Oleh: Richard Ibrahim

Praktisi K3. Anggota Forum Studi Independensia. Alumni Ilmu Politik FISIP UMMU. Pernah Menjabat Ketua Umum HMI Komisariat FISIP UMMU Periode 2017-2018. Esai dan cerpennya kerap terbit di berbagai media cetak dan online

_______

TERNATE, Jumat 8 Agustus. Siang itu, matahari tak begitu terik. Dari Kelurahan Sangaji Ternate Utara, saya mengendarai motor menuju masjid Agung Al-Munawar, rumah ibadah terbesar di kota ini, yang setiap Jumat selalu dipenuhi jamaah dari berbagai penjuru. Dengan kecepatan sedang, saya menikmati hiruk-pikuk pedagang kaki lima di sepanjang jalan hingga halaman masjid. Saat di serambi masjid, angin laut dari arah Barat Ternate menyelinap pelan di sela-sela bangunan rumah ibadah yang dekat dengan air laut itu. Tak begitu lama, Azan dikumandangkan, dan shaf-shaf mulai terisi. Saya kemudian mengambil tempat di bagian tengah. Khotbat Jumat siang itu ternyata menyentuh sub topik yang tak lazim, yakni fenomena Tete (Kake) Ali yang viral sejak satu bulan terakhir. Khatib, dengan nada prihatin menyayangkan sikap sebagian orang yang menganggap makian Tete Ali sebagai hiburan.

Ialah sosok Tete Ali yang berasal dari sebuah perkampungan Kabupaten Morotai yang dahulu nyaris tak dikenal kini menjadi figur maya yang ramai dibicarakan. Dari live itu, potongan videonya tersebar, bagai air mengalir. Mayoritas warganet menanggapi sebagai hiburan, namun tak sedikit juga yang memvonisnya sebagai tak beradab dan berdosa. Menurut mereka, di usianya yang sudah renta mestinya dipakai untuk fokus beribadah. Pertanyaanya apakah kualitas seseorang dapat diukur hanya dari kata-kata yang keluar dari mulutnya? Apakah moralitas berhenti pada ucapan, ataukan ia berakar pada niat, pengalaman hidup, dan kondisi hati? Inilah yang saya sentil dalam esai ini, bukan sebagai pengkhotbah, melainkan lewat kacamata diskursus filsafat Barat.

Mitos Topeng Sosial Socrates

Dalam sejarah tradisi Filsafat Barat, pertanyaan di atas telah menjadi perdebatan panjang. Sejak era Filsafat Yunani Kuno, Sokrates (470 SM-399 SM), Bapak Filsafat Barat yang mashur sudah mengajukan gagasan bahwa kebenaran diri manusia tidak bisa diukur dari apa yang tampak di luar, baik ucapan maupun pencitraan. Kita kenal prinsip dasar filsafat Sokrates Gnothi Seauton, “kenali dirimu sendiri” atau “pengetahuan tentang diri sendiri.” Ucapapan kasar, bagi Socrates, bisa jadi hanya cerminan dari kemarahan sesaat, bukan representasi utuh dari kebajikan atau keburukan seseorang. Ia percaya bahwa kebodohan sejati adalah ketika kita menilai sesuatu tanpa berusaha memahami hakikat konteksnya. Dalam kasus Tete Ali, makiannya hanyalah permukaan dari situasi yang diatur untuk memancingnnya. Kita tau viralitas Tete Ali dari siaran live Tiktok lewat akun seorang polisi yang bernama Sibili Siruang. Dari layar ponsel itu, memang Tete Ali melontarkan kata-kata makian (cukimai) dengan nada marah, namu perlu diingat ia dipancing oleh lawan bicaranya yang menuduh ia berutang, mencuri perahu, dan topik apa saja yang bisa memancing emosinya. Ada situasi yang mengkondisikan Tete Ali hingga ia emosi.

