Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

Pancasila harus kembali menjadi kompas moral yang memandu jalan keadilan, kemanusiaan, dan persatuan.”

SETIAP 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, ideologi yang diklaim sebagai dasar negara, panduan moral, sekaligus kompas kebangsaan. Namun pertanyaannya: masihkah akhir-akhir ini kita punya Pancasila? Bukan sekadar dalam bentuk seremoni atau simbol formal, tapi sebagai nilai yang hidup dalam praktik berbangsa dan bernegara.

Pancasila lahir dalam suasana penuh ketegangan ideologis. Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan lima prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Dalam versi akhirnya, kelima sila itu berbunyi: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Secara ideologis, Pancasila ingin menjadi jalan tengah antara kutub kiri dan kanan, antara sekularisme radikal dan teokrasi, antara liberalisme individualistik dan sosialisme otoriter. Sebagaimana dicatat oleh Yudi Latif dalam Negara Paripurna, Pancasila merupakan “ideologi integratif yang menyatukan keragaman bangsa ke dalam kesepakatan etis dan filosofis bersama” (Latif, 2011: 120).

Namun dalam sejarah politik Indonesia, Pancasila acapkali berubah fungsi : dari ide pemersatu menjadi alat politik kekuasaan.

Rezim Orde Baru di bawah Soeharto menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam praktiknya, ini menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan, membungkam oposisi, dan mengontrol kehidupan masyarakat sipil. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) menjadi ritual wajib, namun kerap kosong dalam makna.

Sejarawan Robert Edward Elson menyatakan, bahwa pada masa Orde Baru, Pancasila “disterilkan dari dinamika sejarah dan dikemas sebagai dogma negara” (Elson, 2009: 210). Nilai-nilainya tidak lagi menjadi sumber diskusi kritis, melainkan menjadi mantra ideologis yang dijauhkan dari realitas sosial.

Hal ini berlanjut hingga era Reformasi. Meski euforia demokrasi berkembang, Pancasila justru terpinggirkan dalam diskursus publik. Ia digantikan oleh wacana identitas, agama, dan neoliberalisme ekonomi.

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia menyaksikan demokrasi yang secara prosedural terlihat makin matang : pemilu langsung, desentralisasi, partisipasi publik. Namun secara substansial, demokrasi Indonesia dirundung masalah : korupsi merajalela, aturan dipreteli, oligarki menguasai ruang politik dan ekonomi, intoleransi meningkat, dan kesenjangan ekonomi kian melebar.

Jika Pancasila sungguh dihayati, mestinya sila keadilan sosial mendorong redistribusi ekonomi dan perlindungan bagi yang lemah. Nyatanya, menurut data Oxfam (2020), 1% orang terkaya di Indonesia menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Jurang ketimpangan ini memperlihatkan absennya keadilan sosial yang diperjuangkan Pancasila.

Dalam konteks politik, musyawarah digantikan oleh transaksionalisme, dan persatuan digerus oleh polarisasi identitas. Konflik Pilpres 2014, 2019, dan 2024, memperlihatkan bagaimana narasi kebencian, hoaks, dan politik identitas menggerus rasa kebangsaan.

Salah satu tantangan kontemporer Pancasila adalah munculnya tindakan permissif yang digerakkan oleh media sosial. Sebagian kelompok saling menyalahkan secara terbuka dan mengabaikan nilai menghargai sebagaimana ditegaskan Pancasila. Ini bukan hanya soal perbedaan tafsir atas nilai-nilai Pancasila, tapi masyarakat telah keluar dari penghormatan. Hadirnya fragmentasi sosial, kekecewaan ekonomi, dan ketiadaan narasi kebangsaan yang membumi, telah menabalkan bahwa Pancasila tak lagi menjadi suluh di tengah kehidupan sosial.

Sementara itu, survei LSI (2022), menyatakan sekitar 20% mahasiswa di Indonesia memiliki pandangan yang menunjukkan Pancasila tidak lagi menjadi “ide yang hidup” di kalangan generasi muda, atau setidaknya tidak mampu menjawab kecemasan identitas mereka.
Sebaliknya, agama juga dikomodifikasi oleh pasar. Tayangan dakwah menjadi tontonan industri, dan nilai-nilai religius dipakai untuk menjual produk, bukan membentuk akhlak sosial. Pancasila yang menekankan kemanusiaan, gotong royong, dan keadilan, kalah oleh gaya hidup individualistik yang dikemas dalam selubung religius, terlebih yang dipertontonkan dalam media sosial melalui platform digital.

Lalu, masih adakah harapan untuk Pancasila?
Jawabannya: ya, masih ada. Apabila kita tetap optimis dan bersedia menghidupkan kembali Pancasila sebagai praksis etis, bukan sekadar simbol politik. Ini berarti membumikan sila-sila Pancasila dalam kebijakan publik, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari, menjadi sesuatu yang niscaya.

Pertama, pendidikan Pancasila harus dikuatkan dari sekadar indoktrinasi menjadi dialog kritis. Anak muda perlu diajak memahami Pancasila sebagai nilai hidup, bukan sekadar hafalan. Sebagaimana dikatakan Franz Magnis-Suseno, Pancasila bukan “ideologi tertutup”, tapi “kerangka etis terbuka” yang harus terus-menerus ditafsirkan (Magnis-Suseno, 1997: 88).

Kedua, negara harus hadir sebagai pelindung keadilan sosial. Kebijakan ekonomi, agraria, dan lingkungan harus berpihak pada yang lemah. Pancasila hanya hidup jika negara melindungi rakyat kecil, bukan justru menjadi alat elite oligarki.

Ketiga, ruang publik perlu dijaga dari polarisasi identitas dan kekerasan simbolik. Media, kampus, dan masyarakat sipil harus kembali menjadi arena musyawarah, bukan medan tempur ideologi sempit.

Pancasila bukan benda mati. Ia lahir dari perjuangan, hidup dalam pergulatan, dan akan mati jika hanya dijadikan slogan. Pertanyaannya bukan lagi “masihkah kita punya Pancasila?”, tapi: maukah kita menjadikan Pancasila sebagai laku hidup bersama?

Sebagaimana dicatat Bung Karno, “Pancasila merupakan jiwa bangsa yang harus terus-menerus diperjuangkan” (Soekarno, 1959: 135). Dalam dunia yang terpecah oleh kepentingan, Pancasila harus kembali menjadi kompas moral yang memandu jalan keadilan, kemanusiaan, dan persatuan. (*)