Oleh: Anwar Husen

Peminat Masalah Sosial/Tinggal di Tidore, Maluku Utara

________

Yang sial, jika ada fans MU yang diam-diam mengalami gangguan kejiwaan, hingga berencana bunuh diri. Juga ancaman dari seorang tua yang viral karena menonton dari atap rumah tadi, tempat paling “nyaman” karena punya dua privilege sekaligus, sudah gratis, VVIP lagi”

INSPIRASI tulisan ini lahir dari hal sepele: nomor rekening. Begini ceritanya: Manajemen klub sepak bola Malut United (MU) berencana mengontrak kediaman orang tua saya di kelurahan Gamtufkange, Tidore, untuk tempat menginap Tim EPA (Elite Pro Academy) U-16 mereka, untuk beberapa bulan ke depan. Kebetulan letaknya tak jauh dari markas lama mereka, Ito Gapura, untuk kepentingan koordinasi dan lainnya. Ketika dimintai nomor rekening buat transaksi biaya kontraknya, saya menyodorkan nomor rekening Bank Pembangunan Daerah (BPD) Maluku-Malut. Dulu sebelum pemekaran daerah Provinsi Maluku Utara, namanya BPD Maluku saja. Balasan pesan WhatsApp saya untuk karib Qwetly Alweni, yang akrab disapa Wet, mantan punggawa tim hebat Persiter Ternate di masa jayanya ini, foto halaman depan buku tabungan BPD, disertai pesan pendek, Bank Maluku-Malut, dukungan untuk MU, disertai emoji senyum lepas. Ketika mengeja nama bank inilah, pikiran saya sontak mengingat polemik yang ramai di banyak media di pekan terakhir ini, klaim status kepemilikan home base Malut United, Stadion Gelora Kie Raha (GKR), Ternate. Dari manajemen klub sepak bola kebanggan publik bola Maluku Utara ini, ada opsi untuk pindah markas, ke Ambon, Provinsi Maluku.

Kesan kecewa pihak manajemen atas klaim itu, diwakili Asghar Saleh. Sejauh yang terbaca, mungkin dipandang berpotensi merusak soliditas klub, yang baru saja mengawali debut musim ini yang mengesankan. Mereka finis di peringkat ketiga di musim lalu, untuk kasta tertinggi kompetisi sepakbola di negeri ini. Sebagai tim debutan, ini luar biasa. Tak semata soal uang. Saya mengenal seorang Asghar, salah satu petinggi Malut United ini. Dia seorang penulis. Sudah pasti kaya bacaannya dan kuat timbangan logikanya. Dia juga yang memberi sedikit endorsement pada buku saya yang akan terbit nanti, dengan potongan kalimat ini: Di dunia yang dibanjiri oleh informasi yang tidak relevan, banyak purbasangka dan ketidakbenaran, kejernihan adalah kekuatan. Karena itu jangan pernah percaya jika ditulis sebagai kumpulan esai ringan. 32 esai dalam buku ini adalah kekuatan yang diangkat dari kisah yang dialami semua kita tapi hanya satu orang yang mau mengalirkannya dengan jernih dan jadi pengingat penting bahwa hidup akan abadi jika terus berbagi kebaikan.

Juga dukungan netizen yang ramai di beranda media sosial itu. Yang teramati, umumnya memberi dukungan moril untuk tak ambil pusing dengan semua itu, dan tetap berkandang di sini, di GKR. Tapi yang dipikirkan manajemen, boleh jadi tak semata soal ambil pusing atau tidak, ini urusan besar dan akan berdampak besar bagi tim, terlebih psikologi pemain.

Tetapi ada juga opini media yang terbaca, menengahi polemik soal ini, dengan urusan tambang. Mengulas jejak kehadiran klub ini, dengan membeli salah satu klub sepak bola yang telah di level hebat, dipandang sebagai cara cepat dan bentuk “kompensasi” atas konsesi usaha tambang di Maluku Utara.

Secara pribadi, saya relatif tak punya kepentingan langsung dengan urusan polemik soal markas klub sepak bola ini. Tak ada hubungannya biaya kontrak tadi dengan arah tulisan ini. Di gelaran laga kandang di Ternate, sepanjang musim lalu, tak pernah sekalipun saya menonton langsung. Meski di beberapa laga, saya kebetulan menginap di kediaman mertua di sana. Tentu apalagi partai tandang. Dalam satu hal, saya benar-benar tak simpatik, kalau tak bisa disebut muak, atas cara kita memandang dan menilai. Bahkan hingga berani memutuskan untuk menghakimi atas sesuatu hal, ketika telah di puncak sukses. Kita kadang lupa prosesnya, kurang menghargai kerja keras, instan saja menilai dan suka bikin sensasi. Saya tak tahu seperti apa status hukum aset Stadion Gelora Kie Raha, Ternate itu. Dan pemerintah daerah mana paling berhak atasnya. Tetapi pada cara kita meletakkan konteks perdebataan, mempersoalkan sesuatu hal, yang dirasa teramat tak adil. Saya sempat memberi komentar soal ini, di unggahan di Facebook karib Asghar Saleh ini, kurang lebih, andai saja pihak manajemen klub sepak bola ini berada posisi yang benar soal status home base-nya, dan negara ini bukan negara hukum, tembak mati saja oknum yang hobinya suka memperkeruh situasi.

