Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

KEHADIRAN Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) sebagai wadah intelektual Muslim Indonesia tidak pernah terlepas dari dinamika politik, sosial, dan kebangsaan. Suara KAHMI acapkali menjadi resonansi moral dan intelektual yang berangkat dari ruang-ruang diskusi para cendekiawan Muslim. Namun, ketika suara itu datang dari Indonesia Timur, dari Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, hingga Papua Selatan, ia menghadirkan wajah lain dari Indonesia: suara yang lahir dari pinggiran, tetapi memiliki gema yang menjangkau pusat kekuasaan.

Inilah yang tergambar dalam Konsolidasi KAHMI untuk Indonesia, yang digelar di Ternate, 23-24 Agustus 2025.

Sejak didirikan tahun 1966, KAHMI telah menjadi jaringan alumni HMI yang tidak hanya berperan dalam politik praktis, tetapi juga dalam dunia akademik, birokrasi, hingga masyarakat sipil. Menurut Bahtiar Effendy, KAHMI merepresentasikan sebuah tradisi intelektual Muslim modernis yang berpadu dengan komitmen kebangsaan (Effendy, 1998: 211).
Dengan posisi ini, suara KAHMI kerap dipandang sebagai penyeimbang dalam percaturan politik nasional dan daerah.

Suara KAHMI dari Indonesia Timur, lebih khusus Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan, penting karena membawa perspektif yang berbeda. Kawasan kepulauan seperti Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan, dengan sejarah panjang perdagangan rempah dan konflik sosial, memberi pelajaran berharga mengenai keberagaman, rekonsiliasi, dan pembangunan berkelanjutan (Colombijn, 2010: 87).
Di sini, KAHMI tidak sekadar menjadi forum alumni, melainkan ruang konsolidasi pemikiran untuk mengartikulasikan persoalan marginalisasi wilayah kepulauan.

Pada forum nasional Konsolidasi KAHMI untuk Indonesia, suara yang diangkat bukan hanya soal politik nasional, tetapi juga tentang keadilan sumber daya, eksploitasi tambang, dan dampaknya bagi masyarakat lokal. Hal ini sejalan dengan gagasan, yang menekankan bahwa keterlibatan organisasi alumni dalam politik seharusnya tidak hanya berorientasi kekuasaan, tetapi juga advokasi kepentingan rakyat (Haris, 2014: 56).

Suara KAHMI dari Indonesia Timur menegaskan kembali fungsi KAHMI sebagai moral force dalam demokrasi. Di tengah oligarki politik dan dominasi elite pusat, suara KAHMI dari wilayah kepulauan Indonesia Timur, menjadi kritik terhadap ketimpangan pembangunan. Demokrasi Indonesia masih kerap dipengaruhi kepentingan elite pusat, sehingga suara daerah, terutama dari kawasan Timur, kerap terpinggirkan (Hadiz dan Robison, 2005: 142)

Dengan latar itu, KAHMI hadir untuk memperjuangkan narasi lain: bahwa pembangunan harus inklusif, memperhatikan masyarakat, perempuan, dan kelompok marjinal di kawasan tambang dan pesisir. Inilah yang membuat suara KAHMI dari pertemuan regional, Indonesia Timur, memiliki bobot moral yang kuat.

“Dari Indonesia Timur, KAHMI bersuara” bukan sekadar ungkapan retoris. Ia merupakan penegasan bahwa ruang demokrasi Indonesia tidak boleh hanya didominasi suara dari Jawa atau pusat kekuasaan di Jakarta.
Suara KAHMI dari Indonesia Timur merupakan refleksi keindonesiaan yang utuh, sebuah harmoni dari pusat dan pinggiran, dari daratan dan kepulauan.

Dengan demikian, KAHMI bukan hanya rumah alumni, melainkan juga jembatan suara keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kiranya, konsolidasi KAHMI untuk Indonesia memberikan manfaat bagi daerah dan Indonesia Timur dalam panggung nasional. (*)