Oleh: Syahyunan Pora
Pengajar Filsafat pada Fakultas Ilmu Budaya & Program Pasca Unkhair/UMMU
________
KONFLIK militer antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat yang telah terjadi dalam beberapa pekan ini, memang tidak terdengar dentuman rudal dan hancurnya gedung-gedung strategis militer serta bangunan sipil di antara pihak-pihak yang bertikai hingga ke Indonesia. Namun ada gema yang menggetarkan arah moral dunia. Dalam perspektif filsafat politik, krisis ini bukan semata benturan militer, melainkan pertarungan atas legitimasi kekuasaan dan nilai etik global. Perang Iran-Israel bisa menjadi cermin untuk kita semua. Bahwa kekuasaan tanpa batas berujung kehancuran, bahwa ketakutan bisa menjadi alat politik, dan bahwa solidaritas memerlukan kecerdasan moral, bukan sekadar emosi.
Memang kita tidak ikut bertempur, tapi berhak menyuarakan etika dalam politik global maupun lokal. Meski kita tidak berada di medan perang, justru kita punya jarak yang cukup untuk memahami konflik dengan jernih, kita bisa menyerap pelajaran moral: bahwa kekuasaan tanpa batas membawa petaka.
Konflik Iran-Israel menjadi kaca pembesar yang mana memperlihatkan wajah asli kekuasaan, wajah ideologi, dan wajah manusia. Akhirnya sebagai warga negara, kita dipaksa berpikir, bertanya, dan belajar untuk berani menyuarakan etika di tengah kebisingan dunia. Ketegangan geopolitik takkan pernah usai jika kekuasaan terus dikendalikan oleh kekuatan senjata, bukan oleh legitimasi moral. Dalam era global yang saling terhubung, kita tidak hanya membutuhkan kekuatan militer yang canggih, tetapi juga kesanggupan etis untuk menahan diri, berdialog, dan membangun dunia bersama. Itulah tugas besar filsafat politik yang seharusnya merasuk dalam kalbu masyarakat modern.
Mengutip pendapat Hannah Arendt, kekuasaan sejati lahir dari konsensus, bukan kekerasan. Dalam bukunya “On
Violence”, Arendt menyatakan bahwa kekerasan muncul saat kekuasaan
kehilangan legitimasi.(1970:36). Dalam perang Iran–Israel kekuasaan
kehilangan makna moral, kecenderungan perdamaian hanya bersandar pada
kekuatan senjata.
Apa Dampaknya Terhadap Indonesia dalam Perspektif Lokal?
Banyak orang menganggap konflik ini jauh dari kehidupan Indonesia, termasuk
Maluku Utara. Tapi faktanya, konflik ini juga dapat memengaruhi stabilitas ekonomi dan harga energi global, yang tentu berdampak hingga ke daerah-daerah seperti Maluku Utara. Harga bahan pokok, distribusi logistik, hingga kelangsungan ekspor-impor bisa ikut terdampak. Jika krisis global makin dalam,
dampaknya bisa terasa pada kelangsungan proyek tambang di Halmahera. Dalam ekonomi global yang saling terhubung, ketegangan geopolitik di Timur Tengah
punya potensi mengguncang sektor industri strategis Indonesia. Indonesia dan negara-negara Global South berada dalam posisi sulit. Apalagi Maluku Utara adalah daerah strategis penghasil nikel dan mineral penting dunia.
Di satu sisi, prinsip politik luar negeri bebas aktif menuntut netralitas, namun di sisi lain, tekanan politik global dan ketegangan regional memaksa kita untuk bersikap. Lebih jauh lagi, Maluku Utara sebagai kawasan penghasil nikel dan logam strategis menghadapi tantangan tersendiri. Masyarakat daerah ini semakin sadar bahwa kekayaan alam mereka berkontribusi dalam rantai pasok global, termasuk industri teknologi dan energi bersih. Namun, pada saat yang bersamaan kesadaran itu juga menimbulkan kecemasan: apakah kekayaan itu benar-benar dinikmati oleh warga lokal, atau hanya diekstraksi untuk kepentingan luar?
Filsafat politik mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa partisipasi adalah bentuk dominasi. Ketika masyarakat tidak merasa memiliki terhadap tambang di wilayahnya karena minimnya transparansi, akses, dan manfaat langsung maka muncul keresahan. Kontrol atas energi dan sumber daya, semua itu menjadi cermin bagi kita untuk bertanya: apakah model tambang kita menjamin keadilan ekologis dan kesejahteraan sosial?
Jika itu menjadi kecemasan global atas
kepentingan Indonesia dalam eskalasi ancaman perang yang berskala lebih luas lagi. Dalam kaca mata filsafat politik realis, perang bukan hanya soal senjata, tapi juga tentang pengaruh dan penguasaan sumber daya dan sumber energi yang ada. Maka, tidak berlebihan jika Maluku Utara, yang tengah tumbuh sebagai “poros nikel dunia”, akan ikut terkena imbas dari konflik yang memperebutkan hegemoni politik dan energi dunia. Namun persoalan yang lebih krusial yang patut dipertanyakan adalah “apakah dampak perang ini juga menjadi dampak
ganda bagi masyarakat di mana tambang itu berada?” Selebihnya waullahualam
bissawab. (*)
Tinggalkan Balasan