Usai tampil dan bikin heboh pada upacara 17 Agustus, Dirgahayu 80 Tahun Republik Indonesia di Istana Negara, lewat hits mereka Tabola Bale lalu, Silet Open Up diperdebatkan. Tak tampil lengkap semua personilnya di lagu itu. Hanya dia dan Diva Aurel. Ini cara yang paling kita senangi, menyimpulkan “kesimpulan”. Menyimpulkan puncak, penghujungnya saja tanpa melihat rentetan. Analogi buku, di bab “kesimpulan dan saran” saja. Ini yang santer di media sosial. Kalau tampilnya di panggung hiburan kampung, pasti tak ada yang mau ambil pusing. Di situ analog soalnya.

Saya setuju dengan Rocky Gerung, urusan masifnya konsesi lahan pertambangan di negara ini, lebih pada di level kebijakan negara, kalau tak bisa disebut ulah rezim berkuasa. Dia membandingkan “kelakuan” beberapa rezim yang pernah berkuasa, dalam urusan ini. Kecuali Presiden Prabowo Subianto, kita butuh waktu mengujinya. Menilai muaranya saja, sudah pasti tak sepenuhnya adil. Ikuti alurnya saja, pasti paham ceritanya. Lagi pula, semua urusan di negara ini, ada regulasinya. Juga perangkat penegak hukumnya.

Arus simpati dan dukungan moril yang mengalir buat manajemen Malut United dari publik bola Maluku Utara, khusus di platform media sosial terkait polemik soal status kepemilikan stadion GKR tadi, mudah dilacak untuk menemukan konteks “alur”nya. Itu bisa pada sejarah, yang membentuk kulturnya di daerah ini, kultur bola.

Menilik sejarahnya dalam urusan sepak bola di jazirah ini, Persiter Ternate bisa dibilang representasinya. Saya sengaja mengutip utuh artikel ini, untuk menyimbolkan bahwa “membaca keutuhan” itu penting. Tak bisa sepotong-sepotong memahami konteks peristiwa. Tak bisa menyelami suasana batin yang menyertainya. Juga untuk menegaskan bahwa obat dari daya ingat dan memori yang pendek, adalah membiasakan membaca ulasan yang panjang-panjang. Medianya DetikSport, di rubrik Detik Insider. Sayang sekali tak terlacak waktunya. Tetapi di kolom komentar, terdeteksi artikel ini di sekitar 8 tahun lalu, 2018.

Persiter Ternate, Apa Kabarmu Kini?
Lucas Aditya – detikSport

Jakarta – Di pertengahan tahun 2000, Stadion Kie Raha amat semarak saat Persiter Ternate mementaskan laga di Liga Indonesia. Kini, apa kabar tim dari daerah yang banyak mengahsilkan banyak pemain nasional itu?

Kalau menanyakan pemain nasional asal Ternate, untuk saat ini jawabannya langsung tertuju pada Rizky Pora dan Zulham Zamrun. Mereka merupakan dua penggawa tim nasional Indonesia yang menjadi runner-up di Piala AFF 2016 lalu.

Setelah generasi itu, ada Ilham Udin Armaiyn dan Mahdi Fahri Albar, dua pemain yang mengantarkan Timnas U-19 menjadi juara Piala AFF di tahun 2013. Gelar juara itu yang kemudian dirayakan sebagai obat puasa gelar tim nasional.

Jauh sebelum keempat pemain itu, Ternate pernah menyumbangkan satu striker tajam bernama Rahmat Rivai. Anggota timnas Baretta generasi kedua itu yang mencicipi begitu menggeliatnya sepakbola Ternate di kasta tertinggi kompetisi antarklub di Indonesia kala itu.

Kini, Liga Indonesia sudah kembali hidup lagi usai mati suri. Tapi, ingar-bingar pesta dan semarak liga yang kini bertajuk Liga 1 atau Liga 2 itu tetap tak dirasakan bumi Kie Raha. Persiter tak menjadi bagian dari dua pesta itu.

Stadion Kie Raha Representasi Persiter

Stadion Kie Raha saat ini sedang dalam renovasi. Sisi barat yang merupakan tribun VIP kini sedang dibangun kembali. Stand ini merupakan satu-satunya yang ada atapnya.

