Oleh: Mohammad Putra Akbar Rafsanjani

Informatika, Universitas Muhammadiyah Malang

________

TEKNOLOGI benar-benar sudah menjadi bagian penting yang tak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kemajuan teknologi ini telah membawa banyak manfaat dalam segala bidang. Dengan bermodalkan gadget dan jaringan internet, masyarakat dapat mengakses berbagai macam informasi, berkomunikasi dengan lebih mudah, hingga melakukan transaksi keuangan dengan cepat. Namun, perlu disadari bahwa kepraktisan teknologi sering kali dimanfaatkan untuk hal-hal negatif. Salah satu fenomena yang meresahkan ialah penipuan melalui undangan online palsu. Modus ini sangat membahayakan pengguna, seperti terambilnya data rahasia pribadi hingga pengurasan saldo m-banking.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia, pelaku modus penipuan undangan palsu menjalankan aksinya dengan mengirimkan dokumen berformat .APK, yaitu format file aplikasi untuk ponsel Android, dengan nama undangan pernikahan digital. Selain WhatsApp, modus penipuan ini juga dapat dilakukan melalui pesan teks (SMS). Ketika korban mengunduh dan meng-install file
tersebut, aplikasi palsu meminta izin akses yang memungkinkan pelaku mencuri data rahasia, seperti SMS berisi OTP, kredensial banking, dan informasi pribadi lainnya. Maraknya penipuan ini disebabkan oleh kurangnya literasi digital masyarakat dan lemahnya keamanan siber pengguna, sehingga mereka menjadi sasaran empuk bagi pelaku kejahatan.

Rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya verifikasi informasi menjadi
penyebab utama terjebaknya korban. Penipu memanfaatkan emosi dan keinginan untuk
memenuhi undangan, seperti pernikahan atau acara penting lainnya. Banyak korban yang langsung mengklik tautan tanpa memeriksa kebenarannya. Biasanya, pelaku menargetkan orang tua atau mereka yang menuju usia lanjut karena kurang memahami teknologi yang terus berkembang dengan cepat. Menurut survei dari Katadata Insight Center (KIC), sebanyak 58,6% responden tidak memahami cara melaporkan penyalahgunaan di dunia digital. Kurangnya pemahaman ini membuka peluang bagi penjahat siber untuk memanfaatkan kerentanan masyarakat. Mereka sering menyisipkan malware dalam tautan undangan digital untuk mencuri informasi seperti OTP atau data perbankan.

Untuk memperjelas, modus phishing semacam ini pelaku sering kali menyamar sebagai orang yang terpercaya atau menggunakan bahasa yang mendesak agar korban segera mengunduh file. Misalnya, penggunaan kalimat seperti, “Undangan ini hanya berlaku 24 jam,” membuat korban
merasa terdesak dan mengabaikan langkah-langkah verifikasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang keamanan digital sangat penting untuk memutus rantai modus seperti ini.

Selain itu, masyarakat juga sering kali kurang peduli terhadap keamanan perangkat mereka. Banyak yang mengabaikan pembaruan sistem operasi atau aplikasi yang sebenarnya dirancang untuk meningkatkan keamanan. Ketidakpedulian ini menjadi celah tambahan bagi pelaku kejahatan untuk melancarkan aksinya.

Dampak dari penipuan ini sangat merugikan bagi korban. Penipu dapat memiliki kontrol penuh terhadap gawai korban, termasuk akses ke informasi rahasia seperti PIN,
password, dan kode OTP. Salah satu target utama mereka ialah aplikasi m-banking. Beberapa korban melaporkan kehilangan seluruh saldo tabungan mereka setelah data login m-banking dicuri. Dalam satu kasus yang dilaporkan, seorang korban kehilangan seluruh saldo rekeningnya hanya dalam hitungan jam setelah meng-install file mencurigakan. Ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman ini terhadap keamanan finansial masyarakat.

Selain kerugian finansial, ada juga dampak psikologis yang harus diperhatikan. Korban sering mengalami trauma atau kehilangan kepercayaan terhadap teknologi, bahkan pada aplikasi yang sebenarnya aman. Hal ini memperparah ketakutan masyarakat terhadap teknologi, yang justru bisa menghambat adopsi teknologi di masa depan.

Meski teknologi terus berkembang, masih ada celah keamanan yang membuat kejahatan ini marak. Peran pemerintah dalam memberikan perlindungan juga belum maksimal. Hingga saat ini, regulasi yang kuat untuk melindungi pengguna digital masih terbatas. Pelaku sering kali sulit dilacak karena menggunakan teknologi untuk menyembunyikan identitas mereka. Ini menunjukkan perlunya kerja sama antara pihak berwenang dan penyedia layanan
internet untuk menekan angka kejahatan siber.

Penyedia layanan digital, termasuk bank, juga memiliki tanggung jawab besar dalam
melindungi data pengguna. Sayangnya, banyak aplikasi m-banking yang belum dilengkapi sistem keamanan berlapis, seperti deteksi aktivitas mencurigakan atau autentikasi biometrik. Hal ini menciptakan celah keamanan yang mudah dimanfaatkan oleh pelaku penipuan. Selain itu, kurangnya edukasi dari pihak penyedia layanan juga menjadi masalah. Banyak pengguna yang tidak menyadari pentingnya mengaktifkan fitur keamanan tambahan yang sudah tersedia, seperti autentikasi dua faktor.

Selain regulasi, perlindungan konsumen di dunia digital juga membutuhkan pemantauan yang berkelanjutan. Bank dan institusi keuangan harus lebih proaktif dalam mengedukasi pengguna tentang cara aman menggunakan layanan digital mereka. Sebagai contoh, pemberian peringatan atau notifikasi otomatis saat ada aktivitas mencurigakan di akun dapat membantu
mencegah penipuan sejak dini.

Peningkatan literasi digital masyarakat merupakan kunci utama untuk mencegah modus ini. Masyarakat perlu diedukasi tentang cara mengenali tautan mencurigakan, pentingnya memverifikasi informasi, dan langkah-langkah melaporkan penyalahgunaan. Edukasi ini bisa dilakukan melalui kampanye digital yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, dan
penyedia layanan teknologi.

Terkhusus untuk masyarakat lanjut usia, perhatian khusus sangat diperlukan. Generasi muda, terutama Gen Z yang dikenal sebagai generasi paham teknologi, memiliki peran penting untuk mengedukasi mereka yang gagap teknologi (gaptek). Pendekatan yang empatik dan mudah dipahami akan membantu mereka lebih siap menghadapi ancaman digital.

Selain itu, upaya ini perlu didukung oleh teknologi yang lebih canggih dari penyedia layanan digital. Misalnya, pengembangan sistem keamanan berbasis kecerdasan buatan yang dapat mendeteksi pola aktivitas mencurigakan secara real-time. Langkah tegas pemerintah juga diperlukan untuk menekan angka kejadian penipuan ini. Regulasi yang lebih ketat, seperti kewajiban bagi penyedia layanan untuk menerapkan keamanan berlapis, dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi pengguna.

Kerja sama antara berbagai pihak merupakan kunci untuk menciptakan ekosistem digital yang aman. Dengan langkah ini, dampak penipuan dapat dikurangi secara signifikan digital dan menciptakan lingkungan teknologi yang lebih aman dan terpercaya bagi semua. Semua elemen masyarakat, dari pemerintah hingga individu, memiliki tanggung jawab dalam
memastikan bahwa ruang digital menjadi tempat yang aman bagi semua pengguna. (*)