Oleh: Arafik A Rahman (Bung Opickh)
________
KALI ini saya ingin mengajak teman-teman menyelami salah satu kata yang menjadi penentu keadilan dan kesejahteraan bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam benak generasi Orde Lama dan Orde Baru, Pancasila sangat lah dekat dengan nadi dan sanubari mereka. Sementara generasi milenial, Gen Z dan generasi digital hari ini? Entahlah semua tergantung apa yang ada di atas meja; kopi, teh, jus atau bir.
Dulu sebelum Reformasi 1998, Pancasila terdengar sakral dan sakti, tetapi kini Pancasila terdengar bisa-bisa saja seperti sebuah firasat: tak tertulis, ia hanya ucapan lisan yang keluar dari batin lalu datang memadu untuk kembali ke jalan yang benar. Jika Pancasila adalah falsafah bangsa, sudahkah kita menjiwainya? Sudahkah kita merealisasikannya? Sudahkah kita mengerti dari butir ke butir?
Ini soalnya jangankan menjiwai dan mempraktikkan dalam tindakan, menghafal dan memahami saja belum. Coba anda bayangkan anak-anak di sekolah SLTP dan SLTA itu banyak yang belum menghafal dan memahami Pancasila. Kira-kira siapa yang salah? Orang tuanya, gurunya, lingkungannya, kurikulumnya, sistemnya ataukah pemimpin kita.
Bagi saya yang salah pemimpinnya: Top to bottom, karena kebijakan diputuskan dari pemimpin tertinggi. Kalau anda siapa yang salah? Entahlah. Hemat saya, yang paling berperan adalah para pemimpin. Mulai dari presiden, kemudian gubernur, wali kota, bupati dan bahkan kepala desa. Harus ada penegasan untuk memasukkan Pancasila dalam semua aspek kebijakan atau sistem di suatu daerah.
Misalnya kenapa mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) telah direvisi menjadi Pendidik Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Kemudian diganti lagi menjadi Pendidikan Kewarganegaraan atau PKN. Ini salah siapa, menteri pendidikan atau presiden? Pasti presiden. Karena dialah pimpinan tertinggi. Hemat saya dari perubahan dan penghapusan Pancasila dalam elemen pendidikan itulah yang merupakan awal kerusakan moral pemimpin dan generasi kita akhir-akhir ini.
Apa masalahnya sehingga setiap pergantian pemimpin pasti ada menu program yang diubah dan dihilangkan. Silakan hilangkan atau revitalisasi program yang lain. Silakan hilirisasi industri atau permudah visa kunjungan asing. Silahkan bagi-bagi jatah kekuasaan, silakan naikan harga BBM. Silakan hilirisasi industri, silakan perpanjang periodik kepala desa, silakan bekerjasama dengan Israel.
Silakan permudah izin usaha, silakan jual beli ijazah, silakan gratiskan pendidikan dan makan siang tapi jangan hilangkan Pancasila dari elemen mata pelajaran, bang. Pancasila itu penting dalam kurikulum. Coba dikembalikan seperti semula, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dulu, keren kan ada moralnya. Kata Immanuel Kant, “Etika dan moral adalah prinsip yang paling mendasar (deontology) dalam kehidupan manusia. Ia merupakan perintah semesta bukan karena aturan atau norma yang dibuat suatu negara”.
Karena itu, memahami Pancasila sebetulnya tak sekadar tugas warga negara tetapi perintah terhadap tuhan kepada manusia. Itu sebetulnya yang mesti dipahami, bahwa Pancasila adalah perintah Tuhan terhadap manusia. Nilai-nilai itu dikonsepsi dalam bentuk Pancasila. Pernyataannya, apakah negara ini sudah memahami dan mewujudkannya?
Mungkin jawabannya ambigu, ada sebagian orang mengatakan “ia negara telah berjalan sesuai Pancasila” tetapi di sisi lain ada jutaan orang yang berkata “belum bahkan tidak”. Jutaan orang itu, terdiri dari para pekerja yang dipecat dari perusahaan, petani yang lahannya dirampas oleh korporasi, hutan dan sungai yang dirusaki oleh Ekskavator.
