Oleh: Arafik A Rahman
________________
“Pendidikan bukan sekadar menanamkan pengetahuan, tetapi menyalakan cahaya dalam jiwa.” — Rabindranath Tagore
PADA suatu pagi yang jauh di masa depan, di sebuah sekolah bambu yang telah berubah menjadi menara ilmu berlantai kaca biru, seorang anak Morotai menatap ke arah laut dengan buku di tangan dan semangat di dada. Ombak masih berkejaran di pesisir Dodola, tapi di ruang kelas, anak-anak dari Daruba, Bere Bere, Sopi hingga Wayabula sedang berdiskusi tentang energi laut, bahasa dunia dan hak asasi manusia.
100 tahun bukan waktu yang sebentar, namun dalam dunia pendidikan, ia bisa jadi hanya sekejap jika arah tak segera digubah. Visi pendidikan Morotai 100 tahun ke depan bukan sekadar tentang banyaknya gedung sekolah yang berdiri, tapi tentang kualitas manusia yang tumbuh dari ruang-ruang belajar itu. Manusia yang mencintai tanahnya, memahami dunia dan punya daya cipta untuk menata masa depan.
“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa digunakan untuk mengubah dunia.”— Nelson Mandela
Di masa itu, guru bukan lagi hanya pengisi absen dan penghafal silabus. Ia adalah penjaga cahaya peradaban. Guru Morotai adalah petani ilmu yang sabar, yang menanam keyakinan bahwa anak-anak pulau juga bisa mendobrak panggung dunia. Dosen-dosen di kampus lokal bukan hanya pemegang gelar, melainkan pelita yang menghidupkan riset dari laut dan hutan, dari sejarah setempat hingga teknologi masa depan.
Kualitas pendidik adalah nyawa visi ini. Maka tak cukup hanya mendatangkan guru kontrak atau dari daerah lain yang jauh. Harus ada sistem yang melahirkan guru dari rahim Morotai sendiri: anak nelayan yang kembali sebagai sarjana, anak petani kelapa yang pulang sebagai dosen agribisnis, anak yatim yang kini menjadi kepala sekolah dengan visi kepemimpinan yang utuh dan inklusif.
Namun semua itu tak bisa hidup dari harapan semata. Ia butuh anggaran yang pasti, berkeadilan, dan berpihak. APBD bukan sekadar alat ukur kegiatan, tapi mestinya menjadi jantung denyut perubahan. Visi 100 tahun pendidikan Morotai mesti dijaga lewat kebijakan anggaran yang progresif, dengan memastikan bahwa tak satu pun anak putus sekolah karena miskin, tak satu pun kampus terabaikan karena tak dilirik pusat.
Infrastruktur tak kalah penting. 100 tahun ke depan, sekolah-sekolah di Morotai bukan lagi bangunan di tepi sungai yang sering banjir, di pelosok yang gelap saat malam, atau di bukit-bukit terjal yang sulit diakses. Tapi ruang-ruang yang ramah bagi disabilitas, terhubung digital dan kuat terhadap iklim ekstrem. Jalan menuju sekolah harus terang dan aman. Perpustakaan digital harus menjangkau desa.
Dan jaringan internet bukan lagi kemewahan yang menunggu menara, tapi hak dasar yang dibangun dengan kehendak politik yang waras. Visi ini juga harus berpijak pada keberlanjutan. Pendidikan tidak bisa menjadi proyek lima tahunan. Ia adalah napas panjang, yang harus dirawat lintas rezim, dijaga oleh masyarakat dan dipagari oleh mimpi-mimpi jangka panjang.
Dari guru honorer hingga dosen tetap, dari PAUD di desa terjauh hingga kampus lokal yang mulai bersuara, semuanya adalah simpul dalam jaring besar yang bernama masa depan. Dan kita yang hidup di masa kini adalah penabur benihnya. Apa yang kita pilih, rancang, dan perjuangkan hari ini akan menjadi akar bagi pohon ilmu seratus tahun nanti.
Apakah Morotai akan dikenal karena bandara, wisata bahari, sejarah, alam, budaya dan air terjunnya saja? Atau akan disebut sebagai pulau kecil dengan kecerdasan besar yang melahirkan pemikir, penulis dan inovator global? Mari jawab itu dengan kerja, bukan janji. Dengan keberpihakan, bukan basa-basi. Dengan keberanian untuk menanam meski kita mungkin tak hidup saat panennya tiba. (*)
Tinggalkan Balasan