Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

________

Siang tadi di Twitter (X), saya membaca beberapa topik berita di beberapa media.

Mengutip media SINDOnews, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf alias Gus Ipul telah menghentikan penyaluran bantuan sosial (bansos) kepada 200.000 lebih penerima manfaat. Hal itu dilakukan lantaran penerima bansos diduga menggunakan dana tersebut untuk bermain judi online (judol).

Gus Ipul menjelaskan, keputusan itu berdasarkan hasil pemadanan data antara 30 juta NIK serta rekening penerima bansos dengan data 9 juta NIK pemain judol yang ditelusuri oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

“Ketemulah lebih dari 600.000 yang ditengarai penerima bansos ini juga ikut bermain judol. Dari 600.000 itu, sudah 200.000 lebih yang kita tidak beri bansos lagi,” kata Gus Ipul, Rabu (30/7/2025). Di sebuah WAG, Ko Ipul–sapaan Syaiful Bahri Ruray, mengomentari guyon, bahwa uang bansos bisa berpindah dalam sekejap ke bandar-bandar judi online di Kamboja.

Di detikSport, ada berita kekalahan timnas Indonesia di Piala AFF U-23 kemarin. Judulnya, Dominasi Ball Possesion, Indonesia Tanpa Hasil. Saya mengutip sedikit utuh isi berita itu: Jakarta – Timnas Indonesia mencatatkan penguasaan bola yang luar biasa di Piala AFF U-23 2025. Tapi, Dominasi Garuda Muda seakan tanpa hasil. Di final Piala AFF U-23 2025, Indonesia kalah 0-1 dari Vietnam. Saat bertanding di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (29/7/2025), gol dari Nguyen Cong Phuong, yang menjadi penyebab kekalahan tim Merah-Putih.

Indonesia harus gigit jari dan rela melihat Vietnam berpesta di SUGBK, juga gagal membendung Golden Star Warrior mencatatkan hat-trick di Piala AFF U-23.

Di sepanjang Piala AFF U-23 2025, Indonesia tak pernah kalah dari lawan dalam hal ball possession. Di situs ASEAN United, Indonesia mempunyai rata-rata ball possession sebesar 71,2 persen.

Indonesia mencatatkan penguasaan bola paling besar saat melawan Brunei Darussalam. Dalam laga pertama Grup A, Kadek Arel cs sampai membukukan 86 persen ball possession.

Mengingat kualitas Tabuan Muda, dominasi Indonesia merupakan hal lumrah. Dalam laga itu, Indonesia menang 8-0 atas Brunei.

Indonesia memang masih dominan menguasai bola dalam empat laga berikutnya. Tapi, tim asuhan Gerald Vanenburg kesulitan saat tim lawan melakukan middle block dan pressing tinggi.

Melawan Filipina, Indonesia diuntungkan gol bunuh diri. Sementara melawan Malaysia, Indonesia bermain imbang 0-0. Berhadapan dengan Thailand, Indonesia berjuang sampai adu tendangan penalti. Dan di final Piala AFF U-23 2025, Indonesia mendominasi ball possesion dengan 68 persen. Meski demikian, Indonesia kesulitan mendekati kotak penalti lawan.

Selain melawan Brunei, Indonesia lebih banyak mengalirkan bola di daerah pertahanan sendiri. Kurangnya kreativitas di lini tengah membuat Indonesia kesulitan untuk menembus daerah sepertiga akhir lawan.

Jumlah passing Indonesia di sepanjang Piala AFF U-23 2025 memang fantastis, 3.049 kali, dengan akurasi mencapai 89 persen. Tapi, kalau dilihat lebih detil lagi passing pada penggawa Garuda Muda lebih banyak di antara pemain belakang saat memancing pemain lawan keluar dari posisi bertahan.

Sudah jarang mendapatkan peluang, Indonesia juga bermasalah dalam pemanfaatan kesempatan. Konversi peluang Indonesia menjadi gol Indonesia cuma di angka 16 persen.

Berita lainnya, di detiknews, perdebatan soal mekanisme pemilihan kepala daerah, langsung atau melalui DPRD, usai Mendagri Tito Karnavian buka peluang terkait wacana pemilihan kepala daerah atau pilkada melalui DPRD.

Partai Golkar tertarik pada wacana tersebut, tapi tetap masyarakat perlu terlibat. Setidaknya, diwakili sekjennya Sarmuji. Menurut Sarmuji, pemilihan langsung memiliki keunggulan, terutama soal partisipasi publik, tapi bukan berarti tidak ada hal buruk. Sedangkan mekanisme dipilih melalui DPRD dinilai efisien tapi kerap dikritik karena menjauhkan rakyat dari proses demokrasi. Sarmuji melanjutkan, penting untuk mencari titik tengah antara efisiensi dan partisipasi. Jika pilkada melalui DPRD dipilih karena lebih hemat biaya, partisipasi publik tetap harus dilakukan dengan memberi masukan kepada calon pemimpinnya.

Diketahui juga, Presiden Prabowo Subianto, di depan banyak elit partai dalam acara sebuah partai politik besar, HUT Partai Golkar ke 60 di Sentul, beberapa waktu lalu, melempar ulang wacana ini. Beliau mengakui sistem pemilihan kepala daerah [Pilkada] di Indonesia terlalu mahal. Ada puluhan triliun uang yang keluar hanya dalam waktu 1-2 hari saat Pilkada. Berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing. Sang presiden lalu membandingkannya dengan sistem di beberapa negara tetangga lain seperti Malaysia, Singapura, dan India, yang lebih efisien dibanding Indonesia. Dan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, dalam pidaronya malam itu, dengan lantang menyampaikan agar sistem politik kita perlu dikaji ulang dan meminta restu kepada Presiden Prabowo agar Golkar yang memulai membangun kajian itu, dan langsung direspon presiden dalam pidatonya. Mungkin maksudnya menunjuk fakta pemilihan kepala daerah secara langsung yang baru saja dilaksanakan.

