Oleh: Muhammad Gibran

Alumni Sosiologi Fisip Unsrat

________

EUFORIA Agustusan tahun ini bukan hanya diwarnai ornamen merah putih. Di sejumlah daerah, marak berkibar kain hitam bergambar tengkorak bertopi jerami, bendera fiktif dari dunia One Piece. Dari tiang rumah, kendaraan pribadi, hingga mural di aspal jalan, simbol itu hadir seolah menantang ruang publik yang biasanya diisi slogan resmi negara.

One Piece adalah serial anime asal Jepang karya Eiichiro Oda. One Piece sudah berjalan selama dua dekade dan  punya jutaan penggemar di penjuru dunia. Tokoh utamanya, Monkey D. Luffy, adalah sosok yang punya mimpi besar yakni menjadi Raja Bajak Laut. Luffy dan Kru Topi Jeraminya menghadapi beragam tantangan, mulai dari rivalitas sesama bajak laut hingga institusi pemerintah dunia yang otoriter dan penuh intrik.

Di balik cerita petualangan dan aksi kru Topi Jerami, One Piece menyajikan kritik tersirat terhadap sistem kekuasaan yang mengekang, termasuk politik dinasti dan kekuasaan otoriter yang kerap terjadi di dunia nyata. Itulah mengapa simbol Topi Jerami kini tidak sekadar menjadi ikon hiburan, melainkan juga simbol perlawanan dan keresahan sosial.

Di dunia One Piece, salah satu gambaran kekuatan otoriter adalah keberadaan Tenryuubito (Bangsawan Dunia) mereka berada di puncak hierarki bukan karena prestasi, tetapi karena garis keturunan. Kekuasaan mereka diwariskan turun-temurun tanpa legitimasi rakyat, ciri klasik politik dinasti. Mereka menjadi simbol bahwa ikatan darah bisa menjadi tameng sekaligus pedang untuk melindungi kepentingan kelompok mereka. Tidak ada hukum satupun yang akan menjerat para Tenryuubito ini, bahkan nilai moralitas sampai sejarah suatu negeri bisa ditafsir kembali sesuai dengan kemauan mereka.

Di dunia nyata, kita pun punya “Tenryuubito” versi sendiri, yaitu mereka yang memegang kuasa bukan karena prestasi, melainkan karena keluarga. Seperti yang ditegaskan Suyadi (2014), “Dinasti politik di Indonesia lebih identik dengan pertalian darah daripada kualitas aktor politik dan kaderisasi partai, mencerminkan budaya politik familisme yang kuat.” Ini menandakan bahwa politik dinasti bukan sekadar persoalan individual, melainkan budaya yang sudah lama mengakar dalam sistem politik dan sosial masyarakat kita.

Praktik semacam ini marak terjadi di berbagai daerah Indonesia, di mana jabatan kepala daerah, ketua DPRD, hingga posisi strategis birokrasi berpindah di lingkaran keluarga atau kerabat dekat. Kursi jabatan dijaga seperti harta pusaka, seolah rakyat hanyalah penonton yang harus menerima jalan cerita yang sudah diskenariokan.

Dalam sejumlah kasus, menjamurnya politik dinasti ini bahkan dianggap wajar. Alasan yang kerap muncul adalah rekam jejak atau pengalaman tokoh yang bersangkutan. Namun, seiring waktu, kita mesti sadar bahwa jabatan publik bakal berubah menjadi kursi untuk keluarga. Orang berkata, tak ada salahnya jika sang pewaris berintegritas. Mungkin benar. Tapi sejarah tak pernah menjanjikan itu. Kekuasaan yang diwariskan sering tumbuh menjadi kebal. Kebal pada kritik, bahkan kebal pada malu, yang pada akhirnya istilah meritokrasi hanyalah bualan semata.

Fenomena bendera Topi Jerami di bulan kemerdekaan mungkin sekadar tren pop culture. Namun, budaya populer sering menjadi saluran ekspresi terhadap wajah politik yang tak banyak berubah, terutama soal mengakarnya politik dinasti dan kekuasaan yang otoriter. Maka bendera Topi Jerami itu pun berkibar, meski kecil, ia menyampaikan kegelisahan besar; sebuah panggilan untuk refleksi dan harapan atas perubahan dalam sistem politik kita. (*)