Oleh: Herman Oesman
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
_______
“Puasa hati lebih baik dari puasa lidah, dan puasa lidah lebih baik dari puasa perut”
(Imam Ali Bin Abi Thalib, 599 M- 661 M)
BESOK, 1 Maret 2025, bertepatan dengan 1 Ramadan 1446 H, warga Muhammadiyah dan mungkin sebagian kaum Muslim akan mulai melaksanakan ibadah puasa. Pelaksanaan puasa di tahun 2025 ini diwarnai dengan keprihatinan yang begitu mengkhawatirkan dan mencemaskan.
Di lingkaran penyelenggara pemerintahan, dan pejabat publik, bermunculan kasus korupsi yang tidak kecil. Terbaru Dirut PT Pertamina Patra Niaga, jadi tersangka korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) Periode 2018-2023, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 193,7 triliun.
Puasa, sebagai praktik spiritual yang umum dalam berbagai agama, memiliki dimensi etis yang kuat, termasuk dalam kaitannya dengan perilaku sosial dan politik. Dalam Islam, puasa tidak hanya merupakan kewajiban ritual, tetapi juga bentuk latihan moral yang menuntut integritas dan kejujuran. Pada sisi lain, korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi yang merusak tatanan sosial. Mestinya, nilai-nilai yang diajarkan dalam puasa dapat menjadi instrumen untuk membangun masyarakat yang lebih berintegritas.
Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga melatih diri dalam mengendalikan hawa nafsu dan meningkatkan kesadaran moral. Menurut Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin, 11th Century), puasa yang hakiki adalah yang melibatkan kesucian hati, bukan hanya tubuh. Dalam konteks modern, latihan ini seharusnya berimplikasi pada perilaku sosial, termasuk menolak praktik korupsi. Sebuah studi yang dilakukan Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind (2012) menunjukkan bahwa moralitas tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif. Puasa, yang dilakukan secara massal dalam masyarakat Muslim, seharusnya membentuk norma sosial yang menolak ketidakjujuran, termasuk korupsi. Namun, realitas di banyak negara Muslim menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi permasalahan struktural yang sulit diatasi.
Sementara korupsi, merupakan adalah fenomena yang terjadi secara sistemik dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi. Menurut Transparency International (2023), banyak negara dengan mayoritas Muslim masih memiliki indeks persepsi korupsi yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun agama mengajarkan moralitas yang tinggi, implementasinya dalam kehidupan sosial belum optimal. Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1988) merumuskan bahwa korupsi terjadi ketika ada monopoli kekuasaan tanpa akuntabilitas. Di banyak negara berkembang, budaya patronase dan lemahnya sistem hukum membuat praktik korupsi sulit diberantas. Padahal, dalam Islam, kejujuran dan amanah adalah prinsip utama dalam kepemimpinan dan administrasi publik.
Relasi Puasa dan Antikorupsi
Puasa dapat menjadi alat refleksi moral yang membantu individu dan masyarakat untuk menolak praktik korupsi. Beberapa nilai utama dalam puasa yang relevan dalam upaya pemberantasan korupsi meliputi beberapa prinsip, kejujuran dan integritas, di mana puasa mengajarkan seseorang untuk tetap jujur meskipun tidak ada yang mengawasi. Prinsip ini seharusnya diterapkan dalam dunia kerja dan pemerintahan agar setiap individu memiliki kesadaran moral untuk tidak melakukan korupsi. Prinsip berikutnya, kedisiplinan dan pengendalian diri. Bahwa salah satu penyebab utama korupsi adalah ketamakan. Puasa melatih seseorang untuk mengendalikan nafsu, termasuk nafsu kekuasaan dan harta. Prinsip empati terhadap kaum miskin dan lemah. Korupsi acapkali memperlebar kesenjangan sosial. Bahkan dengan kebijakan, jarak senjang sosial itu makin diperlebar. Padahal dengan merasakan lapar selama puasa, seseorang diharapkan lebih peduli terhadap penderitaan orang miskin, lemah, dan tidak melakukan tindakan yang merugikan mereka, seperti korupsi. Selanjutnya prinsip kesadaran akan pengawasan Ilahi dalam ajaran Islam. Puasa dilakukan dengan keyakinan bahwa Allah SWT selalu mengawasi. Kesadaran ini bisa menjadi basis bagi akuntabilitas individu dalam kehidupan sosial dan politik.
Meskipun nilai-nilai puasa mendukung upaya pemberantasan korupsi, realitas menunjukkan bahwa praktik korupsi tetap marak, bahkan di negara dengan populasi Muslim yang besar. Beberapa faktor yang menjadi tantangan, di antaranya : budaya patronase dan nepotisme, di mana banyak pejabat yang tetap melakukan korupsi karena tekanan sosial dan politik dari lingkungan mereka. Hal yang paling memiriskan, ketiadaan keteladanan dari pemimpin. Sebagian pemimpin tidak mampu menunjukkan komitmen dalam memberantas korupsi, dan ini menular di mana masyarakat pun cenderung permisif terhadap praktik tersebut. Yang paling merisaukan tentu sistem hukum yang lemah. Dalam kehidupan bermasyarakat, sangat kentara adanya ketiadaan sistem hukum yang kuat dan independen. Demikian pula nilai-nilai moral dari praktik keagamaan seperti puasa sulit diimplementasikan secara nyata dalam tata kelola pemerintahan.
Puasa memiliki potensi sebagai instrumen pembentukan karakter yang dapat membantu dalam upaya pemberantasan korupsi. Nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, dan empati yang diajarkan dalam puasa dapat menjadi dasar untuk membangun budaya antikorupsi. Namun, untuk mencapai perubahan nyata, diperlukan pendekatan yang lebih sistematis, termasuk penguatan sistem hukum dan kepemimpinan yang berintegritas. Dengan demikian, puasa tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga sarana transformasi sosial yang nyata dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan bebas dari korupsi.
Puasa bukan sekadar ritual keagamaan tetapi memiliki refleksi etis dan moral yang mendalam. Ia mengajarkan pengendalian diri, kepedulian sosial, kritik terhadap budaya konsumtif, serta membentuk integritas dalam kepemimpinan. Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh materialisme dan ketimpangan sosial, puasa dapat menjadi sarana untuk mengembalikan kesadaran moral dan menegakkan nilai-nilai etika dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Secara etis, puasa mengajarkan manusia untuk mengendalikan nafsu dan dorongan instingtif. Plato dalam The Republic (380 SM) mengaitkan pengendalian diri (sophrosyne) sebagai bagian dari keutamaan moral yang harus dimiliki individu dalam membangun masyarakat yang adil.
Kita semua berharap, puasa tahun ini, dapat memberi pelajaran besar untuk melatih dan mengelola hawa nafsu dan keserakahan untuk terhindar dari praktik-praktik curang dan culas dalam pekerjaan apa pun
Selamat menyambut ibadah puasa Ramadan 1446 H. (*)
Tinggalkan Balasan