Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

________

Mewariskan jejak kepemimpinan di masa lalu, terkadang bikin miris. Tapi meluruskannya, bisa juga bikin curiga.

INI berita besar. Dini hari tadi, di sekitar pukul 01.30 Wit, saya meneruskan link berita dari tiga media berbeda, yang didapatkan dalam hitungan menit di Twitter [X]. Plaform ini memang dikenal cukup update dan menjadi rebutan market informasi aktual. Media-media yang saya dapati paling awal memberitakan itu adalah kompas.com, gelora.co, dan kompas.tv. Berikut berita media lainnya yang saling susul dan meramaikan beranda X.

Melansir Kompas.tv, DPR RI menyetujui surat Presiden Prabowo Subianto terkait pemberian amnesti untuk 1.116 terpidana termasuk Sekretaris Jenderal atau Sekjen PDI Perjuangan [PDI-P] Hasto Kristiyanto. Keputusan itu diambil DPR dalam rapat konsultasi bersama pemerintah, Kamis [31/7/2025].

Mengutip detiknews, dalam konferensi pers soal pemberian amnesti kepada Hasto dan abolisi untuk Tom Lembong, Menteri Hukum [Menkum] Supratman Andi Agtas menyebutkan pihaknya kini telah menyiapkan pemberian amnesti. Dari 44 ribu napi, 1.116 orang memenuhi syarat mendapatkan amnesti.

“Kementerian Hukum dalam proses menyiapkan beberapa kasus untuk diberi amnesti yang pertama kali, terhadap 44 ribu orang. Tetapi setelah kami verifikasi hari ini baru yang memenuhi syarat yakni 1.116,” ujar Supratman. Dia juga menyebutkan nantinya akan ada tahapan kedua pemberian amnesti. Pada tahap kedua, direncanakan 1.668 napi akan mendapatkan amnesti.

Dari kompas.com, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan, kasus hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dihentikan setelah Tom mendapatkan abolisi. “Yang namanya abolisi, maka seluruh proses hukum yang sedang berjalan itu dihentikan. Ya dihentikan,” katanya. Dia juga tak menepis bahwa pengampunan yang diberikan kepada Eks Menteri Perdagangan [Mendag] Thomas Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bagian dari perayaan kemerdekaan RI ke-80 pada 17 Agustus 2025. Thomas Lembong diampuni lewat skema abolisi. Sedangkan Hasto menggunakan prosedur amnesti.

Sedangkan mengutip erakini.id, pemberian grasi, amnesti dan abolisi, punya sejarah panjang sejak era Presiden Soekarno hingga Joko Widodo. Perlakuan hukum itu didapat antara lain, mereka yang terlibat dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia [DI/TII] pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan di era Soekarno, para pengikut Fretelin di Timor Timur di era Soeharto, Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan di era B.J. Habibie, Budiman Sudjatmiko di era Abdurrahman Wahid, Schapelle Leigh Corby, terpidana 20 tahun kasus penyelundupan ganja 4,2 kilogram ke Bali pada 8 Oktober 2004 di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga grasi untuk mantan Gubernur Riau Annas Maamun di era Joko Widodo. Juga kepada mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Lantas, apanya yang istimewa dari berita-berita media yang viral itu? Menteri Supratman menyebut dari 44 ribu narapidana, 1.116 orang memenuhi syarat mendapatkan amnesti yang pertama kali di era Presiden Prabowo ini. Nanti ada pemberian amnesti tahap kedua. Dan nantinya akan menyasar 1.668 narapidana akan mendapatkan amnesti. Jadi yang istimewanya, “obral” jenis perlakuan hukum ini.

Karib saya, Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta Taufiq Fredrik Pasiak, yang juga seorang ilmuan otak dan prilaku di Indonesia, menulis di akun Facebooknya, @Taufiq Pasiak. Saya mengutipnya: Tahun 2014 kami meriset isi pikiran kedua capres waktu itu (Jokowi dan Prabowo) melalui analisis ratusan potongan video saat beberapa kali debat Capres, dengan menggunakan alat bernama FACS (Facial Acting Coding System). 2014 kami menemukan pola pada kedua Capres. Sayangnya, oleh kondisi politik yg tidak kondusif, temuan riset itu tidak dipublikasi secara lengkap. Hanya sebagian sangat kecil yang dipublikasi di jurnal Biomedik UNSRAT. [silakan Anda cari: Taufiq Pasiak FACS Jokowi, Prabowo].

Kalau hari ini ada abolisi, maka bagi saya bukan hal mengejutkan dan sudah saya prediksi dalam diskusi-diskusi terbatas dengan beberapa kawan.

Mengapa saya bisa prediksi? Karena mode default kepribadian Presiden Prabowo, saya kenal dengan baik: Seseorang yang keras dan tegas, tapi “rasa kasihan” terlampau besar.

Pada beberapa titik, “rasa kasihan” ini dimanfaatkan oleh sejumlah orang untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dia akhiri dengan emoji jempol buat Presiden Prabowo.

