Oleh: Dr. Muhammad Hasrul Buamona, S.H.,M.H

Advokat dan Dosen Magister Hukum Kesehatan Universitas Widya Mataram Yogyakarta

_______

PENELUSURAN literatur bisa dikatakan belum ada yang menulis terkait Sangadji Fagud. Hal tersebut, bisa saja dipengaruhi oleh betapa kuatnya peradaban intelektual positivisme yang turut menguburkan historis Sangadji Fagud di Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Secara garis besar, Sangadji adalah penguasa/pemimpin wilayah di luar Ternate sebagai pusat kesultanan.

Sangadji Fagud yang dipimpin oleh marga Buamona adalah bagian dari federalisme Kesultanan Ternate, yang pengangkatannya dilakukan secara bai’at, yang mana Sultan Ternate sebagai kepala pemerintahan bertugas mengangkat dan mengesahkan seorang sangadji, setelah melalui mekanisme syura dalam internal suku Fagud itu sendiri. Oleh Darsis Humah dalam Jurnal Sistem Pemerintahan di Kesultanan Ternate, tahun 2024, dijelaskan bahwa siyasah dusturiyah digunakan sebagai prinsip dasar dalam sistem pemerintahan Kesultanan Ternate, yang mana terjadi integrasi antara hukum Islam dan adat lokal. Faktor integrasi-interkonektif Sangadji Fagud dengan federalisme Kesultanan Ternate beserta siyasah dusturiyah, maka mutatis-mutandis syarat-syarat menjadi Sangadji Fagud, selain memiliki pertalian nasab dengan Sangadji Fagud sebelumnya, juga harus seorang muslim, mukkalaf, sehat jasmani-rohani, cerdas, memahami ajaran agama Islam dan adat istiadat, amanah serta berlaku adil.

Diperkirakan sejak tahun 1540 tepatnya masa berkuasanya Sultan Khairun, Desa Waigoiyofa telah menjadi kota pemerintahan Sangadji Fagud. Sehingga, bisa saja Waigoiyofa menjadi tempat Sultan Babullah menghabiskan waktu semasa belajar, dan membangun karakter kepemimpinan untuk menjadi Sultan. Dalam catatan sejarah, dijelaskan bahwa Sultan Babullah sebelum menjadi Sultan, beliau dikirm oleh ayahnya Sultan Khairun ke Sula, untuk didik sejak dini menjadi pemimpin. Jadi sangat tidak benar, bahwa Sultan Babullah didik secara privat dalam lingkungan istana, sekaligus membantah tidak benar bahwa Sula merupakan wilayah taklukan atau dianeksasi oleh Kesultanan Ternate sebagaimana yang ditulis pada saat ini. Oleh penulis melihat Waigoiyofa sebagai laboratorium baik itu antropologi, sosial dan kajian tarekat dalam bingkai historis Sula. Maka, penulis sering katakan bahwa Waigoiyofa merupakan laboratorium mistisisme historis Fagud.

Pada sisi lain, sampai hari ini belum ada catatan baik lisan atau tulis, yang menginformasikan sejak kapan pemerintahan Sangadji Fagud berpindah dari Waigoiyofa ke Kota Sanana. Tetapi, bila merujuk pada salah satu makam Sangadji Fagud di kota Sanana, yang berkuasa pada tahun 1796 -1821 pada masa Sultan Harun Syah dan Sultan Muhammad Yasin, di mana pada waktu yang hampir sama dengan perang Sultan Nuku tahun 1780. Selanjutnya, menelisik ke Waigoiyofa terdapat jejak historis Sangadji Fagud yang berkuasa tahun 1600-1614, terdengar kabar beliau pergi Batavia, sehingga hari ini jejak historisnya ditemukan di wilayah Masjid Al Alam Marunda, Jakarta Utara. Sedangkan di Sula hanya ditemukan perlengkapan perang beliau yang disimpan oleh keturunannya di Desa Manaf. Sehingga, selama 14 tahun beliau menjabat sebagai Sangadji Fagud, belum ditemukan bukti pemerintahan dimaksud telah berpindah ke Kota Sanana. Dari sini, terdapat petunjuk bahwa dalam periode tahun 1600-1614 pemerintahan Fagud masih terpusat di Waigoiyofa.

