Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore, Maluku Utara

________

Kapasitas fiskal sebuah daerah bisa saja hebat, tapi belum tentu memberi jaminan kualitas kebijakan pasti bagus. Kita butuh kualitas kebijakan, tak semata uang. Dan itu hanya di ada tangan kepala daerah yang cukup kepekaannya dalam melihat celah masalah”

POTONGAN dua video pendek yang singgah di beranda akun Facebook saya, dan telah viral itu, benar-benar bikin trenyuh. Diunggah konten kreator Sibli Siruang, seorang anggota polisi yang bertugas di Polres Morotai. Ada detail yang saya intip di video itu, kondisi ruang rumah domisili Tete Ali, ketika menaruh kembali sebuah karung berisi pukat [soma], setelah merampasnya kembali dari seseorang yang dikenal dengan panggilan Otu, yang sengaja membawa pergi diam-diam. Otu berkilah hanya meminjam. Ini hanya deretan “skenario” kecil yang disengaja untuk kebutuhan konten mereka. Kondisi rumah domisili Om Ogono juga nyaris sama. Detailnya bisa kita amati, saat sekembalinya Om Ogono bersama polisi Sibli ini, dari memboyong sepasang kursi plastik berwarna biru, warna yang dipilih Om Ogono. Tak lupa sebuah tikar plastik, untuk memastikan Om Ogono tak melantai beralas tanah, keramik alami “gubuk”nya. Seorang netizen berkomentar di sini, “Kamu tak membeli kursi, kamu membeli kenyamanan bagi punggung yang lelah, martabat bagi usia yang dilupakan. Dalam diam, kamu merawat dunia. Karena kadang, kebaikan paling dalam tak butuh sorotan, hanya niat yang tulus dan langkah yang lembut. Masya Allah. Semoga Sibli Siruang , dan Om Ogono sehat selalu. Salam hormat”. Meski nama lengkap Tete Ali dan Om Ogono, juga sedikit kisah dan latar keluarga mereka, yang dijanjikan polisi Sibli, belum saya peroleh, tulisan ini harus keburu tayang.

Di potongan berita lainnya yang pernah bikin ramai di Twitter [X], dan tak kalah haru itu, seorang anak menitipkan orang tuanya yang telah sepuh ke panti jompo, disertai pesan jangan menghubunginya hingga waktu tertentu. Dan baru di Sabtu lalu [2 Agustus 2025], di bulan kemerdekaan ini, dari berita Kompas, anak bunuh orang tuanya yang sedang shalat di Kelurahan Panorama, Kota Bengkulu. Entah apa motifnya, masih dalam penyelidikan pihak berwajib.

Mengutip laman Universitas Insan Cita Indonesia [UICI] Mei 2023, generasi, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok orang yang lahir dalam rentang waktu tertentu, yang seringkali membagi ciri-ciri sosial, budaya, dan teknologi yang serupa. Setiap generasi memiliki pengalaman dan perspektif yang berbeda, yang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah dan perkembangan teknologi pada masa mereka.

Dr. Alexis Abramson dalam laman BBC mengungkapkan adanya pembagian generasi akan memengaruhi perilaku, persepsi, nilai, dan kebiasaan.

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik [BPS] mengelompokkan populasi Indonesia dalam enam generasi, yaitu Post Generasi Z [Post Gen Z], Generasi Z [Gen Z], Milenial, Generasi X [Gen X], Baby Boomer, dan Pre-Boomer. Dalam sensus penduduk 2020, Gen Z dan Milenial mendominasi penduduk Indonesia yang per September 2020 mencapai 270,20 juta jiwa. Gen Z berjumlah 74,93 juta atau 27,94% terhadap total penduduk, Milenial 69,38 juta jiwa [25,87%], Gen X 58,65 juta jiwa [21,88%], Baby Boomer 31,01 juta jiwa [11,56%], Post Gen Z 29,17 juta jiwa [10,88%], dan Pre-Boomer 5,03 juta jiwa [1,87%].

Generasi Pre-Boomer yang berjumlah 5,03 juta jiwa [1,87%] dan Baby Boomer 31,01 juta jiwa [11,56 %] menurut sensus tadi, di identifikasi sebagai generasi yang saat ini [2025] berusia 61-79 tahun ke atas karena lahir di pra kemerdekaan hingga 1964. Sedangkan dikatakan generasi Baby Boomer karena adanya ledakan angka kelahiran setelah Perang Dunia II. Generasi ini dikenal kompetitif karena hidup di masa yang minim lapangan pekerjaan. Karakteristik generasi ini di antaranya, berkomitmen mandiri, kompetitif, mempunyai karakter yang matang karena ditempa oleh keadaan yang sulit, tetap mempertahankan adat istiadat dan cenderung kolot, tidak suka terhadap kritik, pekerja keras dan pantang menyerah, workaholic. Juga setia dan rela bekerja keras untuk anak-anak dan keluarganya.

