Oleh: Fuadsul Nurdin

Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair dan Anggota Independensia

_______

SENIN pagi yang cerah dalam perjalanan menuju Ternate atau kota Ternate dari pelabuhan speedboat Sofifi atau ibu kota Sofifi atau kelurahan Sofifi, saya membuka beranda Facebook, dan beberapa media. Di tengah laju speedboat yang stabil, tenangnya laut, suara debur ombak dan matahari yang tengah merangkak menuju pukul 8, penuh takzim saya membaca tulisan-tulisan terbaru dengan argumentasi progresif lagi menggelitik. Saya suka.

Sebagai mukadimah diskusi, tulisan adalah ajakan, memantik dialog, menyampaikan nasehat, berbagi cerita, juga mengungkapkan fakta dan mungkin saja propaganda. Tulisan yang telah selesai ditulis menjadi milik pembaca, karena penulis tidak lagi memegang kendali tafsir untuk setiap kepala, sebab tidak semua yang ditulis adalah kitab suci yang sarat akan dogma yang minim digugat juga dikritik.

Layaknya Muhammad Tabrani Mutalib membaca Ashgar Saleh dalam tulisannya, saya juga ingin serupa; “Membaca tulisannya Pak Tabrani”, yang adalah balasan dari hasil pembacaan Pak dosen untuk Abang Gha, sapaan akrab dari Ashgar Saleh.

Tidore versus Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi. Bang Gha menuliskannya dengan judul: “Tidore dan Titik Nol”. Sebagai tanggapan, muncul: Membaca Ulang “Tidore dan Titik Nol” oleh Muhammad Tabrani Mutalib.

Perihal ini, gubahan Hendra Karianga: “Problematik Pembentukan DOB Sofifi, sebuah kajian yuridis pun dengan tajuk: “Emergency Exit untuk Ibu Kota” oleh Hendra Kasim juga menarik dijadikan pembanding pada sebagian tulisan ini untuk rezim yang menyentuh aspek yang menjadi bidang ketiga penulis sekaligus akademisi ini.

Tulisan yang boleh disebut tanggapan atas tanggapan ini lebih tepat disebut interupsi, menjadi pembuka untuk masuk, sebab selanjutnya beberapa diantaranya ialah dukungan, dan pengakuan atas suguhan opsi kebijakan yang bisa ditempuh sebagai alternatif, oleh mereka: Dua Dosen saya di Fakultas Hukum Unkhair, satunya Direktur Eksekutif PANDECTA (Perkumpulan Demokrasi Konstitusional), pun sedikit ulasan singkat dari uji materil Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 yang dimohonkan dua dosen Fakultas Hukum Unkhair oleh Gunawan A. Tauda, S.H., LL.M. dan Abdul Kadir Bubu, S.H., M.H, yang kemudian berbuah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XIX/2021.

Tulisan – putusan itu menari, berkelindan di antara narasi sejarah, hukum, hingga kesejahteraan masyarakat, tata ruang dan pembangunan di seberang yang dikawinkan dengan DOB, perubahan nomenklatur ibu kota Sofifi ke kota Tidore Kepulauan, juga kawasan khusus.

Sesekali tempat yang masih disebut kelurahan yang berada di kecamatan Oba Utara, kota Tidore Kepulauan, itu rasa-rasanya belum menemukan kata yang pas untuk menunjukkan statusnya, pun kalimat yang ideal untuk dinamai: Apakah saya ini sekadar kelurahan? Mungkinkah saya layak disebut ibu kota? Dan apa saya bisa menjadi DOB?

Jikalau ia manusia, maka peribahasa yang cocok untuk Sofifi ialah: “Hidup segan mati tak mau”. dikata ibu kota, dicap juga bukan kota. Maka apakah ia hidup sebagai ibu kota ataukah ibu kota yang sedang tak bernyawa. Sebab ia tidak sungguh hidup, benar-benar mati pun tidak.

Sungguh mati!

Sajian kebijakan dan pilihan untuk Sofifi itu sarat akan syarat. Layaknya putusan hakim, dalam menafsirkannya bukan ranah tempat salah dan benar, melainkan baiknya dan seharusnya bagaimana dengan basis argumentasi yang mengiringinya. Karena sejatinya ada saja dalil untuk mendukung, pun membatalkan dalam setiap pilihan bersikap.

Selalu ada nawaitu yang baik pada setiap baris kata – kalimat tentang Sofifi, bahwa status Sofifi harus memiliki kejelasan. Namun, sebagai sebuah pembelaan untuk Sofifi di dalam tulisan “Membaca Ulang Tidore dan Titik Nol”, yang dijunto-kan dengan “Sofifi: Ibu Kota Tanpa Kota”, dan “Kepastian Sofifi: Menanti Ketegasan Pemerintah Pusat” oleh Pak Tabrani, kiranya perlu direnungkan kembali.

Logika yang dibangun Muhammad Tabrani dalam tulisan pertama menanggapi Abang Gha, rasanya kurang tepat saya katakan dalam diskursus ini, jika itu dimaksudkan bahwa sejarah kurang memiliki privilege, keuntungan, keistimewaan atau nilai tambah secara objektif ketika berbicara soal Sofifi.

Ketidaktepatan pertama itu berada pada kalimat: “Kebijakan pemerintahan modern tidaklah bertumpu pada silsilah kerajaan atau simbol kejayaan masa lalu. Negara Indonesia lahir dari kesepakatan politik yang memisahkan identitas adat dan struktur administrasi. Menuntut hak fiskal dan wilayah atas dasar memori kejayaan adalah bentuk anachronism-memaksakan masa lalu ke dalam logika masa kini”. Selain itu, ketidaktepatan berikut ada pada penegas bidasan beliau di akhir tulisan: “Terakhir, tulisan ini menurut saya bernilai secara sosiologis dan emosional, tetapi lemah secara logika dan metodologi kebijakan publik. Ia condong menjadi narasi advokatif ketimbang evaluasi objektif atas pilihan pemekaran dan tata ruang”.

Sederhananya kalimat itu menjelaskan, Sultan telah kehilangan pengaruh saat ini pada pemerintahan modern di kalimat yang pertama, dan narasi yang dibangun tersebut kesannya terlalu “membela” ketimbang menyentuh logika prosedural yang menjurus pada pilihan pemekaran dan tata ruang untuk kalimat kedua, itulah yang disebut Pak Thabrani dengan “Evaluasi objektif” yang kurang disentuh Bang Gha, jika dibalik mengikuti logika kalimat Pak Dosen, maka bisa dibahasakan: “Terlalu subjektif” tulisannya Bang Asghar Saleh.

Kedua penggalan kalimat itu perlu dilengkapi juga dengan cuitannya di Facebook bergambar Alexander Gerard Baron Vander Capellen agar dapat ditanggapi secara lengkap tanpa mengurangi rasa hormat saya sebagai mahasiswanya:“Beliau yang paksa Sultan-sultan itu serahkan dong pe kemerdekaan dan kedaulatan politik termasuk kekuasaan “riil” kewilayahan. Peristiwa itu so 208 tahun lalu. Sejak saat itu kesultanan itu hanya simbol budaya, tidak punya kekuasaan politik nyata”.

Narasi sejarah itu tidak utuh dan jauh dari kenyataan yang sebenarnya jika diorbitkan untuk Tidore, bahkan bernilai secara sosiologis dan emosional itulah yang sebenarnya lebih menguatkan untuk dilogikakan ketimbang hanya bergantung pada metode kebijakan publik dan hukum. Sebab jangan lupa, bahwa bukan 208 tahun lalu atau bahkan yang lebih lama lagi, 80 tahun silam ketika diplomasi mengiyakan Sultan Zainal Abidin Sjah, Sultan Tidore yang memiliki kuasa politik yang nyata seperti pendahulunya, akhirnya mendaulat wilayahnya termasuk Papua bergabung dengan Indonesia. Lalu sebagai sebuah penghormatan sejarah dan politik yang tidak benar-benar melepas kuasa Sultan terhadap daerah, sang Sultan menerima permintaan Presiden untuk menjadi Gubernur Irian Barat. Dan itu bukan “Luka kolektif yang terus diulang” demi kepentingan tidak melepas Sofifi sebagai DOB.

Baru 80 tahun, maka kita jangan amnesia tentang sejarah, atau alergi karena sebelum dua ratus tahun ketika orang-orang asing itu datang sampai orang-orang itu pergi dan mati. Kuasa, juga pengaruh kesultanan khususnya Tidore telah ada sejak 917 sampai hari ini.

Memang, sejak bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), nyatanya kesultanan dipandang tidak lagi memegang pengaruh dalam urusan negara, karena telah berpindah kepada mandat yang sah sesuai apa yang diatur undang-undang; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kita menyebutnya dengan kota/kabupaten yang dikepalai oleh wali kota dan bupati. Tapi jangan salah, lewat langkah kolabarotaif dan kesatuan visi yang sama, bersama kepala daerah itulah kesultanan masih menunjukkan eksistensinya bahwa mereka tidak hanya simbol budaya, penjaga adat se atorang yang hanya ada di dalam catatan-catatan sejarah. Melainkan juga penentu keputusan-keputusan penting. Itulah kenapa, kalimat “Sejarah memang penting sebagai cermin, tetapi kebijakan publik harus ditentukan oleh keadilan prosedural, efektivitas teknis, dan visi ke depan” tidak berlaku universal, ada pengecualian dan perlu direvisi kembali.

Apalagi dengan kalimat counter: “Tidore digambarkan sebagai “Ibu” yang terus diamputasi, baik dari sisi wilayah, fiskal, maupun kehormatan sejarah. Kalimat semacam ini menyentuh hati, tapi dalam logika kebijakan, ini disebut argumentum ad misericordiam-logika yang meminta pembenaran karena penderitaan masa lalu, bukan karena argument rasional”.

Sejujurnya dalam kalimat “Tidore diamputasi”, didasarkan pada logika kebijakan, wilayah dan fiskal, Tidore justru dirugikan ketika DOB dilakukan tanpa pertimbangan yang progresif lagi objektif. Kenapa demikian? Karena sangat mempengaruhi Transfer Pusat Ke Daerah (TKD) yang diatur di dalam pasal 106 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang terlepas beberapa dari faktor lain. Di mana DBH, DAU, dan DAK sebagaimana disebutkan pada huruf (a),(b), dan (c) bergantung pada wilayah, pun jumlah penduduk.

Ambil contoh pasal 125 ayat (1) yang berbunyi: DAU untuk tiap-tiap Daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal untuk 1 (satu) tahun anggaran. Kemudian ayat (2) sampai dengan ayat (4), berbicara soal kebutuhan fiskal daerah, potensi pendapatan daerah yang dijumlahkan dari potensi PAD, alokasi DBH, dan DAK nonfisik. Ini artinya apa? Melepas wilayah di bagian Oba, artinya kehilangan wilayah, kehilangan jumlah penduduk, yang berpengaruh pada menurunnya Tranfer Pusat Ke Daerah (TKD) oleh karena akumulasi-akumulasi potensi yang dimiliki, begitu juga kinerja daerah.

Maka sebenarnya argumen dari Bang Gha jelas sangat rasional: “Tidore diamputasi”. Maka selanjutnya yang dipikirkan tentang kebijakan yang diambil, tentu harus mengcover suntikan dana, dan menjamin Tidore akan baik-baik saja.

Masalah lainnya adalah, pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sangat tegas mengharuskan persyaratan dasar, juga administratif yang selanjutnya diuraikan di pasal 37 huruf b angka (2), bahwa membutuhkan “persetujuan bersama DPRD kabupaten/kota induk dengan bupati/wali kota Daerah induk”, sebagai salah satu syarat pemekaran.

Faktanya, Sultan Tidore, Wali Kota Tidore, dan Ketua DPRD Kota Tidore bersama massa berada dalam satu barisan aksi di depan Kedaton Kesultanan Tidore, dan bukan di kantor wali kota dengan nama gerakan yang tergabung dalam “Presidium Rakyat Tidore”, terang-terangan mengabil sikap: “tegas menolak DOB”.

Sebuah sinyal bahwa lampu hijau masih sangat jauh. Kiranya pernyataan sikap Gubernur: “DOB Tergantung Pemerintah Pusat”, tidak berada di bawah payung hukum yang kuat dan jalan yang mulus ketika tidak diridai oleh para figur pemegang mandat pesetujuan tersebut.

Pengaruh kesultanan nyatanya terselip pada makna tersirat undang-undang dalam bahasa “persetujuan daerah induk”, terintegrasi, juga berkorelasi dan berjalan simultan dalam tubuh kebijakan. Keadaan itu benar terjadi, ada dan tidak tertulis.

