Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_______

PEKAN-pekan ini, banyak gawe maha penting di banyak pemerintahan daerah. Usai pelantikan kepala daerah terpilih oleh Presiden Prabowo di 20 Februari lalu, dilanjutkan kegiatan retret di Magelang yang telah berakhir. Kembali ke daerah, para gubernur, bupati dan wali kota menggelar serah terima jabatan. Bagi daerah yang punya kepala daerah baru, alias incumbent yang terpilih kembali, mungkin relatif hal yang biasa, tidak ada yang “baru”. Tetapi juga, banyak wajah baru yang terpilih untuk memimpin daerahnya. Artinya, ada yang datang dan ada yang pergi. Tulisan yang pernah dimuat di media ini, 31 Januari 2024 lalu, berjudul Liverpool, Jurgen Klop dan Kita: Antara Prestasi dan Peristiwa, dirasa relevan untuk menandai “cerita tentang yang datang dan pergi” itu, dalam latar sepak bola profesional di liga Inggris, hal yang dirasa memiliki kedekatan konteks, objek hingga emosional tertentu, untuk bisa menjadi sedikit catatan renungan.

***

Jika ada berita di dunia sepak bola yang paling menyita perhatian banyak orang di jagat ini, pilihannya paling mungkin jatuh ke Jurgen Klopp. Juru taktik klub papan atas liga Inggis itu baru saja membuat keputusan paling mengejutkan, tidak saja bagi fans klub ini di Inggris tetapi juga penggemarnya di dunia, di pekan ke 21 ketika Liverpool sedang di puncak klasemen.

Ya, dia baru saja memutuskan untuk hengkang lebih awal, di akhir musim kompetisi 2023/2024 ini, meski kontraknya masih tersisa beberapa tahun lagi. Wajar jika keputusan ini jadi kabar duka paling memilukan dan paling disayangkan jutaan orang di seantero jagat. Tak hanya itu, dia juga mengucapkan sumpah setianya pada Liverpool, tak akan melatih tim manapun di liga Inggris. Media Theathletic.com hingga menulis judul bahwa berita klopp tinggalkan Liverpool lebih buruk dari kematian Ratu Inggris. Betapa begitu mencengangkan.

Dalam laga FA Cup saat Liverpool melumat Norwich 5-2 beberapa hari lalu di Anfield, suporter Liverpool hingga menyanyikan “You’ll Never Walk Alone” sebelum kick-off buat Jurgen Klopp. Tak lupa bentangan spanduk bertuliskan Legendary Managers yang memuat tujuh foto manager liverpool sepanjang sejarah, di antaranya ada foto Klopp. Dari potongan vidio di twitter [X], tampak jelas Klopp tertunduk membatin. Mungkin merenungi bait demi bait senandung fansnya di stadion itu. Nyaris sama seperti yang dialaminya saat berpisah dengan Borussia Dortmund, klub yang juga pernah diangkat pamornya karena kepiawaiannya sebagai juru taktik.

Para fans Klopp hingga membuat mural di setiap sudut kota Liverpool untuk mengagungkannya hingga mengajaknya untuk bertahan lebih lama. Di beberapa sudut kota, para pengagumnya yang tertangkap kamera, sedang diam hingga termenung meratapi keputusan yang diumumkan Klopp sendiri dan klubnya. Sikap yang jadi tipikal orang Jerman, terbiasa mengabari hal-hal besar sebelumnya agar tak memberi kejutan. Tetapi kabar ini, bisa dibilang lebih dari sekadar kejutan bagi fansnya.

Meski alasan kepergian Klopp bahwa dia ingin menikmati hidup yang normal untuk beberapa tahun ke depan, seperti sebelum menjadi pelatih, beberapa sumber menyebut ada konflik kepentingan di internal klub yang membuatnya menarik diri. Tetapi semua itu tak lagi penting, sebab faktanya, Klopp telah memberi segalanya yang diinginkan Liverpool. Kita semua tahu, dari juara Premiere League yang dinanti lebih 30 tahun hingga juara dunia antarklub, sejak kurang lebih 9 tahun jadi arsitek klub ini. Belum termasuk “gelar level bawah” lainnya. Padahal juga, dari sumber Deloitte Football Money League, tiga klub terkaya di London adalah Tottenham, Chelsea dan Arsenal. Tidak ada Liverpool.

Apa yang dialami Liverpool dan Klopp berbeda yang dialami Barcelona dan pelatihnya Xavi Hernandez. Usai ditekuk 5-3 oleh Villarreal, Xavi dan Barca mengumumkan bahwa dia akan meninggalkan Barcelona di akhir musim 2023/2024 di Juni nanti. Juga Jose Mourinho, yang dipecat klubnya AS Roma di tengah jalan karena dianggap gagal mendongkrak performa klub di musim ini, meski pernah menyudahi dahaga gelar klub ini berpuluh tahun. Meski juga, hanya di kasta kedua Eropa, buat AS Roma di tahun keduanya melatih. Tiga fakta dengan tiga ending yang berbeda.

