Oleh: M. Rifai Karim

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

_______

PROKLAMASI kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan kabar gembira bagi seluruh rakyat Indonesia, karena kemerdekaan tersebut bukan sekadar terbebasnya rakyat dari penjajahan bangsa asing, tetapi juga awal dari babak baru untuk mengontruksikan kehidupan adil dan sejahtera bagi seluruh rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Namun, seiring berjalannya waktu, harapan kemerdekaan menghadapi berbagai tantangan yang menguji komitmen dan tanggung jawab sosial dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan.

Dalam amanat Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa tujuan dari kemerdekaan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan ini merupakan prinsip yang mengandung nilai moral sebagai landasan gerak untuk menggapai kehidupan ideal.

Namun, pada kenyataannya harapan kemerdekaan masih jauh dari realita. Salah satu indikator yang mencolok adalah masalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023 menunjukkan bahwa 25,9 juta penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan distribusi kekayaan yang tidak merata. Di sektor pendidikan, data skor PISA Indonesia memperlihatkan kemerosotan literasi siswa Indonesia yang hanya mencatat angka 359 untuk membaca, jauh di bawah rata-rata global. Selain itu, Komnas HAM RI pada tahun 2020 menyatakan bahwa belum ada kemajuan signifikan dalam penegakan HAM sejak reformasi. Di samping itu, bangsa ini juga diperhadapkan dengan tantangan penyelenggaraann demokrasi yang tidak sehat. Politik uang dan janji manis turut mewarnai kenyataan tersebut.

Sampai saat ini, keluh kesah dari berbagai elemen masyarakat di segala bidang seperti politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain, sebagaimana yang beredar di media massa atau media sosial, turut menggambarkan persoalan-persoalan negara dari skala pusat hingga daerah. Semuanya masih belum mendapat titik terang guna menyelesaikan persoalan serta mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Hal ini mengakibatkan kekecewaan publik terhadap penyelenggaraan negara yang konon katanya merupakan lembaga netral, namun tampak malas dalam menjawab tuntutan-tuntutan masyarakat.

Nyala api nilai kemerdekaan yang mulai redup dengan sejuta persoalan adalah panggilan moral untuk dihidupkan kembali di tengah carut-marut ini. Upaya pelaksanaan negara yang sesuai dengan koridor menjadi tantangan untuk menegakkan pesan kemerdekaan. Sebab itu, diperlukan langkah yang cermat dan efektif. Aspek fundamental yang menjadi sasaran utama adalah pengambilan kebijakan politik, karena realisasi kebutuhan pokok masyarakat sangat ditentukan oleh faktor ini.

Namun, upaya pembaruan pengambilan keputusan diperhadapkan pada dua kekuatan yang saling berbenturan. Dalam sistem, persaingan kedua belah pihak itu akan menentukan kebutuhan sosial. Ketika kebijakan yang keluar dapat menjawab tuntutan kesejahteraan, maka dengan sendirinya pemenang dari pertarungan itu telah diketahui. Agar kepentingan umum terus terealisasi, diperlukan dukungan sosial secara kritis untuk terus mencegah hambatan yang terjadi dari kekuatan politik yang sedang bersaing bagi kepentingan publik.

Selain itu, pendidikan politik yang sehat juga harus dapat diakses oleh masyarakat, dengan tujuan agar mereka dapat mengontrol dan lebih berani dalam menyampaikan pandangan di ruang-ruang publik. Dengan begitu, selain kebijakan dapat terkontrol, juga menjadi indikator dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan penalaran publik yang berkemajuan. Kesinambungan antara masyarakat dan pemerintahan merupakan faktor penting untuk menghidupkan kembali harapan kemerdekaan yang tengah diredupkan oleh aparat birokrasi tak bertanggung jawab dalam persaingan di atas.

Oleh sebab itu, koreksi kembali pada praktik kenegaraan penting untuk dilakukan sebagai upaya menyalakan kembali harapan kemerdekaan yang sejauh ini sedang mengalami kemerosotan. Sehingga, di tengah realitas yang mencengkam, menghidupkan kembali harapan kemerdekaan pada saat ini adalah pintu masuk yang diidealkan.
Dengan pengontrolan dari segi internal dan eksternal oleh pemerintah dan masyarakat, maka pembangunan ekonomi, pendidikan, politik, dan hukum dapat berjalan dengan masif dan kondusif sesuai dengan harapan publik.

Pada era kontemporer ini, kemerdekaan sejati belum sepenuhnya diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terbentangnya arus persoalan menjadi hambatan tersendiri terhadap substansi kemerdekaan yang masih menjadi ilusi masyarakat Indonesia. Sebab itu, wujud dari harapan kemerdekaan yang belum terealisasikan dalam kehidupan nyata dewasa ini harus dilakukan terobosan agar kemerdekaan dikenal bukan sekadar dalam dokumen negara, namun ia sebagai perwujudan nyata yang selalu membawa spirit perjuangan dari masa ke masa.
Oleh karena itu, pada situasi yang menguji komitmen serta tanggung jawab sosial, harus terus dijaga semangat kemerdekaan sebagai nyala api yang akan mengantarkan kehidupan berbangsa dan bernegara pada cita-cita kemerdekaan. Selain itu, hal ini juga sebagai misi sejarah yang diamanatkan oleh para pejuang bangsa. Itu sebabnya, komitmen dan tanggung jawab sosial yang kokoh, disertai dengan kolaborasi bersama seluruh elemen masyarakat, merupakan kunci utama untuk menghidupkan kembali harapan kemerdekaan. (*)