Oleh: M. Jain Amrin

________

DI tengah gegap gempita wacana “Indonesia Emas 2045”, negeri ini berdiri bagai orator ulung yang fasih melafalkan mimpi, namun sering gagap ketika diminta merawat akar yang menopangnya yakni pendidikan.

Pemerintah silih berganti menjanjikan pembentukan generasi unggul, berdaya saing global, dan siap menghadapi kompleksitas zaman. Namun di lapangan, kenyataan justru menampilkan wajah lain, sekolah-sekolah yang reyot, guru honorer dengan bayaran yang tak sepadan, dan ketimpangan akses pendidikan antarwilayah yang kian menganga.

Pendidikan kita hari ini, dalam banyak hal, sedang merintih dalam diam. Ia bukan lagi rumah teduh bagi tumbuhnya nalar, tetapi telah menjadi beban kebijakan yang terus diutak-atik tanpa arah yang jelas.

Negeri ini terlalu sibuk menata mahkota narasi, tanpa menyadari bahwa tiang-tiang penopangnya mulai rapuh. Kita berbicara tentang revolusi industri 5.0, kecerdasan buatan, dan ekonomi digital, tapi lupa bahwa di pelosok, anak-anak masih berjalan kaki menyusuri lumpur untuk mengeja huruf. Mereka tidak hanya tertinggal secara geografis, tetapi juga secara politis, karena mereka bukan prioritas.

Data dari Badan Pusat Statistik dan laporan UNESCO menunjukkan bahwa kualitas pendidikan nasional masih sangat timpang. Banyak daerah tertinggal bahkan belum menyentuh standar minimum pelayanan pendidikan. Literasi rendah, guru dibebani administrasi yang berlebihan, dan anggaran pendidikan sering kali lebih banyak mengalir ke pusat ketimbang ke kebutuhan dasar di lapangan.

Lantas, bagaimana mungkin sebuah bangsa berbicara tentang kejayaan 2045, jika hari ini pun masih gagal memastikan hak belajar yang layak? Bagaimana bisa kita mengejar masa depan, ketika masa kini pun belum sanggup kita benahi?

Pendidikan bukan sekadar instrumen pembangunan; ia adalah denyut nadi bangsa. Ia bukan proyek lima tahunan, tapi fondasi peradaban. Maka bila negara terus abai, jangan heran jika kelak Indonesia Emas hanya menjadi mitos manis dalam brosur perayaan, bukan kenyataan dalam kehidupan rakyat.

Hari ini, yang dibutuhkan bukanlah lebih banyak pidato. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata: menyelamatkan pendidikan dari pinggiran, membangunnya dari akar, dan menjadikannya pusat dari segala cita-cita. Karena tanpa pendidikan yang bermutu dan merata, segala mimpi tinggal kata.