Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_______

Halo ….., Kami dari …..Express akan melakukan proses delivery paket COD dengan nomor waybill …..
ke alamat anda di ….., Kota Tidore Kepulauan (Pulau Tidore) TIDORE, MALUKU UTARA , mohon kesediaannya untuk memastikan apakah anda benar memesan barang COD senilai Rp …..
??? Terima kasih.

INI adalah pesan WhatsApp yang saya terima dari kurir sebuah perusahaan jasa pengiriman di Tidore beberapa hari lalu. Ini jasa pengiriman paket yang terbilang paling sering kami gunakan. Di Tidore, tak banyak perusahaan jasa begini. Si bungsu saya “paling rajin” datang paketnya. Entah tunai ataupun CashonDelivery (COD), bayar di tempat. Menyamarkan infomasi dengan spasi “titik-titik” di atas dari saya, karena alasan privasi saja.

Untuk kesekian kalinya, saya mengalami pengalaman kurang mengenakkan dengan penyedia jasa ini. Sedangkan untuk memutuskan menjadi konten tulisan ini, saya merenunginya agak lama. Semata karena alasan untuk pembelajaran bersama, saya menulisnya semberi berharap ada perbaikan layanan.

Hari itu, sebuah pesan WhatsApp dari kurir jasa pengiriman ini, mengonfirmasikan pesan seperti di atas. Saya membenarkan bahwa saya adalah penerimanya. Sambil menjelaskan ulang detail alamat, tak lupa saya konfirmasi lagi, kapan bisanya diantar. Dengan sesuatu alasan, dia menyanggupinya esok hari.

Pagi di esoknya, ada pesan sama dari nomor berbeda, mengonfirmasi hal sama. Saya menjawab bahwa sudah saya konfirmasi informasinya ke teman kurir anda kemarin. Tak lupa saya mengirim pesan meminta kepastian dan dua kali telepon ke kurir sebelumnya, tak ada respon.

Oke, tak apa-apa. Saya melanjutkan “perjanjian” dengan kurir baru tadi, sembari menjelaskan ulang detail alamat meski dirasa telah lengkap dengan lampiran kode pos plus areanya di seputaran kota saja. Kurir ini menjawab, dia akan menelepon kalau sudah di area dekat rumah. Saya oke saja.

Selang 45 menit, saya meminta konfirmasi lagi kepastian waktu paketnya diantar, dengan sedikit berbohong bahwa paket itu adalah obat yang mendesak digunakan dan ditambah pula bahwa saya juga keburu ada urusan lain. Tak ada jawaban. Pukul 16.33 WIT atau sekitar 1,5 jam berikutnya, ada telepon yang mengonfirmasi bahwa kurir ini telah ada di depan kediaman. Saya menyudahi transaksinya di pintu depan. Dan sedikitpun dari raut polosnya, tak ada kesan “bersalah” dari kurir yang seorang laki-laki remaja ini. Saya mencoba menyelami saja dan tak menyalahkannya. Dia masih terlalu “polos” untuk memahami hingga menghayati detail kualitas layanan jasa, apalagi teori manajemen modern dalam berusaha. Jarak kantor jasa pengiriman ini dengan kediaman saya pun terbilang tak jauh. Kurang lebih satu kilometer saja, di kelurahan sebelah.

Sudah beberapa kali biaya COD-nya “diabaikan” saja. Kami berinisiatif menjemput paketnya ke kantor karena menimbang jaraknya yang dekat saja. Di kesempatan lain, saya menemukan antrian banyak pengguna jasa yang mungkin hendak mengambil paketnya. Di depan pintu utama, ada semacam police line, pembatas dari tali. Di Tidore, tak banyak penyedia jasa begini. Pengguna jasa terbilang antusias.

Saya mencoba searching ke beberapa sumber sebagai informasi pembanding soal bonafiditas, peringkat kualitas layanannya hingga testimoni pengguna jasanya. Ternyata ini perusahaan jasa pengiriman bonafit dan salah satu yang terbaik di Indonesia. Tetapi testimoni seorang pengguna jasanya bernama Berthi Parabak, seorang pengusaha pembibitan dari Ambon, bikin saya geleng-geleng kepala juga. Dia mengungkap pengalamannya menggunakan 4 jasa pengiriman (ekspedisi) berbeda dalam bisnisnya. Dengan berkaca pada salah satu pengalaman buruk yang berulang dalam usahanya akibat keterlambatan pengiriman bibit tanaman dari Kediri, dia menilai bahwa ini jasa pengiriman paling buruk yang pernah dialaminya.

