Oleh: Yunita Kadir
Jurnalis
________
“Sepenggal Interupsi atas Keadilan”
AWAL Agustus 2025, Indonesia dicengangkan dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto. Ya, abolisi dan amnesti. Dua kata yang seolah menjadi mantra suci untuk menyucikan dua warga Indonesia yang sama-sama tersandung kasus korupsi.
Mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, dibebaskan dengan abolisi yang diberikan oleh Presiden Prabowo Subianto. Putusan itu sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 18 Tahun 2025 tentang Pemberian Abolisi yang telah diterima Kejagung RI. Padahal, Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara.
Pada Oktober 2024, Kejaksaan Agung RI telah menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka. Dirinya juga, sempat mendekam di jerugi besi Rutan Salemba cabang Kejari Jakarta Selatan sebelum bebas dari Rutan Cipinang di Jakarta Timur pada 1 Agustus 2025.
Selama satu tahun berjalan, mulai 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016, Tom Lembong melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 515.408.740.970,36 yang merupakan bagian dari kerugian keuangan negara sebesar Rp 578.105.409.622,47.
Atas perbuatannya, Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Abolisi dari Presiden Prabowo Subianto melalui pertimbangan persetujuan DPR RI tentang Pemberian Abolisi. Abolisi adalah penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan pidana, kepada seorang terpidana yang bersalah melakukan delik, yang diberikan oleh presiden.
Abolisi bisa dilakukan presiden karena presiden merupakan pihak yang memiliki kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan bersifat umum, dan kekuasaan pemerintahan yang bersifat khusus. Adapun pemberian abolisi termasuk ke dalam kekuasaan khusus.
Alasan abolisi terhadap Tom Lembong adalah rekonsiliasi dan persatuan.
Selain Tom Lembong, Hasto Kristiyanto yakni Sekjen PDI Perjuangan juga menerima amnesti. Alasan amnesti karena kasus yang menjeratnya dinilai memiliki dimensi politik dan dianggap menghambat stabilitas nasional, jika terus berlanjut.
Kalau saja alasan abolisi dan amnesti adalah demi rekonsiliasi dan persatuan, serta kepentingan politik semata, lantas untuk rakyat kecil yang ditindas, apakah tidak bisa mendapat hak yang sama dengan dua tokoh nasional ini!.
Misalnya, pada kasus 11 warga Desa Maba Sangaji, di Halmahera Timur, Maluku Utara yang saat ini baru akan disidangkan oleh Pengadilan Negeri Soasio Tidore Kepulauan.
11 warga adat ini adalah pejuang tanah adat dari para “mafia” tambang” di wilayah hutan adat mereka. Mereka dituduh dan ditangkap oleh Polda Maluku Utara lantaran menghalangi aktivitas PT Position, anak perusahaan dari Harum Energy.
Belasan orang ini bukan politisi, pejabat, atau koruptor. Mereka hanya rakyat jelata yang menyambung hidup dengan bertani.
Kebun dan hutan jadi ladang mata pencarian mereka. Kalau tidak ke kebun, mereka pergi memancing ikan di sungai-sungai dekat kampung mereka. Tetapi sekarang, tempat-tempat itu sudah tidak bisa lagi dimanfaatkan karena tanah dan air sudah tercemar oleh limbah tambang.
Mirisnya lagi, mereka yang berjuang mempertahankan hak atas tanah adat, malah disangkakan sebagai tindakan kriminal. Mereka diintimidasi dan dikriminalisasi. Parahnya lagi mereka harus meninggalkan anak dan istri mereka berbulan-bulan, dan mendekam di sel sejak 16 Juni 2025.
Berkaca dari kasus Tom Lembong dan Hasto, apakah kasus warga adat Desa Maba Sangaji ini, tidak bisa mendapat abolisi? Padahal mereka mempertahankan hak tanah adat. Sedangkan Tom Lembong, jelas-jelas telah merugikan negara sampai Rp515 miliar lebih.
Dalam kasus Hasto, amnesti diberikan karena kasus yang menjeratnya dinilai memiliki dimensi politik dan dianggap menghambat stabilitas nasional, jika terus berlanjut.
Kalau saja pemberlakuan abolisi atau amnesti bisa diberikan kepada 11 warga Maba Sangaji, itu artinya hukum di Indonesia adil dan merata, dan bukan hanya berpihak pada elite politik.
11 warga disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikam senjata tajam tanpa hak, dengan ancanam penjara selama 10 tahun.
Bayangkan saja, oknum pejabat merugikan negara ratusan miliar diberi kebebasan. Sementara rakyat kecil yang mempertahankan hak atas tanah adat mereka malah terancam 10 tahun penjara. Di mana letak keadilan di negeri ini? Apakah Pancasila masih dipakai? Apakah rakyat kecil tidak bisa dibela? Miris melihat hukum di negeri yang mengutamakan “duit”.
Jika alasan polisi menggunakan UU Darurat, kami masyarakat awan pun bertanya. Apanya yang darurat, pak?
Salah satu akademisi fakultas hukum di Universitas Khairun Ternate, Abdul Kadir Bubu, juga pernah menyentil langkah Polda Maluku Utara atas penangkapan terhadap 11 warga tersebut dengan dalih UU Darurat.
Abdul bilang, aparat keamanan mestinya paham dengan kondisi di Halmahera Timur. Warga di sana (Haltim) kebanyakan berprofesi petani. Lalu di mana letak salahnya, jika mereka ke hutan atau ke kebun membawa tombak atau parang atau senjata tajam lainnya yang biasa digunakan di tempat seperti itu. Pada saat aksi, mereka ditangkap dengan alasan menghalangi aktivitas tambang PT Postion, sehingga mereka harus ditangkap dan ditahan. Apakah para aparat keamanan ini pernag berfikir, bahwa mereka yang ditangkap ini hanya memperjuangkan hak tanah adat. Belum lagi, 11 warga ini merupakan tulang punggung di keluarga mereka.
Semestinya dari kasus ini polisi maupun pihak kejaksaan atau hakim harus melihat lebih jelih duduk persoalannya, dan membuka mata hati serta memakai hati nurani.
Menurut saya, jika pencuri uang negara ratusan miliar bisa bebas, lalu mereka yang berjuang atas tanah adat, kenapa harus ditangkap? Masak yang mencuri bisa bebas, lalu yang mempertahankan hak ditangkap? (*)
Tinggalkan Balasan