Tandaseru — MIG alias Iram yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Maluku Utara kini tengah menghadapi proses hukum terkait dugaan penyebaran berita fitnah dan pencemaran nama baik. Penetapan tersangka ini terkait tuduhan yang dilontarkan MIG terhadap pemilik perusahaan tambang emas NHM, seorang pengusaha yang dikenal sangat dermawan terhadap masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara.

Tuduhan yang disebarkan MIG melalui berbagai media menyebutkan bahwa pemilik NHM, yang selama ini sangat dihormati masyarakat Maluku Utara, terlibat dalam praktik suap terhadap mantan Gubernur Maluku Utara. Mantan gubernur tersebut saat ini sedang menjalani hukuman terkait kasus suap proyek dan jual beli jabatan. Namun tuduhan yang disampaikan MIG tidak terbukti kebenarannya, khususnya terkait izin tambang yang melibatkan pemilik NHM.

Pihak kepolisian telah menetapkan MIG sebagai tersangka atas tindakan penyebaran informasi yang tidak akurat dan merugikan pemilik NHM.

“Penyebaran berita bohong tidak hanya mencemarkan nama baik seseorang, tetapi
juga berpotensi memicu ketidakpercayaan publik terhadap individu yang bersangkutan,
termasuk pemilik tambang NHM,” ujar Iksan Maujud, kuasa hukum pemilik NHM.

Iksan juga menegaskan bahwa kliennya tidak terlibat dalam tindakan suap sebagaimana yang dituduhkan MIG.

“Pemilik NHM memiliki kontrak karya yang sah dengan izin yang dikeluarkan langsung oleh negara dan ditandatangani oleh Presiden, sama seperti izin pertambangan lainnya. Tuduhan yang disebarkan oleh Iram jelas tidak berdasar,” jelasnya.

Kuasa hukum NHM mengapresiasi langkah tegas kepolisian menegakkan kebenaran dan keadilan.

“Kami berharap agar proses hukum berjalan sesuai ketentuan yang berlaku, dan MIG harus mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Iksan.

Sementara Hasanuddin Hidayat, seorang akademisi hukum dari IAIN Ternate, memberikan pandangan terkait kasus ini. Dari perspektif hukum positif, Hasanuddin menjelaskan penyebaran berita bohong yang merugikan individu atau kelompok tertentu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang dapat dikenakan pidana penjara hingga 6 tahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.

“Polisi memiliki kewenangan untuk menyelidiki dan menindaklanjuti laporan yang diajukan oleh kuasa hukum NHM terkait penyebaran berita hoaks ini. MIG harus menjalani proses hukum yang berlaku,” tegas Hasanuddin.

Ia juga menambahkan, penegakan hukum terhadap penyebaran berita hoaks merupakan langkah penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik terhadap
sistem hukum yang ada.

“Penyidik yang menetapkan tersangka, menangkap, atau menahan seseorang tentu telah memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam hukum. Semua tindakan tersebut sah dan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,” ujarnya.

Sebagai seorang kandidat Doktor Ilmu Hukum, Hasanuddin menegaskan perbedaan
antara kebebasan menyampaikan pendapat dan pencemaran nama baik. Menurutnya,
langkah hukum yang diambil terhadap MIG bukanlah bentuk pembungkaman terhadap demokrasi, tetapi upaya menegakkan hukum dan memastikan kebebasan berpendapat tidak disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak benar dan merugikan pihak lain.

“Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menghormati kebenaran dan keadilan.
Oleh karena itu, masyarakat harus lebih bijak dalam menyaring informasi yang diterima
dan memastikan kebenarannya sebelum menyebarkannya,” pungkas Hasanuddin.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya tanggung jawab dalam menyebarkan informasi, serta perlunya menjaga kepercayaan publik terhadap individu maupun institusi. Penegakan hukum terhadap penyebaran berita bohong merupakan langkah krusial untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan memastikan keadilan bagi pihak yang dirugikan. Masyarakat diharapkan semakin bijaksana dalam menerima dan menyebarkan informasi agar tidak terjebak dalam arus disinformasi yang dapat merugikan banyak pihak.

Ika Fuji Rahayu
Editor
Yasim Mujair
Reporter