagi para petani di Buli untuk menjual kopra atau hasil cengkeh mereka lebih cepat. Ia akan membantu para pedagang kecil di Kobe untuk membawa barang dagangan ke Sofifi tanpa harus menempuh jalur berliku yang melelahkan. Ia juga akan mempermudah mobilisasi masyarakat Tugutil yang ingin menukar hasil hutan mereka dengan kebutuhan sehari-hari.
Karena itu, pembangunan jalan memiliki makna sosial yang dalam. Ia bukan hanya infrastruktur, melainkan perekat peradaban. Ia adalah ruang temu antara masyarakat modern perkotaan dan masyarakat pedalaman yang berjalan dengan ritme tradisional.
Namun, seperti yang diingatkan banyak perencana kota, pembangunan harus tetap memperhatikan keberlanjutan. Jalan ini harus dibangun dengan prinsip ramah lingkungan, tidak membuka peluang bagi eksploitasi tambang liar, dan tidak merusak ekosistem hutan yang menjadi rumah bagi flora, fauna serta orang Tugutil.
Jika hal itu dijaga, maka jalan baru ini akan menjadi simbol “pembangunan yang adil”. Adil bagi kota, karena menghadirkan akses ekonomi yang lebih cepat. Adil bagi pedalaman, karena membantu mereka menggerakkan hasil tani. Adil bagi alam, karena tidak mengorbankan hutan.
Dalam pandangan antropologi pembangunan, jalan semacam ini juga menjadi ruang perjumpaan budaya. Orang Tugutil yang membawa hasil tani akan bertemu dengan pedagang dari Sofifi, anak-anak muda dari Buli akan bertemu dengan pelajar dari Kobe. Dari perjumpaan itu, lahir dialog, tukar pengalaman dan bahkan peluang kerja sama.
Maluku Utara memiliki sejarah panjang sebagai pusat perdagangan rempah. Di masa lalu, jalur laut menjadi tulang punggung peradaban. Kini, jalan darat sedang dirancang untuk memperkuat nadi ekonomi modern. Dengan kata lain, kita sedang menenun ulang sejarah perdagangan Maluku Utara ke dalam kerangka pembangunan abad ke-21.
Di titik ini, kita bisa memahami bahwa pembangunan segitiga ekonomi Sofifi–Ekor–Buli–Kobe bukan hanya proyek teknokratis. Ia adalah bagian dari perjalanan panjang Maluku Utara menuju kemandirian. Ia adalah cara agar Malut tidak hanya menjadi penghasil bahan mentah, tetapi juga simpul perdagangan, industri dan jasa.
Pada akhirnya, pembangunan ini adalah upaya menenun sejarah dengan masa depan. Dari jalan yang terbentang di tanah Halmahera, kita sedang belajar dari London, Liverpool, dan Manchester, bahwa kota bukanlah sekadar bangunan fisik, melainkan ruang hidup yang harus dikelola dengan visi, pengetahuan, dan kasih sayang pada manusia yang menghuni di dalamnya.
Terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Maluku Utara di bawah kepemimpinan Gubernur Serly Tjoanda yang telah menyalakan obor harapan baru bagi generasi kini dan yang akan datang.
“Jalan bukan hanya tentang aspal dan batu, melainkan penghubung harapan dan cita-cita yang terisolasi”. (*)
Tinggalkan Balasan