Di BERITA SATU, kader Partai Golkar lainnya, Melkias Mekeng, memberi penilaian bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung tak memberi garansi daerah bakal tambah maju. Pasalnya, banyak kepala daerah terpilih karena politik uang, sehingga mereka lebih sibuk dan memilih cari uang saat memimpin untuk memperkuat jabatannya di periode kepemimpinannya. Alih-alih membuat kebijakan yang inovatif bagi daerahnya, mereka malah tergantung pada kebijakan pusat.

Simpul topik berita-berita diatas, setidaknya ada pada tesis, “melihat celah peluang”, dan tentu memanfaatkan peluang itu secara sengaja.

Bantuan sosial, yang lebih familiar dengan bansos, sebuah terminologi yang paling dekat dan lekat dengan memori kaum fakir. Nama dan modelnya bisa berganti menurut rezim berkuasa, tetapi esensinya sama: “memasukan makanan ke mulut orang miskin”, bantuan langsung dan tunai, berbentuk uang. Meski juga, kriteria jumlah dan standar orang miskin itu, banyak versinya. Versi Bank Dunia misalnya, berbeda dengan BPS kita.

Poinnya bagi saya, adalah ketika kita melekatkan konteks moral pada kasus begini. Tak bermaksud melegalkan bahwa orang miskin bisa melipatgandakandakan nilai uangnya, meski sifatnya spekulatif, berbentuk judi online, tetapi konteksnya tak terlalu tepat. Jika opsinya hanya 2, berspekulasi dengan judi online atau mati karena ketiadaan makanan yang harus dimakan, apakah kita cukup yakin mereka akan memilih mati?. Juga, apakah “hak” berjudi online hanya dikenai pada orang kaya dan para pejabat kita?. Ini soal lain. Buktinya, banyak orang kaya hingga pejabat kita juga terindikasi bermain judol. Mana yang lebih dahsyat efek buruknya yang mengguncang sendi-sendi ekonomi negara, uangnya orang kaya dan para pejabat yang miliaran, yang ada di ATM itu, ataukah uang receh di dompet lusuh kaum fakir?. Sekali lagi, tak bermaksud melegalkan orang miskin memilih berjudi, tetapi juga tak perlu menjadi berita besar seolah-olah kita adalah orang-orang suci yang terpelihara dari dosa. Sudah terlalu banyak predikat buruk yang dikenai pada kaum fakir, jangan ditambah lagi. Berikan saja haknya sesuai aturan. Soal peruntukannya, belum mendesak diperdebatkan. Langit belum runtuh besok.

Berikut soal berita kekalahan timnas U-23 kita di Piala AFF. Tiga pertandingan berbeda, dengan dua lawan yang berimbang, bahkan bisa dibilang musuh bebuyutan, dengan penguasaan bola dominan yang baru pernah terlihat selama ini ditangan pelatih baru, tentu bukan hal sepele. Ini luar biasa. Tetapi tetap saja mereka tak mampu memanfaatkan peluang itu, yang tentu membuat publik bola negara ini kecewa. Mereka tentu tak kurang makan seperti kaum fakir tadi. Ini tim sepakbola negara. Tak usah tanya fasilitas yang didapat. Meski urusan sepakbola di lapangan, kadang juga “berjudi” dengan keberuntungan, dengan urusan banyak variabel. Bisa saja karena variabel starting eleven, strategi pelatih, kepemimpinan wasit, hingga dukungan suporter. Belum lagi di luar lapangan, urusan mafia dan pasar taruhan. Tetapi poinnya tetap sama, tak mampu memanfaatkan peluang, sebuah potret “perjudian” berbiaya mahal.

Bagaimana soal korelasi mekanisme pemilihan kepala daerah langsung, atau dengan sistem perwakilan melalui DPRD, bagi partai politik?. Perjudian juga. “Berjudi” dengan kalkulasi-kalkulasi politik untuk mengakses perwakilan mereka di lembaga perwakilan rakyat, bagi yang menghendaki pemilihan tak langsung. Sebaliknya, sama. Ini bukan soal biaya dan berbagai sumber daya yang mahal seperti pemilihan langsung saat ini. Semua itu bukan urusan partai. Ini urusan kepentingan politik. Memangnya berapa banyak elit partai kita yang terlihat bermental negarawan?. Kita pernah punya pengalaman dengan Pilkada melalui DPRD. Setelah itu Pilkada langsung saat ini. Jika harus kembali lagi ke Pilkada tak langsung, itu masih logis. Kita telah menemukan nilai pembandingnya. Tetapi dalam urusan politik pemilihan kepala bagi partai politik, jangan percaya bahwa semua itu adalah format Pilkada yang ideal. Dan tak perlu kaget jika kelak, kita balik lagi. Bisa jadi semua hanya cerita kosong.

Kita, memang hanya sedang “berjudi”. Bedanya, ada yang berjudi dengan kecerobohan, ambisi, hingga kerakusan. Dan kaum fakir yang tak lagi diberi bantuan sosial tadi, mungkin saja sedang berjudi dengan penderitaan dan nestapanya, sekedar untuk bisa sedikit ‘naik level’, dari menu kesehariannya yang berasa ubi, ke berasa nasi, meski mungkin tanpa lauk. Wallahua’lam. (*)