Oleh: Risal M. Nur

Ketua Bidang Pengembangan Aparatur Organisasi HMP2K PC DKI Jakarta

_______

DESA Kurunga di Kecamatan Kepulauan Joronga, Kabupaten Halmahera Selatan, dinilai memiliki potensi besar dalam pengembangan sektor pertanian, khususnya komoditas unggulan seperti cengkeh dan pala. Namun hingga kini, potensi tersebut belum dikelola secara optimal akibat minimnya dukungan infrastruktur, pendampingan teknis, dan akses pasar yang masih terbatas.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Pertanian Halmahera Selatan, produksi cengkeh di wilayah ini menunjukkan tren kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2018, total produksi cengkeh Halsel tercatat mencapai 767 ton, dengan luas lahan mencapai 3.990 hektare. Sementara produksi pala mencapai 605 ton pada tahun yang sama, dengan areal tanam seluas 8.007 hektare.

“Potensi Desa Kurunga tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika dikelola dengan pendekatan pertanian berkelanjutan dan didukung oleh pemerintah kabupaten, Kurunga bisa menjadi salah satu sentra rempah yang signifikan di Maluku Utara,” ujar seorang akademisi pertanian dari Universitas Khairun Ternate.

Dengan asumsi proporsi luas lahan sebanding dengan desa-desa lainnya di Halsel, Kurunga diperkirakan memiliki sekitar 80–200 hektare lahan aktif rempah. Estimasi tersebut berpotensi menghasilkan 7 hingga 12 ton pala, dan 5 hingga 10 ton cengkeh per tahun. Nilai ekonomi dari hasil ini bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap musim panen, bergantung pada fluktuasi harga pasar.

Untuk diketahui, harga cengkeh di wilayah Maluku Utara saat ini berkisar antara Rp80.000 hingga Rp120.000 per kilogram, sedangkan pala relatif lebih stabil di angka Rp90.000 per kilogram.Namun harga kerap jatuh saat musim panen raya, sehingga petani desa kerap dirugikan.

Menanggapi hal tersebut, sejumlah tokoh masyarakat dan pemerhati pertanian mendorong Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan untuk mengambil langkah konkrit dalam mengembangkan sektor pertanian di Kurunga.

Beberapa rekomendasi yang muncul antara lain: penyediaan bibit unggul dan pelatihan teknis pertanian berkelanjutan, pembentukan koperasi tani untuk memperkuat akses pasar dan posisi tawar petani, serta peningkatan infrastruktur pendukung seperti jalan tani dan fasilitas pasca-panen.

Selain itu, hilirisasi produk melalui pengolahan pala dan cengkeh menjadi minyak atsiri, bubuk kemasan, maupun produk herbal siap jual dinilai sebagai solusi untuk menambah nilai jual dan memperluas pasar. Sertifikasi organik dan indikasi geografis juga menjadi strategi branding jangka panjang.

Dengan dukungan kebijakan berbasis data, serta kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Desa Kurunga berpeluang besar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal berbasis pertanian. Potensi rempahnya tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga kebanggaan daerah yang dapat mengangkat nama Halmahera Selatan di kancah nasional dan internasional.

Menapak Jejak Sejarah: Rempah yang Mengguncang Dunia

Cengkeh dan pala bukan hanya komoditas ekonomi. Di tanah Maluku Utara, keduanya adalah warisan sejarah yang membentuk peradaban. Ternate dan Tidore, dua kesultanan besar yang pernah berjaya di Kepulauan Maluku, adalah titik awal dari jejak global rempah Nusantara.

Rempah-rempah ini dijuluki sebagai “emas hitam dari Timur”, lebih bernilai dari emas di mata bangsa Eropa. Portugis, Spanyol, Belanda, hingga Inggris berlomba menguasai Ternate dan Tidore demi memonopoli perdagangan rempah.

Sultan Ternate dan Tidore memainkan peran penting dalam menjaga kedaulatan atas perdagangan ini, bahkan menjalin diplomasi dan perlawanan terhadap kolonialisme. Di sinilah kekayaan rempah bukan hanya sumber pangan dan ekonomi, melainkan juga simbol identitas politik, kedaulatan budaya, dan perlawanan atas penjajahan.

Melalui jalur rempah inilah Maluku Utara dikenal dunia. Bahkan dalam literatur Eropa, Ternate dan Tidore menjadi ikon dunia Timur yang eksotis dan strategis. Buku Clove and Nutmeg Wars dan The Spices That Changed the World menggambarkan bagaimana aroma cengkeh dari Maluku mampu mengubah peta kekuasaan global.

Menghubungkan Sejarah dan Masa Depan di Kurunga

Potensi yang dimiliki Desa Kurunga hari ini sejatinya adalah kelanjutan dari sejarah besar yang dimulai di Ternate dan Tidore ratusan tahun lalu. Oleh karena itu, pengembangan pertanian rempah di Kurunga tidak boleh sekadar dilihat dari sudut pandang ekonomi semata, tetapi juga sebagai upaya restorasi sejarah dan kedaulatan pangan lokal.

Penutup: Dari Kurunga untuk Indonesia dan Dunia

Dengan dukungan kebijakan berbasis data serta sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha, Desa Kurunga berpeluang besar menjadi simbol kebangkitan pertanian rempah Halmahera Selatan. Cengkeh dan pala bukan hanya kenangan sejarah, tetapi bisa kembali menjadi penopang ekonomi desa, pembuka peluang ekspor, dan pengangkat martabat daerah di pentas nasional dan global.

Dalam semangat sejarah yang diwariskan oleh Ternate dan Tidore, sudah saatnya pemerintah melihat Kurunga sebagai titik strategis dalam revitalisasi kejayaan rempah Indonesia dari akar rumput. (*)