Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore
_______
Lebih dari kegelapan malam tanpa terang bintang, adalah kegelapan hati tanpa ilmu pengetahuan.
BUTUH waktu, energi dan risiko buruk yang terpaksa diterima, untuk meyakinkan prinsip kebenaran hingga objektivitas yang bisa dinalar dengan akal sehat dan beningnya nurani.
Di rentang lebih 3 tahun, dengan cara mengingatkan secara langsung hingga sedikit bersitegang, menuangkannya dalam bentuk unggahan di media Facebook, menuliskannya dalam bentuk esai di media, hingga menerbitkannya dan mencetak menjadi buku. Terakhir, mendonasikan buku itu secara cuma-cuma untuk bisa dibaca, dipahami, dan diselami suasana hati dari orang yang merasa terusik dengan cara dan perilaku tertentu.
Masih ditambah lagi berdiskusi dan berbagi pandangan dengan takmir masjid hampir setahun lalu, nyaris ada 10 tulisan pendek bertema sama, yang sudah dimuat media dan di-publish, berharap bisa diselami.
Dan akhirnya “senjata pamungkas” itu terpikirkan oleh karib saya, jamaah di tiris masjid, teguran bernada sedikit ancaman untuk mengurai semua kebuntuan, kalau tak bisa dibilang kebodohan.
Soalnya apa ini? Mudah ditebak bagi yang sering mengikuti tema-tema tulisan pendek saya. Soal apa lagi kalau bukan urusan tetek bengek bunyi pengeras suara yang keras di menara masjid. Soalnya: bunyi pengajian murottal yang keras, di menara masjid yang tak menjulang tinggi, di tiris pemukiman yang padat, ada orang tua yang sakit menahun, dan di kompleks pemukiman yang agak ke belakang berbatasan hutan. Cuma itu? Tidak. Ini yang paling buruk, telah berlangsung di rentang lebih 3 tahun terakhir, seingat saya. Kata teman lain, lebih lagi.
Salahnya di mana? Banyak jamaah yang komplain diam-diam, menggerutu karena sangat mengusik ketenangannya. Komplain yang muncul ke permukaan tak banyak. Yang diam-diam mengomel, alasannya menjaga rasa saja. Meski ini adalah cara menjaga rasa yang salah. Menahan derita demi mengawetkan kebisingan, kalau tak terlalu kasar untuk disebut keburukan. Perilaku yang buruk, maksudnya senang mengutak-atik volume pengeras bunyinya di setiap waktu.
Di mana-mana orang tahu apa itu pengajian murottal, jenis tilawah “tanpa spasi”, nyaris tak berujung. Anda bisa membayangkan mengalami situasi begini karena bermukim di tiris masjid, dengan volume yang keras dan bertahun-tahun lamanya? Bagi yang awam, saya sarankan Anda bisa menemukan artikel tentang pencemaran suara. Di situ pasti Anda paham efek buruknya, tak memandang Anda adalah tipe yang rajin salat dan senang mendengar lantunan ayat-ayat dalam kitab suci atau tidak. Jika Anda pernah berbagi cerita dengan orang yang lama bekerja dalam terpaan bunyi yang keras dan konstan, Anda pasti paham maksud saya. Atau jika Anda percaya ada dalilnya, bahwa jenis pengajian tertentu itu, kalau dipancarkan dari menara masjid dengan keras, akan punya imbalan pahala yang banyak, tolong beritahu saya.
Kita bisa saja yakin seyakin-yakinnya bahwa sesuatu itu salah, buruk, dan nyata-nyata melanggar hak-hak orang lain. Tetapi belum tentu Anda berani melawan dan menghadangnya secara terbuka, meski Anda hafal benar 3 tingkatan sikap menanggapi keburukan menurut ajaran agama. Apalagi bila sedikit menyentuh wilayah keyakinan agama, bikin orang jadi tak waras karena menerima dengan taklid buta karena kurang pengetahuan.