Sampai hari ini pun, belum ada alasan pasti, mengapa pemerintahan Fagud itu berpindah. Namun, melihat letak geografis Waigoiyofa yang dikelilingi tebing bebatuan, rasanya tidaklah cukup menampung pertumbuhan penduduk, maka dalam fakta sosial terjadi migrasi penduduk, selain ke Wai Ipa dan Waibau, salah satunya ke Sulamadaha Ternate. Sebagaimana yang di tulis oleh Irman Saleh dalam buku Ternate Melintasi Waktu, 2016. Irman menjelaskan bahwa kedatangan orang Sula ke Sulamadaha diperkirakan terjadi pada akhir Abad 15. Dalam wawancaranya dengan Malik Buamona, warga Sulamdaha dijelaskan oleh Malik bahwa di Sulamadaha terdapat marga Buamona, Drakel, dan Fatce.

Terdapat hal menarik lainnya, di mana ditemukan Bahasa Ternate “Ngofagudu” yang artinya “Anak Yang Jauh”. Temuan tersebut terdapat dalam catatan silsilah/nasab Sangadji Fagud baik yang terdapat di Sula, Buru dan Jogjakarta, serta bahasa yang sama ditemukan juga dalam Nisan makam Sangdji Fagud di Kota Sanana (1796 -1821). Penulis melihat secara politik hukum, bisa saja sebaga simbol bahwa Sangdji Fagud adalah inti terdekat sebagai wakil Sultan dalam sistem pemerintahan Kesultanan Ternate, sekaligus menjadi sekutu, baik dalam politik dan pertahanan militer Kesultanan Ternate. Karena patut disadari bahwa Kesultanan Ternate merupakan imperium besar, dan pusaran politik ekonomi serta militer pada silam, maka Ternate membutuhkan sekutu politik, seperti halnya sekarang Amerika Serikat dengan NATO, AUKUS Indo Pasifik dan Russia, dengan Korut, China dan Iran.

Kemudian untuk menghubungkan “Ngofagudu” sebagai bukti bahwa Sangadji Fagud dengan Sultan Ternate masih memiliki hubungan genealogis/silsilah, perlu penelitian mendalam untuk itu, penulis lebih melihat “Ngofagudu” sebagai simbol politik Sultan Ternate untuk menjadikan Sula secara khusus Fagud sebagai sekutu politik, walaupun dalam catatan sejarah didapatkan bahwa beberapa Sultan menikah dengan perempuan Sula, tapi apakah itu nasab dari Sangadji Fagud.

Sehebat-hebatnya historis kerajaan atau kesultanan besar yang digdaya diseluruh belahan dunia, akan jatuh dalam beberapa sebab, yaitu; sikap otoriter, feodal, irasional, tidak mengedepankan keilmuan/perdaban intelektual dalam membangun wilayah/daerah, usangnya teknologi dan menjauhkan diri dari nilai-nilai agama dan adat. Harus disadari di masa silam, otoritas politik secara global oleh kolonilisme Belanda turut secara langsung mengendalikan struktur dan sistem kebijakan Kesultanan Ternate, Sangadji Fagud sebagai partikel kecil, pasti jatuh dalam kubangan tersebut. Hal ini ditampakan pula pada era otonimisasi daerah, dimana sistem Sangadji semakin hilang, jangankan tercatat dibicarakan pun dianggap sesuatu pamali.

Sebagai identitas, kita tidak hanya memerlukan kebangkitan, tapi yang dibutuhkan adalah berkemajuan. Berkemajuan intelektual dalam berbagai aspek kehidupan yang hari ini menjadi otoritas global seperti halnya filsafat, politik, ekonomi, teknologi dan hukum serta tasawuf/profetik. Selain itu, integritas dan kebijaksanaan dijadikan sebagai fondasi berkemajuan, agar ke depannya menjadi strategis tidak hanya pada tingkat lokal, namun yang terpenting kita menjadi strategis pada tingkat nasional, karena itulah hakikat membangun keadaban dan peradaban di Kabupaten Sula. Terakhir, dari Waigoiyofa katong menyebar ke seluruh penjuru negeri membawa Islam, ilmu, dan kebijaksanaan. (*)