Generasi Baby Boomer [11,01%] dan Pre-Boomer [1,87%] ini, adalah mereka-mereka yang paling mungkin, dengan perannya masing-masing ketika itu, boleh jadi turut berkontribusi menyemai, menopang dan memperkokoh benih-benih keindonesiaan kita pasca kemerdekaan, yang di hari-hari ini, kita peringatinya dengan label “80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia”. Juga pembentuk dan pelindung keluarganya yang tahan banding. Menghargai mereka, setara memberi bobot kemanusiaan yang sama dengan generasi setelahnya, yang lebih nyaman hidupnya. Mereka terlahir ketika negara ini mulai fokus membangun fondasi ekonomi dan kesejahteraan bagi warganya. Ancaman kolonialisme hingga potensi disintegrasi bangsa relatif tak lagi berpengaruh. Maka, rasanya tak terlalu perlu jika negara ini harus punya panti jompo, atau panti werdha, sebuah instrumen kebijakan untuk mewadahi hari senja kelompok usia ini dalam kasus di atas, atas nama ‘kesibukan’ anak-anak mereka, sebagaimana kisah yang viral tadi. Ini cara menjijikkan, tak pantas dan sangat tak manusiawi memperlakukan mereka. Perilaku anak-anak begini, tak sekedar untuk tak bisa dibenarkan, tetapi juga layak dihukum dengan instrumen hukum negara. Bisa saja ditafsirkan sebagai tindakan penghinaan atas martabat dan harga diri yang luar biasa.

Tete Ali dan Om Ogono dari Morotai ini, hanyalah dua sosok renta yang bisa dibilang mewakili potret kecil kelompok usia Pre-Boomer dan Baby Boomer di Indonesia saat ini, yang bermukim di Morotai, di provinsi Maluku Utara. Di pelosok dan sudut Indonesia lainnya, masih banyak segmen ini, yang satu-satunya “penjara” bagi mereka, adalah perlakuan dan kebijakan tak manusiawi dan berkeadilan. Perlakuan itu bisa bersifat personal, dari cara kita semua memandang dan memperlakukan mereka. Ini bisa diwakili niat mulia polisi Sibli dari Polres Morotai yang viral itu, beserta tim kreatornya, yang juga direstui anak perempuan Tete Ali dari akun Facebooknya. Meski juga, ada silang pendapat yang menyertai perlakuan terhadap mereka, itu soal sudut pandang. Sedangkan kebijakan itu, menunjuk perhatian negara. Sejauh yang diketahui, kebijakan bantuan sosial melalui Program Keluarga Harapan [PKH] dari Kementerian Sosial RI, dipandang tak cukup mewadahinya.

Entah di daerah lain di Maluku Utara, yang belum terkonfirmasi hingga tulisan ini deadline. Dan juga daerah-daerah lain di Indonesia. Tapi kita beruntung punya kepala daerah yang peka. Dan itu, ada di Halmahera Tengah saat ini. Bupati Ikram Sangadji menemukan jawaban atas kepekaan itu untuk memberikan insentif ke kelompok ini. Sangat manusiawi alasannya, seperti di ungkap Wakil Bupati Halmahera Tengah Ahlan Djumadil, agar kelompok lansia di daerah ini, terjaga dari sisi kesehatan, usia harapan hidupnya makin membaik, atau bertahan lama. Ini karena kondisi ekonomi mereka di masa tuanya juga terjaga. Alasan lain, ada harapan menurunkan angka kemiskinan. Kebijakan ini dimulai sejak 2024 dengan nilai per usia lansia Rp 300.000/ orang. Di 2025 naik menjadi 400.000/ lansia per bulan. Di tahun 2024, kebijakan ini mengcover 2.210 lansia dengan nilai Rp. 7.532.700.000./ tahun. Di tahun 2025 menjadi 3.029 orang, dengan nilai Rp. 14.539.200.000./ tahun. Ini tersebar di 61 Desa, 11 Desa Persiapan, di 10 Kecamatan. Kriterianya cukup kreatif dan cermat dalam menyisir “celah”. Ini hanya untuk lansia yang bukan pensiunan PNS dan TNI-Polri, juga bukan Pengusaha. Ini bentuk keadilan dari kualitas sebuah kebijakan yang hebat. Bagi saya, kebijakan begini jauh lebih mulia dibanding memberikan insentif kepada para imam masjid dan stafnya, para pendeta, dan pekerjaan sejenis lainnya.

Kapasitas fiskal sebuah daerah bisa saja hebat, tapi belum tentu memberi jaminan bahwa kualitas kebijakan pasti bagus. Kita butuh kualitas kebijakan, tak semata uang. Dan itu hanya ada di tangan kepala daerah yang cukup kepekaannya dalam melihat celah masalah.

Dan segmen usia ini memang sepantasnya diperlakukan setara dan adil. Andai saja variabel gizi, kesejahteraan hidup, dan perhatian kita, tak menjadi hakim untuk harus cepat renta dan tak berdaya, mereka juga punya impian yang panjang. Mereka pasti ingin bekerja keras sebagai tanda syukur atas nikmat Tuhan. Itu karena dasarnya, segmen kelahiran ini, memang bertipikal pekerja keras.

Teta Ali dan Om Ogono, hanya titik kecil sampel yang mewakili wajah kelompok lansia di negara dan daerah ini, yang tak cukup beruntung saja. Padahal kita sudah terlampau bangga mengklaim diri sebagai negara Pancasila. Bandingkan dengan kelompok Pre-Boomer dan Baby Boomer di negara lain. Di negara-negara maju, dengan rata-rata usia harapan hidup yang lebih tinggi, karena variabel gizi dan kesejahteraan, mereka bisa melancong berkeliling dunia dengan kapal pesiar mewah di setiap waktu. Mereka menyinggahi Indonesia, menyinggahi Maluku Utara, yang di sana, ada banyak ‘Tete Ali’ dan ‘Om Ogono’ lainnya, sedang bertaruh kepahitan hidup, hingga hanya bisa pasrah di sisa usianya. Dirgahayu 80 Tahun Republik Indonesia. Wallahua’lam. (*)