Di lain waktu, ada telepon masuk dari nomor yang tak terdeteksi di kontak ponsel saya. Saya sengaja tak menerimanya, untuk sekadar “menguji” soal perilaku hingga etika menelepon kita, yang sebelumnya tak ada konfirmasi, apalagi di saat yang dipandang tak terlalu tepat soal waktu, misalnya. Dua kali panggilan tak diangkat, dia mengirim pesan WhatsApp seperti di atas. Dari sebuah perusahaan ekspedisi di Ternate yang hendak mengonfirmasi paket untuk diantar. Saya melayaninya. Cukup sampai di sini. Selanjutnya, mari kita sharing wawasan, pengetahuan dan pengalaman.

Pengguna internet di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat. Jika survei BPS di 2013 masih menunjukkan bahwa jumlah penggunanya 71.19 juta jiwa, mengalami kenaikan 13 persen dari tahun 2012 yang masih sekitar 63 juta, maka di tahun 2024, data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesiah (APJII) mencatat pengguna internet di Indonesia sudah di angka lebih dari 221 juta atau sekitar 79,5 persen dari populasi penduduk kita telah menggunakan internet. Ada 2,67 persen dari periode 2022-2023.

Hal ini membawa akibat munculnya berbagai model penjualan dan pemasaran berbasis online atau e-commerce (elecronic commerce). Pertumbuhan jenis pasar ini mencapai rata-rata 17 persen per tahun, hal yang tak diduga. Kecenderungan ini mulai terlihat menggejala saat pandemi Covid-19 yang lalu dan biaya jasa pengiriman juga belum signifikan kenaikannya. Perusahaan jasa pengiriman dan ekspedisi menuai dampaknya. Volume transaksi online yang tinggi adalah lahan basah bagi penyedia jasa ekspedisi.

Tak perlu ada panduan teori yang berat-berat sesuai tingkat kerumitan usahanya. Cukup punya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas, kultur perusahaan yang mendukung dan karyawan yang memiliki tingkat kepekaan tinggi. Apalagi untuk ukuran cabang dan ranting usaha. Ini menjadi penting karena spesifikasi usaha anda yang “menjual jasa” itu, berkaitan paling hakiki dan sensitif dengan kepuasan pelnggan dan pengguna jasa. Sebagai orang yang pernah mengelola institusi pemasaran pariwisata di pemerintahan, saya agak membatin dan sedikit perfect untuk urusan soal kepuasan pelanggan. Implikasi kepuasan pelanggan/ pengunjung di dunia pariwisata itu, bisa berefek kunjungan berulang. Keburukannya, sebaliknya. Sama seperti pada bisnis jasa pengiriman, tetap konsisten atau berhenti dan pindah alamat ke perusahaan ekspedisi lain.

Kepuasan konsumen atau pelanggan itu dibangun atas dasar persepsi. Perasaan senang atau kecewa atas fakta kinerja yang diterimanya dan pengaruhnya, kebetulan atau berulang-ulang. Secara teoritik, kepuasan pelanggan itu dibangun atas beberapa prinsip dalam memberikan pelayanan seperti kinerja, bisa dipercaya, respon cepat, adanya kepastian, empati, dan lain-lain.

Jika saya sedikit kesal dengan pelayanan anda, mungkin kecil efeknya. Cuma kesempatan untuk beristirahat siang yang tersita. Tetapi kekesalan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan dibaca publik, mungkin itu yang sedikit menggangu reputasi usaha anda dan butuh perhatian atas perbaikan kinerja layanan. Tetapi kekesalan sang pengusaha bibit dari Ambon tadi, mungkin bisa berefek buruk dan menjadi testimoni paling mengerikan bagi reputasi dan masa depan usaha penyedia jasa kita, dalam skala yang lebih besar. Apapun nama usahanya.

Seekor monyet yang menikmati kesenangannya “yang tak biasa”, bisa lepas cengkeraman gelantungannya pada dahan pohon dan terpelanting menghempas bumi, ketika diterpa tiupan angin sepoi-sepoi.

Dan antrian panjang pengguna jasa di depan pintu kantor itu, memberi pelajaran bahwa superioritas usaha kita bisa akan berakhir tragis dan seketika jika tak cermat dan peka menghitung skala dan intensitas kompetisi di masa depan. Cerita Dahlan Iskan yang buru-buru turun dari mobil dan “melerai” antrian panjang, hendak membayar tarif di pintu tol, tak lama lagi akan “tinggal kenangan”. Mulai terlihat kereta cepat Whoosh lebih ekonomis dan memanjakan dalam banyak hal. Sudah banyak fakta dan pengalaman mengajarkan bagaimana daya adaptasi yang tinggi dan kreatif atas situasi kompetisi usaha tertentu, hanya menyisakan cerita tentang nama dan “besi tua”. Wallàahua’lam. (*)