Stadion ini mempunyai kapasitas sebanyak 15 ribu pasang mata, tribun terbukanya hanya berupa cor semen seperti tangga, yang mengitari sekitar 3/4 lapangan bola.

Kondisi lapangan tak representatif untuk menggelar pertandingan level tinggi sepakbola. Lapangannya tak terselimuti rumput 100 persen, juga tanahnya amat keras.

Bagi publik Ternate, Stadion Kie Raha, menjadi kebanggaan. Ingatan mereka selalu tertuju pada Persiter yang begitu sulit dikalahkan saat berlaga di sana.

Salah satu yang sangat membekas salah saat Persiter menghadapi Persipura Jayapura di tahun 2006 silam. Juara Liga Indonesia 2005 itu dibuat tak berkutik oleh tim tuan rumah. Mereka menang dengan skor telak 3-0, hingga wajar kalau hasil laga pada 25 Januari sembilan tahun silam itu terus diingat.

Rekor unbeaten di kandang juga disandang oleh Persiter di musim 2007. Kala itu, Jacksen F Tiago menjadi arsiteknya. Persiter sempat menjadi penguasa Grup Timur hingga akhir putaran pertama, tapi akhirnya finis di posisi enam klasemen untuk bisa berlaga di Liga Super.

Stadion Kie Raha sedang diupayakan untuk terus direnovasi. Nominal sekitar Rp 60 miliar disebut menjadi dana yang dibutuhkan untuk memperbaiki stadion agar layak untuk menggelar pertandingan kelas nasional.

Keunggulan stadion Kie Raha saat ini hanya pada penerangan untuk menggelar pertandingan malam hari. Lampu penerangan memang sudah terpasang di empat lapangan.

Kie Raha yang dalam perbaikan itu sama nasibnya dengan Persiter yang masih berjuang di level divisi amatir, mengejar mimpi berlaga di liga yang lebih tinggi.

Masa Kelam Persiter Sewindu Silam

Sejak musim 2008/2009, Liga Indonesia berganti format. Format kompetisi menjadi satu wilayah, PSSI mulai menerapkan verifikasi 5 aspek lisensi klub profesional sesuai dengan yang dikeluarkan oleh AFC dan FIFA.

Persiter merupakan salah satu klub yang lolos ke kompetisi Liga Super, dari format dua kompetisi di musim sebelumnya. Tapi, langkah mereka untuk tetap bertahan di kasta tertinggi sepakbola nasional terganjal aspek infrastruktur.

Stadion Kie Raha kandang Persiter, tak lolos verifikasi yang dilakukan PSSI. Lapangan tak mempunyai drainase yang bagus, hingga kondisinya menjadi tergenang air saat menggelar laga kala hujan. Selain Persiter, klub lain yang terganjal masalah yang sama adalah Persmin Minahasa.

Pada prosesnya, PSIS Semarang dan Bontang FC diputuskan oleh PSSI lewat Badan Liga Indonesia, menjadi pengganti kedua klub asal Timur Indonesia itu menjadi pelengkap konstestan Liga Super Indonesia yang perdana.

Sial bagi Persiter, pengurus mereka memutuskan untuk tak mengikuti kompetisi di tahun yang sama. Persoalan dana menjadi masalah utamanya, tentu saja selain persoalan infrastruktur yang menjadi ganjalan.

Persoalan pemilihan kepala daerah Maluku Utara yang panas di tahun 2008 juga membuat Persiter kian tak mungkin lagi mengikuti kompetisi. Izin untuk menggelar pertandingan dari pihak keamanan jelas tak akan keluar di saat itu.

Rentetan nasib buruk itu yang membuat Persiter harus memulai kompetisi dari level terbawah, divisi amatir. Sudah sudah sewindu lamanya, mereka berkutat di level terbawah kompetisi antarklub di Liga Indonesia.

Kondisi itu yang membuat Rahmat ‘Poci’ Rivai akhirnya harus hijrah. Persipura dan Sriwijawa FC menjadi dua klub yang pernah dia bela. Dia meraih kesuksesan besar bersama ‘Mutiara Hitam’ dengan raihan gelar juara Liga Super Indonesia 2010/2011. Musim sebelumnya menjadi juara Piala Indonesia bersama ‘Laskar Wong Kito’.

Misi Persiter Kini Pembinaan

Persiter saat ini masih berlaga di kompetisi amatir yang di musim lalu bernama Liga Nusantara. Prestasi mereka cukup oke dengan menjadi juara wilayah Maluku Utara di musim lalui.

Tapi, mimpi publik Ternate untuk melihat tim idolanya berlaga di level profesional masih jauh panggang dari api.

APBD menjadi sumber utama pembiayaan dari Persiter. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 sudah melarang pengunaan APBD untuk klub sepakbola profesional.