Belum lagi pagar laut di Tangerang dan Bekasi, makan siang gratis tapi hanya untuk siswa-siswi yang tak lagi membutuhkan guru. Juga tentang Danantara, para demonstran di Halmahera Timur ditangkap dengan alasan sudah memenuhi unsur pidana padahal mereka adalah penjaga demokrasi. Kesemua itu bisa disebut sebagai “efesiensi”, dan itulah jawaban tentang kesaktian Pancasila.
Padahal Pancasila sejatinya adalah falsafah bangsa Indonesia. Ia datang dari pikiran orang-orang hebat yang ingin menjadikan Pancasila sebagai kompas dalam pelayaran atau sebagai rel jika negara diibaratkan kereta api. Melalui perdebatan dan pemahaman yang filosofis. Bukan sekadar firasat yang sekadar menebak masa depan atau sejenis ahli nujum dalam film Ipin Upin yang menerawang masa depan manusia.
Pancasila adalah buah dari pohon revolusi Indonesia 1945. Kelima butir yang digagas oleh Soekarno, Mohammad Yamin, Soepomo dan tim sembilan lainnya itu tak bukan soal frasa atau klausa biasa. Ketuhanan yang maha esa tak sebatas bertuhan tetapi menolak liberalisme, ateisme dan agnostik isme yang berlebihan. Kemanusiaan yang adil dan beradab tak sebatas berbuat adil dan beradab tetapi lebih dari itu adalah menghindari keserakahan dan menjujung peradaban bukan kebiadaban.
Persatuan Indonesia tak sebatas bersatu dalam NKRI tetapi kesetaraan dan persaudaraan menjadi indikator pemersatu dalam persatuan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan tak sebatas melaksanakan pemilihan umum, Pilkada dan pileg tetapi ia hendak menjujung tinggi nilai-nilai demokrasi tanpa money politik, tanpa intervensi kekuatan yang tersembunyi.
Kemudian “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tak sebatas berlaku adik dalam kehidupan sosial tetapi lebih dari itu adalah sistem, pelayanan dan program strategis hendaknya adik demi kesejahteraan masyarakat bukan kesejahteraan korporasi dan kartel semata. Seperti dalam sejarah kerajaan Mekadonia dan Sumeria semua tanah dan hasilnya dinikmati oleh raja serta para kesatria lainnya.
Dari situ kita belajar bahwa Pancasila hendaknya dipahami sebagai pusaka sekaligus amanah. Amanah untuk melindungi kekayaan alam Indonesia dari keserakahan tangan asing. Amanah untuk menjujung tinggi nilai-nilai kebudayaan, hak adat dan hak posesif setiap warga negara. Amanah untuk merealisasikan UUD 1945 pasal 33. Amanah untuk tidak merusak hutan, sungai dan gunung-gunung yang indah.
Pancasila tidak melahirkan seorang pemimpin yang hanya mementingkan kelompoknya. Pancasila tidak memproduksi nikel dan emas yang hanya dinikmati segelintir orang. Pancasila tidak memperpanjang pengangguran dan kemiskinan. Pancasila tidak melarang orang berdemonstrasi jika ada yang perlu disuarakan. Pancasila tidak pernah dan tidak akan menindas rakyat yang lemah.
Tetapi Pancasila adalah jalan menuju Indonesia yang damai, adil dan sejahtera. Mari melalui momentum hari lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1945-1 Juni 2025. Kita kembali berintrospeksi diri, siapa yang menjadi pemimpin hendaknya kembali ke jalan yang benar. Siapa yang menjadi pengusaha hendaknya berdagang dengan nilai-nilai Pancasila dan sebagai rakyat Indonesia hendaknya menjujung tinggi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila tidak sekadar simbol dan identitas semata tetapi Pancasila adalah falsafah Bangsa Indonesia. Artinya ia sebagai penuntun, pembimbing dan petunjuk arah masa depan bangsa Indonesia. Generasi yang Pancasilais adalah generasi yang tak sentimen, tak mabuk-mabukan, tak berjudi apalagi berkompromi dengan oligarki dan korporasi asing.
Selamat hari Lahir Pancasila, 1 Juni 1945-1 Juni 2025. Jayalah selalu dan terus menjadi penuntun arah masa depan bangsa Indonesia. (*)
Tinggalkan Balasan