Lain dunia sepak bola lain wilayah politik dan pemerintahan meski keduanya membutuhkan “manajer”. Di kompetisi-kompetisi sepak bola di berbagai level, meski juga sering diterpa isu miring suap, prestasi paling nyata dari seorang manajer bisa disaksikan langsung jutaan pasang mata, langsung ataupun lewat media. Dan itu membentuk jutaan persepsi, penilaian hingga jadi opini publik, sesuatu yang sulit dibohongi. Hasil kerja pelatihnya tersaji jelas berbentuk performa tim hingga kemenangan di lapangan. Tak butuh survei hingga upaya menggiring opini penonton soal apa saja. Penonton sendiri adalah lembaga survei dan pemetaan opini. Media-media berita olahraga pun sulit memanipulasi fakta di lapangan karena penonton juga punya pengetahuan dan memiliki dua mata seperti pewarta bola.

Di wilayah politik dan pemerintahan, di kepemimpin kepada daerah misalnya, survei kepuasaan publik untuk mengukur kinerja pemerintah pada aspek-aspek tertentu, bisa saja dimanipulasi untuk kepentingan elektoral sang pemimpin. Entah untuk sekadar alasan agar terlihat berprestasi hingga keinginan berkontestasi lagi. Di twitter pekan-pekan ini, saya jadi bosan menyimak berita-berita politik khususnya bertema pemilihan presiden. Saling membuka aib hingga mungkin fitnah, tak terhindarkan. Saya membayangkan jika generasi kita tak cukup kepekaan menyaring semua informasi begini, akan sangat berbahaya. Tak menyadari jika mindset dan pikiran buruk kita, negative thinking, sedang didesain. Alhasil, bagi yang rutin mencermati semua informasi begini, membuat kita jadi ragu untuk sekadar memilah mana informasi yang benar dan mana sampah.

Di banyak kasus, kepemimpinan di pemerintahan, ada juga spontanitas warga yang dipimpin, menyayangkan hingga tak rela seorang pemimpin mengakhiri tugasnya karena telah berakhir periode yang ditentukan untuknya. Kepergiannya bahkan ditangisi dan menyembulkan kesedihan yang mendalam, yang tergambar dari cerita dan raut wajah setiap warganya. Semua itu karena legacy kepemimpinan yang ditinggalkan benar-benar menancap hingga relung hati ketenangan dan kesejahteraan mereka. Memang tak semua, meski dalam batas tertentu, bisa digeneralisir. Poinnya, ada pengakuan karena dirasakan sebagai fakta yang dialami. Minimal membandingkannya dengan pemimpin sebelumnya.

Tetapi lebih banyak fakta, kepemimpinan tadi, juga terkesan tak ada yang luar biasa. Datang dan pergi, bahkan hingga kembali lagi pada kesempatan berikutnya, tak ada yang istimewa. Kecuali mungkin telah menjadi garis tangan mereka. Juga ada fakta, kepemimpinan justru jadi mudarat bagi yang dipimpin. Tidak menggambarkan dan menjelaskan visi untuk maju, malah tak jelas arah yang hendak dituju hingga membangkitkan pesimisme yang menggejala. Bahkan warga yang dipimpin pun pesimis dengan nasib dan masa depan mereka, masa depan generasinya.

Tak seperti di markas Liverpool tadi, di stadion kebanggaan mereka, Anfield. Fans mereka membentangkan ratusan pesan yang terbaca dari spanduk-spanduk itu, tak rela manajer favorit mereka hengkang. Tak terkecuali di sudut-sudut kota.

Memimpin daerah, memang tak sama hingga tak sesederhana melatih sebuah klub sepak bola meski nilai kekayaan klub itu bisa lebih besar dari anggaran sebuah daerah. Tetapi satu hal yang pasti, keduanya mengelola amanah, kepercayaan publik. Hal yang paling utama harus disadari, untuk apa amanah itu dibebankan kepadanya.

Renungan dan kesadaran ini penting, tak sekadar bahwa kita termotivasi untuk kreatif dan inovatif berpikir, tetapi lebih dari itu, agar kita tak mewariskan peristiwa di penghujung karir, antitesa dari yang dibuktikan sang manajer andal, Jurgen Klopp.

Klopp bisa menghipnotis orang waras menjadi “setengah gila” meratapi kepergiaannya dengan segala cara, karena prestasi. Kita tak boleh membiarkan warga kita berpotensi jadi gila karena menyesali nasibnya, disebabkan pemimpinnya yang salah arah hingga sama sekali tak tahu arah, ke mana harkat dan martabat mereka dilabuhkan kelak. Wallahua’lam. (*)