Oleh: Muhammad Gibran
Alumni Sosiologi Fisip Unsrat
_______
SEWAKTU berkendara dengan motor di jalanan Ternate bagian tengah, saya terjebak dalam situasi penuh klakson dan “baku toreba“. Pemicunya: kelompok pesepeda yang berjalan pelan dan masuk pada jalur kendaraan. Dan di sisi jalan lainnya terdapat para pelari, dengan earphone di telinga, berlari kecil tanpa sadar atas keributan yang terjadi di belakang.
Ya, di jalanan utama kota Ternate, pelari hingga pesepeda kerap harus berbagi jalan dengan padatnya lalu lintas. Terutama sore hari, saat orang pulang kerja, ruang untuk berolahraga jadi makin sempit. Tanpa jalur khusus, mereka terpaksa mengambil risiko di jalan yang penuh kendaraan.
Di banyak kota, lari dan bersepeda telah melampaui batasnya sebagai sekadar olahraga. Ia menjelma menjadi gaya hidup. Ada fesyen bermerek yang dikenakan, momen yang diabadikan kamera, dan jarak yang terekam rapi di aplikasi Strava. Ternate pun mulai tersapu arus ini.
Di jalanan kota, seringkali terlihat warga yang memadukan kesehatan, ekspresi diri, dan kebersamaan dalam satu gerak. Gaya hidup yang seakan menciptakan warna baru di wajah kota.
Media sosial dan fotografi olahraga turut andil meramaikan tren positif ini. Hasil jepretan momen berlari di tepi jalan atau bersepeda menyusuri rute tertentu bukan sekadar bukti aktivitas fisik, tetapi juga ajakan tidak langsung bagi orang lain untuk ikut bergerak. Dari sini, komunitas makin tumbuh, jejaring terbentuk, dan seruan untuk hidup sehat menyebar lebih cepat.
Dalam perspektif sosiologi gaya hidup, aktivitas lari dan bersepeda tidak hanya bernilai kesehatan, tetapi juga menjadi medium pencitraan diri dan simbol status. Pierre Bourdieu dalam Distinction (1979/1984) menegaskan bahwa tubuh sehat bisa dibaca sebagai bentuk cultural capital yang dipertontonkan di ruang publik. Pandangan ini menemukan relevansinya ketika kita mengamati ritme keseharian di jalanan kota Ternate.
Pada hari kerja, suasana pagi biasanya tenang. Hanya sedikit pelari dan pesepeda yang terlihat. Lain halnya pada saat car free day dan akhir pekan, jalanan kota ramai oleh langkah kaki dan putaran pedal. Di waktu itu, udara terasa lebih segar, senyum lebih mudah “terlempar” dari warga ketika fotografer mengarahkan kamera ke arah mereka.
Namun sore hari menghadirkan dinamika yang berbeda. Arus pulang kerja memadati jalan, membuat pelari dan pesepeda berebut ruang dengan kemacetan dan deru kendaraan bermotor. Padahal kalau dicermati, Ternate memiliki cukup ruang publik yang relatif aman untuk aktivitas lari dan bersepeda. Meskipun ruang itu warga yang menghidupkannya, bukan ruang yang dikhususkan untuk berolahraga.
Sayangnya, tak sedikit warga memilih tempat berisiko seperti jalan utama yang ramai pengendara. Seakan melawan logika demi sensasi atau hanya soal pemandangan.
Situasi ini cukup untuk menggambarkan bahwa Ternate belum sepenuhnya ramah bagi warganya yang memilih berolahraga di ruang publik. Untungnya, saya sering jumpai pengendara yang cukup “mafhum” meski ada juga mereka yang sedikit cekcok dengan pegiat olahraga yang masuk ke jalur mereka. Dari sini, bayang-bayang gesekan antara pengendara dan pegiat olahraga seolah tinggal menunggu waktu.
Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, tren positif ini seakan berjalan di ruang yang rapuh. Jalur khusus pesepeda, trotoar yang layak untuk pelari, dan penataan ruang terbuka publik masih terbatas. Padahal, investasi pada infrastruktur olahraga tidak hanya memberi manfaat kesehatan, tapi juga mempertegas citra kota dan menghidupkan potensi ekonomi kreatif.
Kota lain sudah bergerak. Bandung membangun jalur sepeda yang terhubung hingga kawasan wisata, Surabaya memperlebar trotoar di titik strategis, sementara Singapura sukses menciptakan jaringan jalur sepeda dan lari antar-wilayah. Di Jakarta, meski menuai kritik, jalur sepeda permanen sejak 2020 bisa dibaca sebagai praktik Right to the City.
Konsep Right to the City pertama kali diperkenalkan Henri Lefebvre pada 1968. Menurutnya, hak atas kota bukan sekadar akses fisik terhadap ruang, melainkan hak kolektif warga untuk turut menentukan arah pembangunan dan mengubah kota sesuai kebutuhan mereka. Jalur sepeda di Jakarta, meski sederhana, bisa dilihat sebagai simbol pengakuan bahwa warga punya hak menentukan orientasi kotanya.
Apakah kota Ternate bisa melangkah ke arah serupa? Saya jadi teringat celetukan kawan saya, Ia bilang “Olahraga di Ternate kebanyakan hanya gunting pita atau ajang seremonial”. Olahraga di Ternate tampak hidup pada momentum perayaan, tapi melemah dalam keseharian warganya yang justru berjuang mencari ruang aman hanya untuk berlari atau mengayuh pedal.
Bisa kita lihat ketika diselengggarakan event olahraga lari maupun bersepeda seringkali ada rekayasa lalu lintas. Membuat pengendara harus sedikit bersabar.
Kota Ternate punya modal alam yang luar biasa. Bayangkan berlari di tepi laut sambil menatap Gunung Gamalama, atau bersepeda melintasi jalan pesisir yang sejuk sore hari. Sayangnya, potensi itu masih sering terkubur di balik klakson, jalan berlubang, dan trotoar yang tidak ramah.
Pertanyaannya: apakah kita mau terus membiarkan warga berebut ruang dengan knalpot, atau berani menyediakan jalan yang aman untuk olahraga?
Pada dasarnya, olahraga harus hidup sehari-hari, organik serta mengalir bersama denyut kota. Oleh karena itu, pemerintah kota dapat memulai dari langkah sederhana dan berdampak nyata.
Seperti memperluas zona car free day, sinkronisasi jalur sepeda, pelebaran trotoar, pemeliharaan jalan beraspal dan memastikan penerangan yang cukup di rute olahraga. Langkah sederhana ini semata-mata demi keselamatan warga kota.
Tak kalah penting salah satunya adalah merangkul komunitas dalam perencanaan. Hal ini akan memperkuat rasa memiliki serta memastikan ruang publik ini terawat dan dimanfaatkan secara maksimal.
Pada akhirnya, olahraga di ruang publik bukan sekadar aktivitas fisik. Ia adalah denyut sosial, identitas kota, sekaligus investasi jangka panjang. Menyediakan ruang aman bagi pelari dan pesepeda bukan semata soal infrastruktur teknis, melainkan bagian dari demokratisasi ruang kota.
Jika Pemkot Ternate memberi perhatian lebih, olahraga bukan hanya soal kebugaran, melainkan pernyataan bahwa ruang kota benar-benar dimiliki secara kolektif. (*)
Tinggalkan Balasan