Tandaseru — Sultan Tidore Husain Alting Sjah membuat pernyataan terbuka yang ditujukan kepada Presiden RI Prabowo Subianto. Dalam pernyataan yang ditayangkan kanal media sosial Kesultanan Tidore, Selasa (8/7/2025) malam, Sultan Husain menyinggung dua poin penting.
Poin pertama adalah soal usulan Sultan Zainal Abidin Sjah (1912-1967) sebagai pahlawan nasional. Sultan Tidore ke-35 itu berjasa menggabungkan wilayah kekuasannya, yang meluas hingga ke Papua, ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keputusan bergabung dengan NKRI diambil sang sultan saat pemerintah Belanda menawarkan tiga opsi kepadanya, yakni bergabung dengan Belanda, bergabung dengan NKRI, atau membentuk negara sendiri dengan Papua.
Sultan Zainal juga merupakan Gubernur Irian Barat pertama (1956-1961). Ia ditunjuk Presiden Soekarno di tengah memanasnya hubungan antara Indonesia dan Belanda terkait Irian Barat.
Menurut Sultan Husain, Kesultanan Tidore dan Pemkot Tidore Kepulauan sudah dua kali mengusulkan Sultan Zainal sebagai pahlawan nasional. Namun hingga kini usulan tersebut belum direspons pemerintah pusat.
“Kami juga tidak tahu alasan mengapa tokoh yang begitu dihormati belum mendapat tempat untuk menjadi pahlawan nasional,” ujar Sultan Husain.
Ia mengingatkan, bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.
“Sultan Zainal sangat berjasa membantu Soekarno sehingga lobi menjadikan Papua masuk dalam NKRI adalah berdasarkan persetujuan Sultan Zainal. Beliau sangat berperan mengintegrasikan Papua masuk dalam NKRI, dan ibukota Irian Barat saat itu berkedudukan di Tidore,” jabarnya.
Sultan Husain pun meminta pertimbangan Presiden Prabowo untuk memberikan pengakuan atas jasa Sultan Zainal Abidin.
“Sehingga kita dapat mendudukkan dan meluruskan sejarah pada tempatnya yang sebenar-benarnya,” pintanya.
Poin kedua yang diutarakan Sultan Husain adalah soal kedudukan ibukota provinsi Maluku Utara. Ia memaparkan, saat pemekaran Malut dari provinsi Maluku, ibukota Malut yang dicantumkan dalam undang-undang sedianya adalah Tidore Kepulauan.
“Namun karena satu dan lain hal, hingga tertuang dalam undang-undang menyebut (ibukota berkedudukan) di Sofifi. Sementara Sofifi adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah pemerintahan kota Tidore Kepulauan,” terangnya.
Sultan Husain pun mengusulkan revisi Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 (yang telah diubah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2000) terkait nama ibukota provinsi Malut.
“Revisi nama menjadi ibukota Maluku Utara berkedudukan di kota Tidore Kepulauan, beralamat di Sofifi,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan