Tandaseru — Sidang kasus dugaan tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor Bengkulu nomor:63/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Bgl yang melibatkan dr. Debi Utomo, mantan Direktur RSUD Hasanudin Damrah Bengkulu Selatan, dilanjutkan dengan agenda mendengarkan keterangan ahli hukum. Sidang tersebut digelar pada Rabu (12/3/2025).
Kasus ini bermula dari penggunaan anggaran makan minum pasien dengan total kerugian
negara sesuai audit BPKP sebesar Rp 1,2 miliar. dr. Debi kemudian dijerat oleh Kejaksaan Negeri Bengkulu Selatan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHP.
Kuasa hukum dr. Debi, Lucky Omega Hasan dan Budi Ansyar, lantas menghadirkan ahli Dr. Hasrul Buamona, SH.,MH, dosen Magister Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang juga alumni Fakultas Hukum UII Yogyakarta, untuk menjelaskan legalitas kewenangan BPKP dalam melakukan audit dan meminta penjelasan ahli hukum terkait perumusan unsur pidana dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
“Serta apakah klien kami dinilai secara hukum pidana telah melakukan penyalahgunaan kewenangan,” ujar Lucky.
Dalam konteks audit kerugian negara, menurut Dr. Hasrul dalam sidang ini, tidak terbantahkan lagi bahwa hanya BPK RI sajalah yang diberi amanah oleh Konstitusi (UUD 1945) sebagai aturan hukum tertinggi untuk melakukan audit keuangan negara sebagaimana diatur Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
“Bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara,
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang bebas dan mandiri. Yang kemudian ditambah dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 tahun 2016 yang mengatur bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara,” papar Hasrul.
Ia menjabarkan, dalam hal tertentu hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.
“Selain itu pula, secara sistem hukum pembuktian sesuatu yang menjadi dasar inti rumusan delik (bestandeel delict), harus dikeluarkan oleh institusi yang kedudukan
kelembagaannya diatur dalam struktur hukum dan substansi hukum yakni grondweet (UUD 1945), bukan Peraturan Presiden yang hierarkinya lebih rendah. Kembali melihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016,” jabar Hasrul.
Menurut pendiri Law Firm Shahifah Buamona ini, dalam sidang ini pertimbangan hukum mahkamah berpendapat “Unsur kerugian negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potiential loss), namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi”. Artinya kerugian negara harus ada terlebih dahulu dikarenakan unsur kerugian negara adalah unsur dasar dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka korupsi sampai diperiksa dalam persidangan tindak pidana korupsi.
“Hal ini dikarenakan kerugian negara yang bersifat nyata dampak dari putusan di atas, telah menjadi bagian inti delik bersamaan dengan unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang yang terdapat dalam Pasal 3 UU Tipikor,” terangnya.
Konsekuensi yuridisnya, sambung Hasrul, bahwa kasus korupsi yang bermuara pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, unsur melawan hukum tidak bisa berdiri sendiri, tetapi menjadi kewajiban hukum harus terdapat hasil audit kerugian negara dari BPK RI, sehingga secara hukum penetapan tersangka tidak bisa tanpa adanya hasil kerugian negara dari BPK RI.
“Pendapat ahli, hasil audit kerugian negara yang bukan berasal dari BPK RI melainkan BPKP, secara hukum pembuktian kasus a quo tidak terpenuhi bewijs minimum. Selain itu juga apabila hasil audit tersebut berasal dari BPKP, menurut ahli berdampak pada hasil audit tersebut, dinilai sebagai unlawful legal evidence, dikarenakan hasil audit yang juga merupakan alat bukti dalam persidangan sekaligus sebagai bestandeel delict diperoleh dengan cara yang tidak sah (bukan hasil audit dari BPK RI), maka harus dikesampingkan oleh Majelis Hakim Yang Mulia,” tutur Hasrul.
Ia menjelaskan, kerugian negara merupakan inti delik (bestandeel delict), sehingga secara hukum, audit kerugian negara harus diperoleh dari BPK RI, sebagaimana diatur Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016 dan SEMA 4/2016.
“Kembali berfokus pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dalam pandangan ahli, di mana
wederrechtelijke merupakan bestandeel delict dari Pasal 2, sedangkan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), formile wederrechtelijke dan hasil audit kerugian
negara merupakan bestandeel delict dari Pasal 3 UU Tipikor. Harus diketahui bahwa
unsur ‘penyalahgunaan wewenang’ merupakan unsur inti dari asas legalitas, sehingga Schrijvers dan Smeets menyatakan bahwa organ pemerintahan hanya boleh menggunakan wewenang yang diberikan pembuat undang-undang untuk suatu tujuan yang telah ditetapkan. Menurut JE Sahetapy, asas legalitas mengandung di antaranya; (i) tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan, (ii) tidak boleh ada perumusan delik yang tidak jelas (lex certa, lex stricta, lex scpripta), dan (iii) tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang,” ungkap Hasrul.
“Dari sini, menurut ahli, apabila dihubungkan dengan adagium nullum crimen sine lege stricta, maka setiap perbuatan pidana oleh subjek hukum dinilai melawan hukum apabila telah melawan hukum tertulis baik itu undang-undang dan peraturan daerah (wettelijk straftbepaling), dan bukan peraturan teknis semisal Peraturan Bupati, Peraturan Gubernur, Peraturan Menteri serta Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pendapat ahli ini mengacu pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi ‘Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan’ dan juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/ PUU-IV/2006, Mahkamah berpendapat bahwa suatu perbuatan itu dikategorikan sebagai melawan hukum jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang dikarenakan melawan hukum materil bertentangan dengan asas legalitas,” sambungnya.
Di hadapan Majelis Hakim, Dr. Hasrul juga menjelaskan secara mendetail terkait uraian unsur pidana yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Di mana dalam konteks hukum pembuktian apabila kembali melihat bunyi Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak
Rp 1 miliar”.
“Aplikasi unsur dari Pasal 2 ayat (1) di atas bersifat alternatif, maka pembuktiannya adalah berdiri sendiri sebagai contoh unsur “memperkaya diri sendiri” artinya secara pembuktian penuntut umum harus mampu
membuktikan bahwa dalam audit kerugian negara oleh BPK RI ada keuangan negara yang masuk baik langsung atau tidak langsung, misalnya ada sejumlah uang masuk ke rekening pribadi seorang terdakwa, yang kemudian juga diperkuat oleh keterangan saksi-saksi. Artinya bahwa keuangan negara yang masuk misalnya dalam rekening pribadi dan saksi-saksi merupakan bewijs minimun, sekaligus menunjukkan kerugian negara benar actual loss, ini sesuai adagium In Criminalibus Probationes Bedent Esse Luce Clariores yang mana menjadi dasar pembuktian kasus pidana apapun termasuk kasus korupsi,” urainya.
“Sehingga, menurut ahli apabila secara hukum ini tidak dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum, maka Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak bisa dijadikan dasar untuk menghukum terdakwa,” imbuh Hasrul.
Selanjutnya, Dr. Hasrul menjelaskan terkait konteks hukum pembuktian, apabila kembali melihat bunyi Pasal 3 UU Tipikor bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar”.
“Aplikasi unsur dari Pasal 3 di atas menunjukkan subjek hukum yang dimaksud adalah mereka yang bekerja dalam wilayah publik baik pejabat publik dan/atau aparatur sipil negara, hal ini berkaitan dengan terdapatnya unsur ‘menyalahgunakan kewenangan’. Telah diketahui seksama bahwa bicara soal kewenangan, maka bicara soal lingkup hukum administrasi negara
terkait penyelenggaraan pemerintahan (bestuusrorgaan), yang mana dasar kewenangan tersebut muncul dari peraturan perundang-undangan. Dasar kewenangan ini yang kemudian melahirkan bestuursnorm (norma hukum administrasi) dan algemene beginselen van behoorlijk (asas-asas umum
pemerintah yang baik). Apabila membahas terkait penyalahgunaan kewenangan, maka telah membahas persinggungan hukum pidana dan hukum administrasi negara, sehingga pejabat publik atau aparatur sipil negara dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan kewenangan apabila melanggar bestuursnorm (norma hukum administrasi) yang mana telah
melawan hukum pidana (formele wederrechtelijkheid). Hal ini dikarenakan
bestuursnorm merupakan bagian yang tak terpisahkan dari asas legalitas yang mana telah menjadi ciri khas dari hukum pidana yang lebih mengutamakan kepastian hukum (lex certa, lex scripta dan lex stricta),” tandas Hasrul.
Tinggalkan Balasan