Andai terus masih di liga amatir, Persiter bisa akan mendapatkan kucuran APBD. Hal itu merupakan tindak lanjut atas instruksi Presiden Ri Joko Widodo di tahun ini.

Ketua umum Persiter, Burhan Abdurrahman, sudah mengungkapkan apa yang menjadi fokus tim asal salah satu kesultanan tertua di Indonesia itu. Bukan berlaga di kompetisi level atas, tapi pembinaan usia dini.

“Persiter itu dulu bisa bangkit, ke divisi utama lalu ke Liga Super karena pembiayaan APBD. Setelah ada larangan penggunaan APBD, otomatis kami sulit dalam hal pendanaan,” kata Burhan beberapa waktu lalu.

Itu menjadi kendala utama, padahal pemainnya cukup banyak. Bibit-bibitnya cukup banyak, ada banyak pemain nasional lahir dari sini.”

“Untuk melibatkan swasta susah. Ternate ini kota kecil, tidak ada sumber daya alam tambang, di sini hanya jasa perdagangan. Untuk ikut divisi utama itu cukup besar puluhan miliar untuk sekali kompetisi”

Kami fokus pada menciptakan atlet, setelah itu terserah dia mau berkembang, seperti Ilham Udin Armaiyn, ada seleksi timnas U-19, dan diambil, ya silahkan. Pemain Persiter kini ada di mana-mana,” imbuh pria yang juga menjabat sebagai walikota Ternate itu.*****

Yang menarik dari artikel tadi, potongan komentar Walikota Ternate Burhan Abdurrahman, ketika itu: Untuk melibatkan swasta susah. Ternate ini kota kecil, tidak ada sumber daya alam tambang, di sini hanya jasa perdagangan. Untuk ikut divisi utama itu cukup besar puluhan miliar untuk sekali kompetisi.

Ada pengakuan bahwa tanpa dukungan APBD, Persiter tak bisa lanjut berkiprah. Tersirat juga, potensi sumber daya tambang itu penting untuk dukungan pendanaan. Dan Ternate tak punya semua itu. Sampai di situ.

Dulu, ada seruan boikot produk Israel di negara kita. Itu karena perlakuan biadab rezim Israel terhadap warga Palestina. Tak membeli produk Israel adalah bentuk simpati dan dukungan moril karena alasannya latar sentimen keyakinan agama dengan Palestina. Kasusnya rada mirip, soal sikap moril. Yang terlibat polemik soal status home base di Gelora Kie Raha Ternate, pasti tak pernah menonton laga kandang tim Malut United. Termasuk juga media yang mengaitkan dengan soal tambang tadi. Pasti tak akan meliputnya, karena meliput sudah pasti menontonnya. Sikap media adalah sikap segenap krunya.

Yang hampir pasti, kultur “gila” bola dari publik Maluku Utara hari ini, bukan instan terbentuk. Riwayat perjalanan panjang Persiter Ternate, banyak menyemai benih itu. Andai tak ada prestasi monumental Persiter di masa lalu, ekspektasi terhadap Malut United mungkin biasa-biasa saja. Malut United hari ini, bisa saja dipandang semacam reinkarnasinya.

Jika hari ini, ada foto yang viral di media, gara-gara ada seorang tua yang terindentifikasi menonton laga kandang Malut United dari atap rumah, hingga yang berjubel menontonnya dari ruang terbuka di lantai atas hotel yang beresiko, itu sudah biasa di sini. Dulu saya juga sering bolos mengajar di jam-jam akhir saat masih jadi guru, untuk tak terlambat menontonnya. Dari 34 laga kandang Persiter, saya menyaksikannya 29 kali. Ada jadwal kandang dari kliping koran, lengkap dengan kolom skor akhirnya yang tersimpan rapi di dompet kecil, untuk bisa mengeceknya setiap waktu. Memori “perang bintang” antar dua wilayah, barat dan timur, di paruh kompetisi, Rahmat Rivai menginap sekamar dengan Christian Gonzales sebagai sesama pencetak gol terbanyak sementara, hingga terkejutnya petinggi PSSI saat tahu bahwa Poci Rivai sempat bertengger cukup lama sebagai top scorer wilayah timur itu, masih kuat dalam ingatan saya.

Yang luar biasa, jika Malut United pindah kandang. Tetapi masih mending jika nama “Maluku Utara” masih melekat. Jadinya, Maluku-Malut United [MMU]. Sama dengan nama bank pada buku tabungan saya tadi, Bank Maluku-Malut. Maluku, provinsi induk kita. Kita kebagian brand saja sudah lumayan.

Yang sial, jika ada fans MU yang diam-diam mengalami gangguan kejiwaan, hingga berencana bunuh diri. Juga ancaman dari seorang tua yang viral karena menonton dari atap rumah itu, tempat paling nyaman karena punya dua privilege sekaligus, sudah gratis, VVIP lagi. Wallahua’lam(*)