Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

Kita harus berani mengatakan “cukup” pada model ekstraktivisme yang merusak, dan beralih pada model yang menghormati bumi dan manusia.”
(Eduardo Gudynas, 2013)

KEGIATAN pertambangan kerap dipromosikan sebagai motor penggerak ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan sumber pendapatan daerah. Namun di balik narasi kemajuan itu, terdapat kenyataan yang acapkali diabaikan: tambang menghancurkan. Kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya menyasar ekosistem, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial, budaya, dan keberlanjutan hidup masyarakat di sekitarnya. Pertanyaannya : “Bagaimana masa depan warga, saat tambang masih terus ada?”

Pertambangan, khususnya skala besar, pada dasarnya merupakan proses pengambilan sumber daya alam yang tidak terbarukan melalui teknik ekstraktif yang masif. Proses ini mengubah bentang alam secara permanen. Menurut Gavin Bridge, industri tambang mengandalkan “landscape transformation” yang tidak dapat dipulihkan sepenuhnya (Bridge, 2004: 205). Pembukaan lahan untuk tambang menyebabkan deforestasi, erosi tanah, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Selain deforestasi, tambang juga berkontribusi pada pencemaran air. Limbah beracun seperti merkuri dan sianida dari pertambangan emas atau tailing dari tambang nikel dapat meresap ke sumber air masyarakat (Hilson & Murck, 2000: 230). Akibatnya, masyarakat kehilangan akses terhadap air bersih, sementara flora dan fauna air pun ikut mati. Hal ini menunjukkan bahwa tambang bukan sekadar “mengambil”, tetapi juga “merusak” secara sistematis.

Kerusakan tambang tidak berhenti pada lingkungan. Antropolog Anna Lowenhaupt Tsing dalam bukunya Friction menyebutkan bahwa masuknya perusahaan tambang kerap disertai perubahan radikal dalam pola hidup masyarakat (Tsing, 2005: 41). Lahan yang sebelumnya menjadi sumber pangan atau tempat sakral, diprivatisasi untuk eksploitasi industri. Proses ini menyingkirkan masyarakat adat dari ruang hidupnya. Kasus di wilayah Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, dapat menjadi contoh. Aktivitas pertambangan nikel di sana telah menggeser masyarakat pesisir dari aktivitas tradisional seperti nelayan dan berkebun, menjadi buruh tambang atau bahkan pengangguran akibat hilangnya sumber mata pencaharian (Amnesty International, 2021: 57). Perubahan ini menciptakan ketergantungan ekonomi sekaligus merusak kemandirian komunitas lokal.

Di sisi lain, hadirnya tambang kerap membawa konflik horizontal. Anthony Bebbington, et al. mencatat bahwa perbedaan posisi antara kelompok yang mendukung dan menolak tambang kerap memicu perpecahan sosial (Bebbington, 2008: 2890). Janji kesejahteraan yang diberikan perusahaan tidak jarang hanya dinikmati segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat justru menanggung kerugian. Narasi “tambang sebagai pendorong pertumbuhan” acapkali menutup mata terhadap fakta bahwa keuntungan finansial yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Lebih buruk lagi, keuntungan terbesar biasanya dinikmati pemegang saham dan elite politik, bukan masyarakat lokal (Ross, 2001: 328).

Di Indonesia, penerimaan negara dari sektor tambang kerap bocor akibat praktik korupsi dan manipulasi data produksi. Sementara dari perspektif keadilan ekologis, tambang merupakan bentuk ketidakadilan ganda. Pertama, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dibebankan kepada generasi mendatang. Kedua, beban sosial-ekonomi akibat kerusakan tersebut lebih berat dirasakan kelompok miskin dan masyarakat adat, sementara keuntungan ekonomi dinikmati pihak luar (Martinez-Alier, 2002: 11).

Tak hanya itu, tambang juga menjadi sumber masalah kesehatan. Paparan debu, logam berat, dan polusi udara menyebabkan penyakit pernapasan kronis, gangguan kulit, hingga keracunan. di Indonesia, demikian studi dari Stephan Bose-O’Reilly, et al. menemukan bahwa anak-anak di wilayah pertambangan emas rakyat, memiliki kadar merkuri dalam darah yang melebihi ambang batas aman WHO (Bose-O’Reilly, 2010: 307). Ini merupakan tragedi kesehatan publik yang jarang diangkat dalam laporan resmi. Bandingkan dengan hasil laporan Nexus3 Foundation beberapa waktu lalu, tentang kondisi ikan yang tercemar di kawasan Lelilef, yang kemudian menuai protes Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah, dan memicu kehebohan warga Maluku Utara. Toh, selanjutnya mereda, tak lagi terdengar nyaring.

Bahkan setelah tambang berhenti beroperasi, lubang-lubang bekas tambang menjadi akan menjadi “bom waktu” ekologis. Di mana air asam tambang yang terbentuk dapat mencemari sungai selama puluhan tahun setelah tambang ditutup (Younger, 2001: 13). Kesadaran akan dampak destruktif tambang telah memunculkan gerakan perlawanan di berbagai daerah. Gerakan ini menuntut hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, serta menolak proyek tambang yang mengorbankan kehidupan. Sementara, di Maluku Utara, misalnya, aktivis lingkungan yang mengampanyekan perlindungan wilayah pesisir dari ekspansi tambang nikel demi menjaga ketahanan pangan laut, justru mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Disinilah, ketika kepentingan elit dan kuasa bicara, warga tak berdaya.

Alternatif terhadap ketergantungan pada tambang harus dikembangkan, seperti ekonomi berbasis sumber daya terbarukan, ekowisata, dan pengelolaan hutan lestari, yang memberi manfaat bagi warga sekitar, bukan menghancurkan. Sebagaimana ditegaskan Vandana Shiva, “pembangunan sejati adalah yang menjaga keberlanjutan kehidupan, bukan yang mengorbankannya demi keuntungan sesaat” (Shiva, 2005: 88).

Mengabaikan kerusakan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan merupakan bentuk pengkhianatan kita atas masa depan generasi mendatang. Sangat dibutuhkan perubahan paradigma pembangunan yang menempatkan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan modal. Seperti diingatkan Eduardo Gudynas, kita harus berani mengatakan “cukup” pada model ekstraktivisme yang merusak, dan beralih pada model yang menghormati bumi dan manusia (Gudynas, 2013: 442). Karenanya, industri tambang itu menghancurkan, bukan hanya secara ekologis, tetapi juga secara sosial, budaya, ekonomi, dan hilangnya ruang hidup. (*)