Bagi orang waras, ternyata pilihan jalan keluarnya cukup simpel. Bahkan saya malu menuliskannya di sini, menggantinya dengan tilawah biasa. Volume terserah saja, asal ada “spasi” untuk saling dengar saat berbicara. Atau, jika Anda merasa bahwa rentang tiga tahun lebih, adalah waktu yang belum lama dan Anda merasa belum cukup puas mendengar lantunan murottal, turunkan volumenya dan kurangi intervalnya. Sejatinya, ini hanya sekelas logika dan alasan anak Sekolah Dasar [SD[, tetapi kita menundanya begitu lama. Mubasir. Baru dua hari terakhir ini, opsi mengganti tilawah biasa dipilih. Dan itu membuat lega banyak tetangga. Saya iseng mengirim pesan canda pada karib, yang sering ngotot mempersoalkannya, “sudah datang ilham dan pikiran sudah mulai terang“. Saya sedikit lega dan berniat menambah koleksi tilawahnya dengan qori dan ragam yang lebih “keren”.
Sejujurnya saya takut juga menulis ini, mengklaim telah “sehat” cara berpikir kita terhadap hal-hal yang teramat sepele begini. Bukan apa-apa, cuma takut kambuh lagi seperti yang pernah terjadi berulang.
Setiap kali saya menemui situasi dimana orang tak cukup logis menanggapi sesuatu hal, meski telah berkali-kali di ulangi, saya jadi mengingat 2 hal ini. Pertama, potongan kalimat Imam Al-Ghazali, Lebih dari kegelapan malam tanpa terang bintang, adalah kegelapan hati tanpa ilmu pengetahuan. Kedua, kutipan ini, yang saya dapatkan dari sebuah unggahan.
Apa sih tanda-tanda orang cerdas? Pernah gak, kamu merasa “gak nyambung” di tengah-tengah obrolan circle kamu, terus tiba-tiba mikir, “Apa ini tandanya aku beda?” Tenang, mungkin aja itu salah satu tanda kalau kamu lebih dari sekadar pintar. Nah, ini beberapa tanda yang sering jadi ciri kecerdasan, cek ini: 1. Kamu sering melamun, kayak lagi nonton bioskop di kepala kamu sendiri. Imajinasi kamu gak pernah berhenti. Dan percaya deh, dunia butuh lebih banyak orang kayak kamu, yang bisa lihat sesuatu dari sudut pandang berbeda. 2. Kamu gak ragu cabut dari grup yang gak sefrekuensi. Bukan berarti anti-sosial, tapi kamu tahu nilai waktu dan energi kamu. Daripada buang waktu di lingkungan toxic, mending cari tempat di mana kamu bisa bertumbuh. 3. Kamu punya self-worth yang tinggi. 4. Kamu punya hubungan spesial sama aturan: gak selalu nurut. Kadang, kamu tuh mikir “Apa sih, pentingnya semua aturan ini?” Bukan berarti gak patuh, tapi kamu tahu kapan harus kreatif dan berpikir di luar kotak. 5. Kamu cuma butuh kasih sayang yang tulus. Tanpa drama, tanpa basa-basi. Hubungan yang jujur dan mendalam bikin kamu merasa hidup lebih bermakna. Kamu ngerti kalau menghargai diri sendiri itu penting. Tapi tetap rendah hati, gak perlu selalu pamer untuk buktiin apa yang kamu bisa. 6. Kamu suka menyendiri, tapi gak pernah kesepian. Di balik keheningan, kamu justru menemukan kedamaian. Dan dari situ, kamu bisa melahirkan ide-ide brilian.
Saya berharap kita semua menjadi cukup rasional untuk menanggapi logika ini. Saya juga berharap tulisan ini menjadi media terakhir mengaitkan pecahan-pecahan logika yang tak utuh dalam membangun argumen terhadap sesuatu masalah selama ini. Rasanya capek juga menjelaskan sesuatu yang begitu sepele menjadi berlarut-larut tanpa jejak akhir.
Dan akhirnya, “ilham” itu datang juga. Dan juga untuk sementara, selamat tinggal pengajian murottal. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan