Tandaseru — Ketika tanah adat diobral, dan suara-suara penolakan dibungkam dengan gas air mata dan pasal-pasal pidana, masyarakat adat Maba Sangaji tak sendiri. Gerakan #SaveAru, yang selama ini dikenal lantang membela hak-hak masyarakat adat Kepulauan Aru, kini menyatakan solidaritas penuh terhadap warga Halmahera Timur, Maluku Utara, yang tengah dikriminalisasi karena menolak tambang.

“Mereka tidak menolak pembangunan. Mereka hanya ingin dihormati di atas tanah leluhurnya,” kata Mika Ganobal, aktivis adat yang juga penerima Right and Resources Initiative (RRI) Award 2025 di Kathmandu, Nepal.

11 warga adat Maba Sangaji hingga kini mendekam di tahanan Kejaksaan Negeri Soasio Tidore Kepulauan, setelah ditetapkan sebagai tersangka sejak Mei lalu. Mereka yang selama ini hidup dari tanah, air, dan hutan, justru dijerat pasal-pasal pidana berat.

Warga dikenai Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12/1951 (membawa senjata tajam tanpa izin), Pasal 162 UU No. 3/2020 tentang Pertambangan (merintangi tambang berizin), dan Pasal 368 KUHP (pemerasan dan pengancaman).

Bagi Mika, ini adalah contoh nyata penggunaan hukum sebagai alat represi terhadap masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidupnya.

“Penolakan masyarakat adat Maba Sangaji terhadap PT Position bukan penolakan atas pembangunan. Tapi bentuk perlawanan terhadap pengabaian hak-hak atas tanah adat mereka,” ujar Mika, yang juga merupakan tokoh masyarakat adat dari Kepulauan Aru, Maluku.

Sebagai sesama masyarakat adat di wilayah Maluku, Mika menegaskan komitmen solidaritas terhadap perjuangan Maba Sangaji. Ia menyebut bahwa bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar fungsi ekologis, tetapi juga ruang sakral yang diatur oleh hukum adat, relasi spiritual, dan keputusan kolektif.

“Hutan adalah sumber hidup, ruang belajar, dan warisan leluhur. Itu sebabnya harus dijaga,” tegas Mika.

Dalam aksi damai yang digelar pada Mei lalu, warga turun ke jalan menolak tambang, namun justru dibalas aparat dengan tindakan represif. Mika mengecam keras tindakan itu.

“Alih-alih membuka ruang dialog, aparat malah membubarkan aksi dengan gas air mata dan kekerasan,” ucapnya.

Mika menyoroti bahwa warga tidak pernah dilibatkan sejak awal dalam proses perencanaan maupun pemberian izin tambang oleh negara dan korporasi. Tidak ada konsultasi, tidak ada persetujuan adat. Tiba-tiba, tanah leluhur mereka ditetapkan sebagai wilayah tambang.

“Mereka hanya mendengar kabar bahwa lahan mereka telah berizin untuk dikeruk. Tapi tidak pernah ada dialog, apalagi surat,” katanya.

Gerakan #SaveAru menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat terhadap 11 warga yang ditahan, dan meminta negara menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

“Negara harus menyelesaikan konflik seperti ini dengan adil dan partisipatif,” tandasnya.

Sahril Abdullah
Editor
Sahril Abdullah
Reporter