Potongan video talk show di kanal Youtube, pernyataan mantan Presiden Abdurrahman Wahid [Gus Dur] itu, masih tersimpan rapi, beliau yakin bahwa Prabowo adalah orang yang paling ikhlas untuk rakyat Indonesia.

Saya bukan pengamat politik, apalagi ahli hukum. Tapi serial tulisan pendek saya di beberapa media, ada judul, 100 Hari Kerja Presiden Ksatria, Menambal yang Bocor. Sudah jelas, mengomentari 100 hari kerja Presiden Prabowo, apa yang dibuatnya. Sebuah narasi yang diulas dan dikontekskan sedikit detail oleh Syaiful Bahri Ruray, ketika memberi pengantar pada buku saya yang akan terbit nanti, Klik Sisi Lain, Kompilasi Esai Ringan Tentang Sisi Lain Kehidupan, yang juga diberi endorsement oleh karib ilmuan otak dan prilaku tadi. Juga ada judul esai lainnya, Kejujuran Sang Presiden Ksatria, yang mencoba menangkap lanskap lain sang presiden pengobral grasi dan amnesti ini, dari pernyataan Gus Dur itu.

Yang terbaca sejauh ini, memang banyak sekali spekulasi yang berkembang, “menafsir” hingga menggiring konteksnya ke urusan-urusan elektoral politik dan kekuasaan, dan macam-macam. Itu sesuatu yang lumrah dalam persepsi publik karena memang hal yang “tak biasa”. Bisa di bilang ada lompatan filosofi berpikir dalam kebijakan, out of the box. Kalau saja dimaksudkan membuat ‘sensasi’ agar terlihat berbeda, hingga mengaitkan konteksnya ke urusan elektoral politik dan kekuasaan, buat apa harus menyisir jumlahnya yang ribuan itu? Cukup “menemukan” oknum terpidana dan narapidana potensial jadi “pengganggu”, untuk mengajak mereka jadi “pendukung” saja. Biar mereka saja yang menggerakkan yang ribuan itu.

Namun saja dalam rentetan sejarah pemberian grasi, amnesti dan abolisi, di berbagai era kepresidenan tadi, pertimbangan menjaga persatuan dan keutuhan bangsa, selalu jadi salah satu poin pentingnya, sebagaimana diungkap Menteri Supratman.

Korelasinya dengan karakter dan tipikal “pemimpin pemaaf”, bisa diwakili unggahan karib ilmuan otak tadi. Tetapi latar pendidikan hingga kiprahnya di dunia militer, yang sering dilekatkan predikat “ksatria”, pertimbangan khas kenegarawanan memang terkesan dominan. Apalagi bila mewarisi jejak kepemimpinan sebelumnya yang tak terlalu bikin ‘enjoy’. Atau sebut saja kasarnya mewariskan beban besar dan luar biasa. Jadinya, menambal yang bocor, potongan judul tulisan saya itu.

Tetapi juga, semua ini tentu tak akan luput ‘celah’, jika kriteria, metode verifikasi dan klasifikasi dalam menentukan urutan prioritas perlakuan-perlakuan hukum itu. Kepekaan dan sensifitas rasa adil, akan dipertaruhkan.

Ini contohnya. Mengutip Kompas.com, atas pertanyaan wartawan, Kejaksaan Agung mengatakan abolisi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada Mantan Menteri Perdagangan [Mendag] Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dalam kasus korupsi impor gula hanya berlaku secara perorangan atau personal, bukan untuk semua terdakwa kasus gula tersebut.

Sampel lain, diunggah karib Ashgar Saleh di akun Facebook @Asghar Saleh ll: Saya berterima kasih kepada Presiden Prabowo karena menggunakan hak prerogatifnya untuk membebaskan Tom Lembong dan Hasto. Meski banyak yang memahami ini sebagai manuver politik dengan lanskap kenegarawanan, tetapi bagi saya, Presiden sedang menegakkan marwah “keadilan”, sesuatu yang sudah lama hilang dari kehidupan bangsa ini.

Atas nama “keadilan” itu, saya sungguh berharap Presiden menggunakan hak yang sama untuk membebaskan 11 warga Maba Sangaji yang harus menjalani proses pengadilan karena menolak aktivitas tambang di wilayahnya yang berpotensi menghancurkan lingkungan dan masa depan mereka.

Jika Presiden berpihak pada warga Maba Sangaji maka level kenegarawanannya akan terus dikenang di masyarakat bawah yang selama ini selalu kalah saat berhadapan dengan negara.

Kasus yang dimaksud Asghar adalah efek hukum yang menjerat, akibat perlawanan mereka pada kegiatan eksplorasi bahan tambang di Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara, yang sedang berproses saat ini.

Dan, ini komentar saya di unggahannya: Mewariskan jejak kepemimpinan di masa lalu, terkadang bikin miris. Tapi meluruskannya, bisa juga bikin curiga, disertai emoji sedang senyum canda. Wallahua’lam. (*)