Kembali ke Socrates, yang dalam sejarah hidupnya kita kenal dihukum mati karena ucapan dan ajaran yang dianggap merusak moral generasi muda dan dewa-dewa hanya oleh pertanyaan dan dialog-dialog singkat Sokrates. Sejarah kemudian mencatat, ajaran Sokrates adalah kebenaran yang tak mau tunduk pada kemandekan berfikir. Persis seperti video potongan live Tete Ali tersebar, kita tak berharap seperti pemerintah Athena yang memotong-motong ucapan Sokrates dan dipersepsikan di luar konteks.

Paradoks Dunia Modern dan Moralitas Kant

Komentar miring pada dinding-dinding Facebook yang mengomentari viralitas Tete Ali tampaknya menyesakan mata karena banyak menjadi hakim instan. Seolah-olah menonton klip selama dua menit atau menonton live selama sejam, lantas mengetahui seluruh hidup seseorang. Ialah filsuf politik Jerman abad-20 yang mekar di Paris, Hannah Arendt, mengatakan tindakan manusia hanya bisa dipahami dalam konteks vita activa – keseluruhan hidup dan relasinya. Kisah Tete Ali menunjukan paradoks ini.

Di balik layar ponsel dan komentar-komentar miring, cerita Tete Ali sesungguhnya lebih rumit dan panjang. Sebelum viral, Tete Ali kerap menjadi sasaran perundungan anak sekolah. Ia dicap gila bahkan rumahnya dilempari batu hingga atapnya menjadi bolong. Anak perempuan Tete Ali mengakui di Facebook, Ayahnya kerap berisitirahat dan tidur di bawa atap yang bolong. Suatu saat, ia pernah marah karena Ayahnya pernah diajak berkelahi oleh beberapa pemuda. Namun sekarang ia bersyukur citra ayahnya berubah di mata orang banyak: dulu ketika di jalan orang mengatakan Tete Ali gila, kini ketika orang-orang melihat Tete Ali di jalan ingin minta foto.

Hannah Arendt menekankan bahwa kehidupan publik adalah arena di mana tindakan, ucapan, dan citra saling berkelindan. Dalam masyarakat modern, terutama dengan media sosial, ruang publik sering kali lebih menonjolkan performa daripada subtansial. Lantas di mana kita mengukur, apakah ucapan seseorang itu betul-betul bermoral?

Sementara itu, Immanuel Kant, filsuf abad pencerahan dari Jerman dalam karya pertama yang matang Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785) menekankan bahwa moralitas tidak diukur dari akibat luar atau penilaian orang, tetapi dari niat dan prinsip batin. Jika seseorang mengucap kata kasar karena diprovokasi, tetapi dalam batinnya tak berniat merendahkan martabat kemanusiaan, maka secara moral ia tak setara dengan mereka yang sengaja menggunakan kata manis untuk memanipulasi atau menindas. Kant menegaskan, yang membuat manusia bermoral adalah good will – kemauan baik yang lahir dari hati, bukan sekadar performa kata. Maka dalam kerangka Kantian, yang patut kita soroti bukan sekadar makian yang keluar dari Tete Ali, tetapi bagaimana Pak Polisi Sibili Siruang, rekan Tete Ali, memilih untuk menggunakan hasil dari puing-puing pendapatan di Tiktok untuk memperbaiki atap rumah Tete Ali yang bocor dan mengubah stigma yang dulu melekat padanya.

Bukan berarti saya menormalisasi makian yang keluar dari Tete Ali. Namun di era digital yang setiap kata bisa direkam, disebar, dipelintir, tanggung jawab kita sebagai warganet adalah mengedepankan pemahaman sebelum penilaian. Jika kita mau melihat lebih dalam, kita akan menemukan bahwa di balik makian seorang Tete Ali, ada cerita tentang bertahan hidup, melawan stigma, dan membangun kembali martabat yang tak bisa dihapus hanya karena satu tayangan live. (*)