Mohammad Ridwan Lessy
(Dosen Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan, Unkhair Ternate)
Kata bencana telah begitu akrab di telinga kita. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat—baik karena faktor alam, non alam, maupun ulah manusia yang mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, serta dampak psikologis.
Sayangnya, meski ada frasa “kerusakan lingkungan” dalam definisi tersebut, kerusakan itu sering kali diabaikan selama tidak ada korban jiwa atau kerugian harta benda. Misalnya, longsor yang terjadi di daerah pegunungan sering kali hanya dianggap sebagai kejadian alamiah biasa jika tidak menimbulkan kerugian material.
Sementara itu, istilah bencana ekologis masih kurang menggema. Padahal, bencana ekologis adalah situasi krisis yang muncul dari rusaknya keseimbangan hubungan antara manusia dan lingkungan. Dampaknya bersifat sistemik dan meluas karena melibatkan berbagai ekosistem.
Alarm itu dari Moloku Kie Raha
Adalah kenyataan bahwa tanah Moloku Kie Raha kaya akan sumber daya mineral. Kekayaan ini menjadi magnet bagi para investor tambang. Hingga tahun 2022, tercatat ada 108 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Maluku Utara. Bahkan, pemerintah menetapkan tiga kawasan hilirisasi industri nikel sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dengan investasi mencapai Rp55 triliun.
Namun, pola pengelolaan yang diterapkan lebih menekankan keuntungan ekonomi ketimbang menjaga kelestarian lingkungan. Pembukaan hutan, pengerukan tanah, dan aktivitas tambang yang tak terkendali telah menimbulkan degradasi lahan, kehilangan kesuburan tanah, menurunnya kualitas air bersih, serta kerusakan ekosistem yang parah. Ancaman banjir, longsor, pencemaran udara, sungai, dan laut kini buka lagi cerita atau berita, tapi nyata.
Peringatan dini dari alam sudah muncul. Banjir dan banjir bandang di Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, meningkat sejak kawasan IWIP dan sejumlah IUP mulai beroperasi. Di Desa Sagea, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih dan kawasan Geopark Gua Bokimaruru pun rusak.
Penelitian Nexus3 Foundation bersama Universitas Tadulako mengungkapkan bahwa air dan ekosistem di Teluk Weda telah terkontaminasi logam berat seperti merkuri dan arsenik, bahkan ditemukan dalam darah warga dan pekerja tambang.
Di bagian lain Maluku Utara, terjadi perubahan warna air laut di Pulau Garaga, pencemaran perairan Pulau Obi oleh besi, nikel, dan merkuri. Di Halmahera Timur, kerusakan lingkungan akibat tambang di Pulau Pakal, Gebe, dan Mabul telah menghancurkan ekosistem pulau kecil yang memiliki kerentanan tinggi dan daya pulih rendah.
Semua ini adalah sinyal bahwa Maluku Utara kini berada dalam status siaga bencana ekologis.
Dampak Nyata
Bencana ekologis berdampak lintas skala lokal, regional, hingga global. Banjir dan longsor mungkin bersifat lokal, namun dapat berulang setiap tahun seiring terus berlangsungnya pembukaan lahan. Kontaminasi logam berat akan berdampak jangka panjang pada tubuh manusia, diturunkan pada generasi berikutnya melalui mekanisme bioakumulasi dan biomagnifikasi.
Secara global, pembukaan lahan masif di Halmahera dan Obi diperkirakan menghasilkan emisi setara 65 Megaton CO₂e. Ini memperburuk perubahan iklim global.
Bencana ekologis bukan sekadar masalah lingkungan, tapi krisis multidimensi yang menghantam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ketika bencana datang terus-menerus tanpa jeda, hadir di luar nalar manusia, maka adaptasi dan mitigasi menjadi keniscayaan.
Pertanyaannya adalah apakah kita akan tetap mengejar pertumbuhan ekonomi sambil meninggalkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)? Padahal SDGs menuntun kita untuk memastikan kesejahteraan masyarakat, keberlanjutan sosial, kelestarian lingkungan, dan kualitas hidup dari generasi ke generasi.
Tinggalkan Balasan