Aturan yang berlaku tidak melarang DOB, tidak pula memerintahkan DOB, tetapi karena ia dianggap butuh, dan kepentingan mendesak dalam konteks pembangunan dan perpanjangan negara di daerah. Ia diatur, maka semua sah-sah saja dilakukan, selama mengikuti tata cara dan prosedur yang disediakan oleh negara melalui undang-undang.

Hendra Karianga di dalam tulisannya: Problematik Pembentukan Sofifi juga kurang lebih mengungkapan hal yang sama, bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara Pasal 9 ayat (1) yang mengatakan “Ibukota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi” sudah 25 tahun lamanya, sayangnya Sofifi yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan sekaligus pembangunan di Maluku Utara ini masih jauh dari kenyataan, dan secara tidak langsung menginginkan Sofifi sebagai daerah otonom.

Sebagaimana mediator memediasi, dengan mempertimbangkan Tidore di pihak lain beliau menempat posisi yang ideal, hati-hati dan tidak tergesa-gesa melihat masalah ini.

Gesekan demi gesekan terjadi, dua kepentingan antara Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kota Tidore beradu, dipertontonkan, ketidakharmonisan dipertujukan. Tapi bukan itu yang kita inginkan bersama, apalagi melihat ini secara hitam dan putih tanpa solusi. Perlu adanya solusi win to win dengan daya tawar politik dan kebijakan tanpa merugikan satu pihak dan pembangunan tetap didorong.

Selalu ada jalan menuju “Roma” hanya saja jalan prosedural-persetujuan itu sedang ditangguhkan dengan perhitungan yang matang dan penuh pertimbangan.

Kita perlu sadari, bahwa mensrea (niat) Wali Kota Tidore Kepulauan Muhammad Sinen dan juga Sultan Tidore Husain Sjah tidak sama sekali bermaksud negatif dengan “berkeberatan melepaskan wilayah adiministratif”. Meredamnya Wali Kota harus komitmen dan konsisten melakukan pembangunan yang berkeadilan sekaligus memenuhi janji politik dan hak-hak masyarakat Oba sebagai entitas masyarakat bagian dari Kota Tidore Kepulauan secara merata.

Sayangnya narasi itu tidak cukup dan kadang dinilai mengawang-ngawang, jauh dari memuaskan jika sebagian yang lain beranggapan tidak merasakan kehadiran pembangunan yang dikehendaki dengan fakta-fakta nyata di lapangan: Jalan-jalan yang rusak, fasilitas pelayanan publik minim atau tidak memadai, akselerasi (percepatan) dan pertumbuhan masih dipertanyakan.

Padahal ibu kota provinsi seharusnya menjadi poros ekonomi, role model pembangunan dan pelayanan, dan tata ruang diantara sepuluh kabupaten/kota di Maluku Utara, dan penghubung sekaligus mendorong kemajuan ekonomi Pulau Halmahera, mendengarnya dari diskusi kecil sebagai bentuk gugatan dan tanggapan kawan yang ngopi di kafe komune, bahwa dengan begitu Sofifi harus dimekarkan menjadi DOB.

Di dalam Kepastian Status Sofifi: Menanti Ketegasan Pemerintah Pusat, dan Sofifi Ibu Kota Tanpa Kota, Pak Tabrani meramu dan mengusul langkah-langkah strategis. Membandingkan usulan DOB Sofifi dan DOB di Papua. Papua boleh, dan kenapa tidak dengan Sofifi.

Padahal jika ditelisik, masalah pembentukan DOB di Papua lebih kompleks sehingga tidak perlu menunggu moratorium secara nasional. Ini sedikit berbeda dengan Sofifi di Maluku Utara, jika sama, maka mungkin usulan DOB Sofifi ditindaklanjut lebih dulu.

Pembentukan DOB Sofifi juga digambarkannya sebagai kepentingan nasional dan demi efektivitas provinsi. Maka Presiden sebagai pemerintah bisa menggunakan kewenangan diskresi untuk mendorong ini. Dengan beberapa rekomendasi yang diberikan: Peraturan Pemerintah, penunjukan administrator, atau RUU pemekaran.

Berbekal Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 yang dibuah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000 dan tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Undang-Undang Nomor 23 Tentang Pemerintahan Daerah, narasi yang dibangun bapak dosen saya rasanya kurang adil, sebab mengabaikan kepentingan daerah induk di sisi yang lain.

Saya tahu, ini hasil dari pikiran dan kajian beliau sebagai seorang akademisi dan guru yang juga saya menaruh hormat padanya. Tetapi saya selalu ingat, bahwa dalam novel yang berjudul “Bumi Manusia”, Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Maka langkah yang dipikirkan sebelum diambil sebagaimana yang telah dituliskan, kiranya harus juga demikian.

Seperti Pak Thabrani, Pak Hendra Karianga, tulisan Hendra Kasim atau dikenal Bang Hen juga hadir memperkaya khazanah diskursus ini, yakni Emergency Exit untuk Ibu Kota dengan salah satu kalimat yang menarik, bahwa “Pemekaran wilayah tidak selamanya atau setidak-tidaknya bukan satu-satunya solusi mewujudkan cita-cita sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dari sana ia mengemukakan tiga ide besar: Pertama, menorong DOB Sofifi, yang dibayangi fakta bahwa “Selang beberapa tahun setelah periode tumbuh suburnya pemekaran waktu itu. Kementerian Dalam Negeri menyatakan 60 persen daerah gagal berkembang, berdasarkan laporan Kemendagri sebagaimana dikutip Kompas, pemekaran wilayah tidak hanya gagal mewujudkkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, justeru menambah daftar panjang salah Kelola pemerintahan yang berdampak pada minimnya rakyat sejahtera”. Ini tentu menjadi momok.

Kedua, usulan Kota Tidore Kepulauan sebagai ibu kota yang dapat dilakukan dengan, executive review, legislative review, dan judicial review. Kemudian yang ketiga yaitu, usulan Sidangoli sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara, “namun bukan pilihan terbaik, dengan adanya fasilitas pemerintahan yang telah dibangun di Sofifi”.

Berkaitan dengan judicial review yang disebutkan Bang Hen, hal ini pernah ditempuh, tapi karena dianggap tidak memiliki legal standing oleh Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima”.

Namun, jikalau kita menyelami beberapa poin di dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XIX/2021 itu, kita akan menemukan uraian yang bernilai akademis, politis, dan historis yang sarat dengan konsekuensi-konsekuensi logis dari kemungkinan-kemungkinan alternatif kebijakan yang dapat diambil.

Mulai dari keputusan tidak memekarkannya Sofifi menjadi DOB, bahkan membiarkan ia mendapat sedikit sentuhan dan perlakuan kebijakan dengan keberadaan statusnya saat ini yang boleh dibilang tidak jelas, maka sungguh sangat mempengaruhi kualitas derajat pembangunan di Sofifi yang terbilang terus stagnan.

Kemudian pilihan menjadikannya kawasan khusus, yang diwacanakan diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kawasan khusus Sofifi, namun tidak bisa ditindaklanjuti karena tidak memiliki fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis bagi kepentingan nasional di Sofifi. Berbeda dengan Morotai sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), melalui Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2014. Sebab Morotai memenuhi kepentingan strategis nasional sebagai daerah tertinggal, terluar, dan terdepat (3T) di Indonesia, dan pertahanan negara sebagai Kawasan Angkatan Perang (Pangkalan Militer Terpadu).

Tawaran lain yang diketengahkan oleh pemohon adalah, membentuk Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan Pembangunan Sofifi, atau Perpres Kawasan Khusus Sofifi di Kota Tidore Kepulauan. “Akan lebih baik” begitu kata pemohon jika Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang perubahan kedua UU Maluku Utara, yang salah satu materi muatannya, khusus Pasal 9 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi: “Ibu Kota Propinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi, Kota Tidore Kepulauan,”.

Kenapa demikian, karena tertulis secara tegas oleh pemohon, bahwa “Pembentukan Sofifi dalam kondisi apapun tidak boleh mengorbankan Kota Tidore Kepulauan”, sehingga rekomendasi lain juga muncul dengan memasukan aspek historikal sejarah Tidore sebagai penghargaan atas kontribusinya terhadap negara, dengan menjadikan Tidore sebagai Kota Istimewa Tidore atau Kota Khusus Tidore.

Kendati demikian, uraian pokok permohonan yang demikian panjangnya, juga menyentuh aspek regulasi, kepantasan dan kelayakan Sofifi, pemohon kembali menginginkan Mahkamah Konstitusi dalam salah satu poin petitumnya, bahwa “Menyatakan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Maluku Tenggara Barat, dipersingkat – bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ibu Kota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi, Kota Tidore Kepulauan”.

Sampai hari ini setelah Putusan itu keluar, belum juga kita mendengar ada permohonan yang diajukan kembali ke Mahkamah Konstitusi, upaya hukum mungkin masih dicari ancang-ancangnya saat ini.

Namun naas, di tengah perdebatan dan diskusi membaca peluang kebijakan untuk Sofifi, kabar tidak mengenakan datang dari Kantor Gubernur Maluku Utara di Gosale Puncak dua hari lalu. Ketika demonstran pendukung pro DOB dari beberapa kampung di daratan Oba dan dari Pulau Tidore yang menolak memanas, suasana mencekam, konflik pecah: saling lempar dan menjual pukulan antar masa membuat aparat kewalahan, hal ini tidak boleh terulang kembali. Di sisi lain, peristiwa penting antara Sultan Tidore, dan Mendagri Tito Karnavian memberi kabar menenangkan dari Jatinangor, tepatnya di Kampus IPDN saat hajat besar para Praja menjadi Purna dilaksanakan.

Ini menarik, tapi jangan terlena. Kemungkinan-kemungkinan terburuk akan terjadi, jalur-jalur hukum mungkin akan dijejaki setelahnya. Rimba norma dan undang-undang akan dimasuki, entah oleh Pemerintah Kota Tidore Kepulauan (Presidum Rakyat Tidore). Dan yang Pro DOB, Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Majelis Rakyat Sofifi).

Karpet merah terbuka lebar lewat judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), sebab hanya pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dengan DPRD Kota Tidore Kepulauan dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan DPRD Provinsi Maluku Utara lah yang memiliki legal standing (Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015). Bagaimana dengan cara lain? Dapat ditempuh melalui legislative review.

Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk mengubah pun menambahkan norma: “Menambah Kota Tidore Kepulauan di belakang kata Sofifi, dalam pasal 9 ayat (1) sebagai petitu pemohon dalam putusan MK sebelumnya (bisa dicoba kembali oleh Pemerintah Kota Tikep) ataukah menambah ayat yang berisi perintah dengan limit waktu tertentu, kemudian Sofifi dijadi daerah otonomi baru untuk pemerintah provinsi yang menginginkan pemekaran.

Politik tingkat tinggi akan dimainkan, entah di eksekutif review (Lobi lewat Presiden dan DPR RI) sebagai pemegang mandat pembentukan dan perubahan UU, ataukah lewat judicial review, ranah unjuk argumentasi hukum, strategi juga taktik meramu isu sejarah, politik, kelayakan, juga urgensi. Sebab di dalam ruang siding, selalu ada dalil-dalil untuk mendukung DOB, begitu juga dengan menolaknya.

Kita akan lihat, dalam waktu yang tidak terlalu lama, jika benar-benar diseriusi, tim hukum salah satu pihak atau keduanya mungkin dibentuk, secara diam-diam atau terang-terangan, mereka akan menuju Jakarta dengan maksud ke senayan, pun persidangan untuk sebuah misi penting.

Perang akan dimulai, dan pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian mungkin bisa berubah, bisa juga bertahan ketika palu Ketua DPR RI atau Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi diketuk, nanti.

Terlepas dari itu, di tengah tarik-menarik status Ibu Kota dengan segala harapan, ketakutan dan kemungkinan-kemungkinannya. Gubernur dan juga Aparatur Sipil Negara (ASN) harus benar-benar sadar untuk memandang Sofifi sebabagi kawasan pemerintahan. Yang harusnya segala kegiatan, sebisa mungkin dilakukan di Sofifi, dengan memanfaatkan segala ruang layak milik pemprov. Sehingga tak ada alasan kegiatan yang dilakukan lebih terpusat di Kota Ternate. Bukankah itu yang juga diinginkan dari slogan: “Sofifi Rumah Kita”? Jangan sampai Sofifi hanya menjadi rumah kontrak dan rumah singgah. Wallahuallam. (*)